Analisa Ideologi bahasa pada akun twitter Mario Teguh


FAHMI FAHRURROJI
1110026000010
VB
BAHASA DAN SASTRA INGGRIS

PENDAHULUAN
Bahasa memiliki kedudukan penting bagi seorang public figure untuk menciptakan citra yang baik pada dirinya. Social media seperti twittera basically microblogging web site (Kelsey, 2010:181) dapat berperan aktif dalam proses pencitraan itu. Birch (dalam Santoso, 2009) mengungkapkan bahwa pilihan bahasa (language choice) dibuat menurut kendala (contrains) politis, sosial, kultural, dan ideologi. Konsekuensinya, status twitter yang ditulis berdasarkan latar belakang pilihan kata dan stuktur gramatika tertentu mengandung muatan ideologis yang memihak pada kepentingan si penutur. 
Salah satu public figure di Indonesia adalah Mario Teguh (MT). Ia menjadi sosok berpengaruh sejak keberadaannya dikenal publik sebagai motivator handal melalui tayangan “Mario Teguh Golden Ways” di salah satu stasiun tv swasta Indonesia. Namun, selain lewat acara tv, pemikiran dan ajarannya tentang kehidupan ia berikan pula dalam akun twitter pribadinya. Kemahirannya dalam berkomunikasi telah menginspirasi banyak orang untuk mengikuti saran-saran yang ia berikan dalam akun tersebut. Oleh karena itu, tulisan ini akan menganalisis pemakaian bahasa yang digunakan oleh MT terkait dengan ideologinya tentang kehidupan  yang coba disebarkan kepada masyarakat. Korpus penelitian dalam essay ini berupa twitter post Mario Teguh pada akun pribadi miliknya – @MTLovenHoney – yang dipilih secara acak antara tanggal 22-25 Desember 2012.

LANDASAN TEORITIS
Istilah ideologi pertama kali dimunculkan oleh seorang filsuf Prancis, Destutt de Tracey, pada akhir abad ke delapan belas (Woolard et al., 1998:5) untuk menjelaskan ilmu tentang ide, yaitu ilmu yang memungkinkan orang untuk mengenalisis prasangka dan bias (Santoso, 2009:41).
Kaitannya dengan bahasa, Fowler (dalam Santoso, 2008) mengindikasikan bahwa struktur bahasa yang dipilih akan menciptakan sebuah “jaring makna” yang mendorong ke arah sebuah perspektif tertentu. Jaring makna itu merupakan sebuah “ideologi” atau “teori” yang dihasilkan oleh penuturnya (Santoso, 2008:8).
Untuk itu, diperlukan sebuah kajian untuk menganalisis penggunaan bahasa yang nyata dalam politik, media massa, jejaring sosial seperti facebook atau twitter, komunikasi multikultural, perang, iklan, dan relasi gender dalam kaitannya dengan dimensi ideologi, yakni linguistik kritis. Linguistik kritis (critical linguistics) merupakan kajian ilmu bahasa yang bertujuan mengungkap relasi-relasi antara kuasa tersembunyi (hidden power) dan proses-proses ideologis yang muncul dalam teks-teks lisan atau tulisan (Crystal dalam Santoso, 2008:7).
Berbagai teori dari para linguis kritis banyak dikutip oleh Anang Santoso (2009) dalam bukunya “Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan”. Di dalam buku itu Ia mengemukakan bahwa ideologi yang disalurkan melalui bahasa dapat ditemukan pada level kosakata dan gramatika. Kedua fitur bahasa itu menjadi pintu masuk untuk mengetahui muatan-muatan ideologis yang dibawa oleh seseorang. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh para linguis kritis seperti Fowler, Fairclough, Kress, dan van Dijk dimana struktur-struktur linguistik didayagunakan untuk mengemukakan ideologi (Santoso, 2009:95).
Untuk mengetahui muatan ideologis yang terdapat pada level kosakata atau leksikon, Fairclough (dalam Santoso, 2009:64-65) mengemukakan sebagai berikut. Pertama, nilai pengalaman kosakata diwujudkan dalam ragam pilihan yang meliputi (a) pola klasifikasi, (b) kata yang secara ideologis diperjuangkan, (c) proses leksikal, (d) relasi makna, (e) metafora. Kedua, nilai relasional kosakata diwujudkan dalam berbagai pilihan, yang meliputi (a) ekspresi eufimistik, (b) kata-kata formal yang menonjol, dan (c) kata-kata informal yang menonjol. Ketiga, nilai ekspresif kosakata diwujudkan melalui pilihan yang meliputi (a) evaluasi positif, dan (b) evaluasi negatif.
Adapun gramatika, menurut Richards, Platt, & Platt (dalam Santoso, 2009:94) adalah sebuah deskripsi struktur sebuah bahasa dan cara unit-unit kebahasaan seperti kata dan frasa dikombinasikan untuk menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa itu. Menurut pandangan Fowler (dalam Santoso, 2009:95) pilihan bentuk gramatika yang diprediksi membawa ideologi terpapar dalam (a) ketransitifan, (b) kalimat aktif-pasif, (c) kalimat positif-negatif, (d) kalimat deklaratif-interogatif-imperatif, (e) modalitas relasional, dan (f) pronomina persona.

