Analisa Ideologi bahasa pada akun twitter Mario Teguh
FAHMI
FAHRURROJI
1110026000010
VB
BAHASA
DAN SASTRA INGGRIS
PENDAHULUAN
Bahasa memiliki kedudukan penting
bagi seorang public figure untuk
menciptakan citra yang baik pada dirinya. Social media seperti twitter – a basically microblogging web site (Kelsey, 2010:181) dapat berperan
aktif dalam proses pencitraan itu. Birch (dalam Santoso, 2009) mengungkapkan
bahwa pilihan bahasa (language choice)
dibuat menurut kendala (contrains)
politis, sosial, kultural, dan ideologi. Konsekuensinya, status twitter yang ditulis berdasarkan latar
belakang pilihan kata dan stuktur gramatika tertentu mengandung muatan ideologis
yang memihak pada kepentingan si penutur.
Salah satu public figure di Indonesia adalah Mario Teguh (MT). Ia menjadi
sosok berpengaruh sejak keberadaannya dikenal publik sebagai motivator handal
melalui tayangan “Mario Teguh Golden Ways” di salah satu stasiun tv swasta
Indonesia. Namun, selain lewat acara tv, pemikiran dan ajarannya tentang
kehidupan ia berikan pula dalam akun twitter
pribadinya. Kemahirannya dalam berkomunikasi telah menginspirasi banyak orang
untuk mengikuti saran-saran yang ia berikan dalam akun tersebut. Oleh karena itu,
tulisan ini akan menganalisis pemakaian bahasa yang digunakan oleh MT terkait dengan
ideologinya tentang kehidupan yang coba disebarkan
kepada masyarakat. Korpus penelitian dalam essay ini berupa twitter post Mario Teguh pada akun
pribadi miliknya – @MTLovenHoney – yang dipilih secara acak antara tanggal
22-25 Desember 2012.
LANDASAN TEORITIS
Istilah ideologi pertama kali
dimunculkan oleh seorang filsuf Prancis, Destutt de Tracey, pada akhir abad ke
delapan belas (Woolard et al., 1998:5) untuk menjelaskan ilmu tentang ide,
yaitu ilmu yang memungkinkan orang untuk mengenalisis prasangka dan bias
(Santoso, 2009:41).
Kaitannya dengan bahasa, Fowler
(dalam Santoso, 2008) mengindikasikan bahwa struktur bahasa yang dipilih akan
menciptakan sebuah “jaring makna” yang mendorong ke arah sebuah perspektif
tertentu. Jaring makna itu merupakan sebuah “ideologi” atau “teori” yang
dihasilkan oleh penuturnya (Santoso, 2008:8).
Untuk itu, diperlukan sebuah kajian untuk menganalisis penggunaan bahasa
yang nyata dalam politik, media massa, jejaring sosial seperti facebook atau twitter, komunikasi multikultural, perang, iklan, dan relasi gender
dalam kaitannya dengan dimensi ideologi, yakni linguistik kritis. Linguistik
kritis (critical linguistics)
merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap relasi-relasi antara
kuasa tersembunyi (hidden power) dan
proses-proses ideologis yang muncul dalam teks-teks lisan atau tulisan (Crystal
dalam Santoso, 2008:7).
Berbagai teori dari para linguis
kritis banyak dikutip oleh Anang Santoso (2009) dalam bukunya “Bahasa
Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan”. Di dalam buku itu Ia
mengemukakan bahwa ideologi yang disalurkan melalui bahasa dapat ditemukan pada
level kosakata dan gramatika. Kedua fitur bahasa itu menjadi pintu masuk untuk mengetahui
muatan-muatan ideologis yang dibawa oleh seseorang. Hal ini senada dengan apa
yang diungkapkan oleh para linguis kritis seperti Fowler, Fairclough, Kress,
dan van Dijk dimana struktur-struktur linguistik didayagunakan untuk
mengemukakan ideologi (Santoso, 2009:95).
Untuk mengetahui muatan ideologis
yang terdapat pada level kosakata atau leksikon, Fairclough (dalam Santoso,
2009:64-65) mengemukakan sebagai berikut. Pertama, nilai pengalaman kosakata
diwujudkan dalam ragam pilihan yang meliputi (a) pola klasifikasi, (b) kata
yang secara ideologis diperjuangkan, (c) proses leksikal, (d) relasi makna, (e)
metafora. Kedua, nilai relasional kosakata diwujudkan dalam berbagai pilihan,
yang meliputi (a) ekspresi eufimistik, (b) kata-kata formal yang menonjol, dan
(c) kata-kata informal yang menonjol. Ketiga, nilai ekspresif kosakata
diwujudkan melalui pilihan yang meliputi (a) evaluasi positif, dan (b) evaluasi
negatif.
Adapun gramatika, menurut
Richards, Platt, & Platt (dalam Santoso, 2009:94) adalah sebuah deskripsi
struktur sebuah bahasa dan cara unit-unit kebahasaan seperti kata dan frasa
dikombinasikan untuk menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa itu. Menurut
pandangan Fowler (dalam Santoso, 2009:95) pilihan bentuk gramatika yang
diprediksi membawa ideologi terpapar dalam (a) ketransitifan, (b) kalimat
aktif-pasif, (c) kalimat positif-negatif, (d) kalimat
deklaratif-interogatif-imperatif, (e) modalitas relasional, dan (f) pronomina
persona.
IDEOLOGI PADA LEVEL LEKSIKON
Pilihan Pola Klasifikasi
Dalam upayanya membentuk citra
yang baik, MT menggunakan pilihan pola klasifikasi untuk mengidentifikasi orang
lain. Berdasarkan tweet berikut,
penghargaan dan penghormatan MT kepada orang lain didasarkan pada pilihan leksikon
atau kosakata gender yang lebih bernilai positif, pantas, dewasa, dan
bermartabat.
[1] Wanita itu investor masa depan, dan memilih pria yang
kualitasnya menjanjikan masa depan yang sejahtera. Mario Teguh
Pilihan kata wanita lebih berkesan dewasa, mandiri dan bertanggungjawab bila dibandingkan
dengan kata seperti gadis yang
diasosiasikan dengan sifat belia, atau kata perempuan
yang maknanya terlalu umum. Begitu juga dengan penggunaan kata pria yang memiliki kecenderungan lebih
dewasa, gagah dan bertanggungjawab.
Pada pola klasifikasi ini MT
bermaksud untuk memberikan penghargaan kepada manusia melalui pilihan kata wanita dan pria yang memiliki kesan positif.
Pilihan Kosakata yang Diperjuangkan Secara Ideologis
Kata-kata yang diperjuangkan
adalah kata-kata yang diusahakan, ditanamkan, dibiaskan, atau dinaturalisasikan
ke dalam pikiran individu masyarakat sasaran melalui berbagai aktivitas agar
kata-kata itu menjadi bagian dari kehidupan individu dan masyarakat (Santoso,
2009:65-66).
[2] Cinta itu praktis. Jika ia tak dihormati, Ia pergi dan
menghadiahkan dirinya kepada jiwa yang lebih baik. Mario Teguh
Dalam tweet [2], MT sedang berusaha menanamkan nilai moral dan kasih
sayang. Pilihan kata cinta dimanfaatkan
untuk memberikan kesan positif atas konteks bahasa yang dibangun olehnya.
Sedangkan kata jiwa secara ideologis didayagunakan
untuk memberikan kesan yang lebih lembut untuk merepresentasikan sosok manusia
yang baik.
Pilihan Proses-proses Leksikal
Proses leksikal adalah “proses
memilih kosakata sebagai salah satu komponen pembentuk wacana oleh kelompok
sosial tertentu yang merefleksikan dan mengekspresikan kepentingan kelompok
tertentu itu” (Fowler dalam Santoso, 2009).
Terdapat tiga jenis proses
leksikal, yaitu (1) leksikalisasi (lexicalization),
(2) kelebihan leksikal (over-lexicalization),
dan (3) kekurangan leksikal (underlexicalization).
Leksikalisasi terjadi apabila kata yang dipilih mewakili satu konsep secara
tepat. Kelebihan leksikal berlaku saat terlalu banyak kata yang bisa digunakan
untuk mengungkapkan satu konsep. Sedangkan kekurangan leksikal ialah saat di
mana terdapatnya halangan untuk memilih kata yang tepat yang dapat
merefleksikan satu konsep.
[3] Selamat pagi adik-adik yang baik hatinya, semoga hari ini indah
dan penuh harapan baru bagi Anda. Aamiin – Mario Teguh
Pada tweet [3] terdapat pilihan kata adik-adik yang merupakan bentuk
jamak dari nomina tunggal adik. Kata tersebut telah mengalami proses over-lexicalization. Konsekuensinya,
kata adik yang semula hanya digunakan untuk mewakili saudara kandung yang lebih
muda, saat ini digunakan di berbagai tempat untuk menyapa orang yang lebih muda
tanpa ikatan darah sekalipun.
Di samping itu, penggunaan kata adik-adik pada tweet [3] juga sebuah bentuk “jaring makna” untuk menciptakan kesan
diri yang hangat, dekat, dan bersahabat.
Pilihan Relasi Makna
Keberadaan kata-kata tertentu yang
terkait dengan relasi makna sering memiliki signifikasi ideologis (Fairclough
dalam Santoso, 2009). Keterkaitan tersebut bisa dilihat pada tweet berikut ini:
[4] Laki-laki muda yang menghangatkan
hati adalah yang bersahaja, jujur,
bercita-cita tinggi dan pekerja
keras. Mario Teguh
Pada tweet di atas, MT menggunakan hiponim sebagai bentuk relasi makna
dalam twitternya. Hiponim sendiri ialah hubungan antara dua kata di mana makna
satu kata itu meliputi makna kata yang lain (Santoso, 2009:67). Sedangkan
Sultan (2012) berpendapat bahwa hiponim dapat mendeskripsikan secara detail
citra diri yang akan dibentuk. Untuk itu, dalam upaya ideologis melalui pilihan
relasi makna, MT berupaya menunjukkan sifat, watak, dan karakter yang harus
dimiliki oleh seorang laki-laki muda
dengan menggunakan kata bersahaja, jujur, bercita-cita tinggi serta pekerja
keras.
Melalui Metafora
Metafora adalah sebuah makna yang
mewakili aspek pengalaman yang lain yang dapat mengandung nilai ideologis
(Fairclough dalam Sultan, 2012). Sebagai seorang public figure, MT sering menggunakan pilihan kata metaforis untuk
menggambarkan maksud pemikirannya terhadap suatu hal.
[5] Jangan percaya kepada orang tak berbaju yang menjanjikan baju
baru kepada Anda. Mario Teguh
Penggunaan kata seperti orang tak berbaju dan baju baru digunakan MT pada tweet [5] dalam konteks di mana
seseorang yang tidak memiliki kemampuan pada suatu bidang, baik itu perilaku,
pekerjaan, atau bahkan perkataannya dalam bidang tersebut tidak dapat
dipercayai begitu saja. Sebab, relasinya dengan dunia pekerjaan atau pengadaan
jasa, pelakunya harus memiliki kompetensi tinggi untuk meraih kepercayaan
pelanggan. Secara metaforis, Ia menggambarkan bahwa tidak mungkin seseorang
yang tidak berkompeten (orang tak berbaju)
bisa menawarkan jasa (baju baru) yang
sama sekali tidak ia kuasai. Penggunaan metafora ini bertujuan untuk membentuk
citra diri yang baik dari seorang Mario Teguh dengan memberikan pendapat,
saran, dan solusi bagi pengikutnya di jejaring sosial. Juga untuk menunjukkan
kesan bahwa MT adalah seorang yang imajinatif melalui pilihan ungkapan yang
digunakannya.
Pilihan Ekspresi Eufimistik
Eufimistik adalah ekspresi
kebahasaan yang bertujuan memperhalus realitas yang sebenarnya (Santoso, 2009:
68).
[6] Jauhkanlah kami dari orang-orang tak berpengetahuan yang yakin
mengharamkan yang tak dimengertinya. Aamiin – Mario Teguh
MT menggunakan pilihan leksikon orang-orang tak berpengatahuan untuk
merefleksikan sifat bodoh yang melekat pada satu golongan tertentu. Jika
eufimistik ini digunakan secara terus menerus, relasi-relasi lingual yang
muncul dapat dimaknai dengan relasi ideologis (Santoso, 2009).
Pilihan Kata-kata Formal
[7] Galau dan super pedih: Tertawa riang dan berbahagia di dekatnya
tapi tahu pasti kau tak dapat memilikinya. Mario Teguh
Pada awalnya, kosakata yang belum
disifati oleh kata formal memiliki bentuk sederhana dan mudah dipahami. Akan
tetapi, saat pemilihan kata formal dilakukan ada sebuah proses “pencanggihan”
berbagai kosakata. Jika kata-kata formal didayagunakan tidak semestinya,
relasi-relasi lingual yang muncul dapat dimaknai dengan relasi ideologis
(Santoso, 2009:69).
Tweet di atas menunjukkan penggunaan kata super yang disematkan pada kata pedih.
Santoso (2009) menyatakan bahwa pilihan kosakata formal dapat menciptakan
kesan-kesan kekuasaan, jarak sosial, posisi, ataupun status. Dalam kasus ini,
MT menggunakan pilihan kata formal untuk menunjukkan posisi dan status seseorang
yang sedang berada dalam wilayah psikologis tertekan karena perasaan sedih dan
galau.
Pilihan Kata-kata Informal
Kata-kata informal merujuk pada
kosakata sehari-hari atau kolokial yang dipilih individu dan kelompok
masyarakat tertentu untuk “membaca” atau “menulis” tentang realitas (Santoso,
2009:69).
[8] Wanita yang bilang ‘gak juga’ untuk nasihat tentang wanita hebat
– bukan wanita hebat. ATIMH – Mario Teguh
Kata ‘gak juga’ merupakan salah satu bentuk kata informal yang digunakan
MT pada salah satu status twitter-nya.
Relasi antara wanita yang disifati
oleh ‘gak juga’ memunculkan
signifikasi ideologis yang maknanya ditegaskan kemudian oleh klausa bukan wanita hebat.
Evaluasi Positif & Negatif
[9] Kegalauan bukanlah penyakit, bukanlah kekacauan jiwa, tapi kewajaran
pada jiwa muda yang sedang tumbuh. Mario Teguh
Evaluasi terhadap teks sering
dimunculkan secara implisit melalui kosakata. Pilihan kosakata yang
menghasilkan evaluasi positif dan negatif akan menimbulkan makna ideologis
tertentu (Santoso, 2009:70). Terkait dengan tweet
[9] MT berusaha merubah citra negatif yang selama ini melekat pada kata galau. Pemilihan bentuk negasi bukan menghasilkan evaluasi positif
terhadap kata kegalauan, di mana modalitas
relasional yang terwakili oleh kata tapi memberikan
pernyataan baru tentang kegalauan, yakni
kewajaran. Bukanlah penyakit, bukanlah
kekacauan jiwa.
IDEOLOGI PADA LEVEL GRAMATIKA
Pilihan Ketransitifan
MT menunjukkan ketegasan makna dalam
pilihan proses relasi identifikasi pada beberapa kesempatan. Contoh ketegasan
makna itu bisa dilihat pada tweet
berikut ini:
[10] Cinta yang terkuat adalah cinta yang tak diketahui alasannya.
Mario Teguh
Klausa identifikasi adalah sistem
ketransitifan yang kedudukan antara “teridentifikasi” (identified) dan “pengidentifikasi” (identifier) dapat dibalik dalam penggunaannya seperti rumusan “a
adalah b” sama dengan “b adalah a” (Santoso, 2009:102). Pada tweet [10] kalimatnya dibangun dengan
proses identifikasi di mana kedudukan kata adalah
itu sentral.
Cinta yang terkuat
|
Adalah
|
Cinta yang tak diketahui alasannya
|
Teridentifikasi
|
proses identifikasi
|
pengidentifikasi
|
Dengan demikian, urutan klausa
yang terdapat pada tweet [10] adalah “teridentifikasi+proses
identifikasi+pengidentifikasi”.
Pilihan Kalimat Aktif-Pasif
Richard, Platt & Platt (dalam
Santoso, 2009:97) menyatakan bahwa pilihan kalimat aktif-pasif merupakan
persoalan voice di mana sebuah bahasa
mengekspresikan hubungan antara frasa verba dan frasa nomina melalui cara
tertentu, serta berbagai hal yang diasosiasikan dengan relasi itu.
Dua buah kalimat mungkin saja
berbeda dalam voice-nya meskipun
memiliki makna dasar yang sama (Santoso, 2009). Hal itu disesuaikan dengan
berbagai pertimbangan dalam situasi tertentu. Tweet berikut menunjukkan penggunaan kalimat pasif yang dimaksudkan
untuk memberikan kesadaran kepada objek sasaran tentang pentingnya upah tinggi
dalam dunia pekerjaan.
[11] Anda akan dibayar seperti orang rata-rata, jika yang Anda
kerjakan bisa dikerjakan oleh orang rata-rata. Mario Teguh
Pilihan aktif-pasif ini berdampak
pada hadir atau tidaknya agen (Santoso, 2009:97). Ketidakhadiran agen,
misalnya, akan mengakibatkan pelakunya tersembunyi. Pada klausa akan dibayar seperti orang rata-rata, MT
menyamarkan pelakunya. Akan tetapi, pada klausa dikerjakan oleh orang rata-rata, dengan jelas pelakunya
diikutsertakan. Maksud dari kedua bentuk pasif tadi akan memiliki kesan makna
yang berbeda jika diekspresikan dalam bentuk aktif.
Pilihan Bentuk Positif-Negatif
[12] Jangan pernah lakukan apa pun yang bisa dilakukan oleh siapa
pun, dan tidak untuk jangka panjang. Mario Teguh
Fairclough
(dalam Sultan, 2012) menyatakan bahwa ketika seseorang ingin menyalurkan
sesuatu yang terdapat dalam realitas atau sesuatu yang hanya ada dalam
imajinasi, peristiwa, atau hubungan seringkali memilih pilihan yang berbeda
pada proses gramatika.
Terkait
dengan tweet di atas, MT
mengekspresikan muatan ideologis secara implisit melalui penggunaan negasi jangan dan tidak. Konteks dari tweet
[12] ialah model pekerjaan yang umum dilakukan kebanyakan orang bukanlah sebuah
profesi ideal untuk dijalani dalam jangka waktu yang lama. Sehingga, MT
menegaskan pentingnya menghindari profesi seperti itu dengan menggunakan
ekspresi bahasa dalam bentuk negatif.
Pilihan Modus Deklaratif-Interogatif-Imperatif
Santoso (2009) mengemukakan ada
tiga cara untuk mengekspresikan kalimat kepada mitra bicara, yakni (1)
deklaratif, (2) interogatif, (3) imperatif. Modus deklaratif mengandung makna
permintaan untuk sebuah informasi; modus interogatif atau pertanyaan mengandung
makna menawarkan tindakan; modus imperatif merupakan sebuah bentuk saran atau
anjuran.
Tweet berikut ini merupakan bentuk imperatif yang digunakan MT
untuk memberikan muatan ideologis tentang efek negatif dari perilaku galau yang
ditujukan kepada para follower-nya.
[13] Saat Anda galau, lihatlah wajah Anda di cermin. Jika Anda tidak
menyukainya, apalagi orang lain. Get up! Mario Teguh
Pilihan Modalitas Relasional
Alwi (dalam Santoso, 2009)
menunjukkan empat golongan besar modalitas: Pertama, modalitas intensional yang
berkaitan dengan fungsi instrumental bahasa yang dapat digunakan untuk
menyatakan “keinginan”, “ajakan”, “pembiaran”, dan “permintaan”.
Kedua, modalitas epistemik berupa
penilaian penutur terhadap kemungkinan dan keperluan bahwa sesuatu itu demikian
atau tidak demikian. Modalitas epistemik mampu mengekspresikan “kemungkinan”,
“keteramalan”, “keharusan”, dan “kepastian”.
Ketiga, modalitas deontik yang
berkolerasi dengan kewajiban yang memiliki makna “perintah”, “izin”, dan
“larangan”.
Keempat, modalitas dinamik yang
mempersoalkan sikap pembicara terhadap aktualisasi peristiwa yang ditentukan
oleh “keadaan yang lebih bersifat empiris” (Santoso, 2009) yang mengandung
makna “mampu”, dan “sanggup”.
[14] Tuhan, wajarkanlah nafsu makanku, agar lebih mudah bagi mencapai
bentuk tubuh yang indah. Aamiin – Mario Teguh
Dalam tweet [14] terdapat modalitas relasional intensional yang bermakna
“keinginan” dan “permintaan”. Kedua hal itu direfleksikan pada pilihan kata agar untuk mencapai keinginan atau
permintaan MT mencapai bentuk tubuh yang indah.
Pilihan Pronomina Persona
[15] Anda menentukan harga Anda sendiri, jika tidak mungkin
bagi siapa pun untuk mengerjakan yang Anda kerjakan. Mario Teguh
Pronomina Anda digunakan untuk menciptakan kelas sosial yang lebih terhormat.
Pilihan kata itu akan memiliki makna yang berbeda dengan pilihan kata lainnya
seperti pronomina kamu atau elu (dalam kebudayaan betawi) yang nilainya tidak sama dengan pronomina Anda.
KESIMPULAN
Pilihan kosakata dan bangunan
gramatika dapat menciptakan “jaring makna” yang mendorong kepada perspektif
tertentu yang bermuatan ideologis.
Setelah melakukan analisa,
penulis menyimpulkan bahwa pola-pola kebahasaan yang dibangun pada setiap twitter post dalam akun @MTLovenHoney
memang sengaja diberdayakan sebagai agen ideologis dari berbagai pemikiran MT tentang
kehidupan untuk menciptakan citra pribadi yang baik. Hal itu teridentifikasi
melalui pemilihan kata-kata yang diperjuangkan seperti cinta, jiwa, wanita, laki-laki, pria atau bentuk penghormatan dan
pendekatan yang terkandung dalam penggunaan kata Anda dan adik-adik.
Selain itu, MT juga sering menyisipkan kata-kata yang bernilai sakral seperti
kata Tuhan. Serta berjuang untuk
mengarahkan pemahaman yang baru terhadap makna kegalauan sebagai bentuk kewajaran
yang terjadi pada anak muda. Menurut pengamatan penulis, pencitraan diri
yang dilakukan MT melalui pemilihan kata-kata tersebut bertujuan untuk
mempertahankan eksistensi dan kredibilitasnya sebagai seorang public figure. Signifikasi pasar yang
dikhususkan kepada anak muda yang sedang mengalami kegalauan, laki-laki, dan
wanita yang didorong untuk menjadi jiwa yang sukses serta memperoleh kedudukan
sosial dan berpendapatan tinggi menjadi sebuah komoditas yang bernilai
strategis baginya. Kemudian,
penyertaan nama pada setiap akhir tweet merupakan
bentuk pencitraan diri lainnya untuk mempromosikan diri. Alih-alih menggunakan
inisial, penulisan nama lengkap lebih digemari agar orang yang melihatnya memperoleh
kesan bahwa MT adalah sosok yang penuh percaya diri.
Bagaimanapun,
hal ini membuktikan bahwa pendapat Santoso (2009) yang menyatakan muatan
ideologis, baik itu yang disalurkan melalui pola pemilihan kata ataupun
bangunan gramatika tertentu, benar adanya. Sebagai penutup, penulis akan
mengutip sebuah pernyataan sebagai berikut: “The structure of the language one habitually uses influences the manner
in which one thinks and behaves” (Sapir – Whorf dalam Kramsch, 1998:11).
DAFTAR PUSTAKA
Blog Sultan (2012, November 5). Bahasa
pencitraan dalam wacana iklan kampanye calon anggota legislatif 2009 [Web log
post]. Retrieved from http://sultanhabnoer.wordpress.com/2012/05/30/bahasa-pencitraan-dalam-wacana-iklan-kampanye-calon-anggota-legislatif-2009/
Crystal, David. (2006). Language and the internet (2nd ed.). Cambridge: Cambridge
University Press.
Dubs, Patrick J., & Whitney, Daniel D. (1980). Cultural context: Making anthropology
personal. Boston: Allyn and Bacon.
Fahrurroji,
F., Permadi, C. B., & Kurnianto. (2012). Language & ideology. (Unpublished slide show). Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Indonesia.
Kelsey,
Todd. (2010). Social networking spaces
from facebook to twitter and everything between. New York: Apress.
Kramsch,
Claire. (1998). Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Putrayasa, Ida Bagus. (2007). Analisis kalimat:
Fungsi, kategori, dan peran. Bandung: Refika Aditama.
Santoso,
Anang. (2009). Bahasa perempuan: Sebuah potret ideologi perjuangan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Santoso,
Anang (2008). Jejak Halliday dalam linguistik kritis dan analisis wacana
kritis. Bahasa dan Seni, 36(1), 1-15.
Woolard,
Kathryn A. & Schieffelin, Bambi B. (1994). Language Ideology. Annual
Review of Anthropology. 23, 55 – 82.
Woolard, Kathryn A., Schieffelin, Bambi B., & Kroskrity, Paul V (Eds.).
(1998). Language ideologies, practice and
theory. New York: Oxford
University Press.
LAMPIRAN
Akun Twitter Mario Teguh:
Posting:
[
Komentar
Posting Komentar