IDEOLOGI PADA LEVEL LEKSIKON
Pilihan Pola Klasifikasi
Dalam upayanya membentuk citra yang baik, MT menggunakan pilihan pola klasifikasi untuk mengidentifikasi orang lain. Berdasarkan tweet berikut, penghargaan dan penghormatan MT kepada orang lain didasarkan pada pilihan leksikon atau kosakata gender yang lebih bernilai positif, pantas, dewasa, dan bermartabat.
[1] Wanita itu investor masa depan, dan memilih pria yang kualitasnya menjanjikan masa depan yang sejahtera. Mario Teguh
Pilihan kata wanita lebih berkesan dewasa, mandiri dan bertanggungjawab bila dibandingkan dengan kata seperti gadis yang diasosiasikan dengan sifat belia, atau kata perempuan yang maknanya terlalu umum. Begitu juga dengan penggunaan kata pria yang memiliki kecenderungan lebih dewasa, gagah dan bertanggungjawab.
Pada pola klasifikasi ini MT bermaksud untuk memberikan penghargaan kepada manusia melalui pilihan kata wanita dan pria yang memiliki kesan positif.

Pilihan Kosakata yang Diperjuangkan Secara Ideologis
Kata-kata yang diperjuangkan adalah kata-kata yang diusahakan, ditanamkan, dibiaskan, atau dinaturalisasikan ke dalam pikiran individu masyarakat sasaran melalui berbagai aktivitas agar kata-kata itu menjadi bagian dari kehidupan individu dan masyarakat (Santoso, 2009:65-66).
[2] Cinta itu praktis. Jika ia tak dihormati, Ia pergi dan menghadiahkan dirinya kepada jiwa yang lebih baik. Mario Teguh
Dalam tweet [2], MT sedang berusaha menanamkan nilai moral dan kasih sayang. Pilihan kata cinta dimanfaatkan untuk memberikan kesan positif atas konteks bahasa yang dibangun olehnya. Sedangkan kata jiwa secara ideologis didayagunakan untuk memberikan kesan yang lebih lembut untuk merepresentasikan sosok manusia yang baik.

Pilihan Proses-proses Leksikal
Proses leksikal adalah “proses memilih kosakata sebagai salah satu komponen pembentuk wacana oleh kelompok sosial tertentu yang merefleksikan dan mengekspresikan kepentingan kelompok tertentu itu” (Fowler dalam Santoso, 2009).
Terdapat tiga jenis proses leksikal, yaitu (1) leksikalisasi (lexicalization), (2) kelebihan leksikal (over-lexicalization), dan (3) kekurangan leksikal (underlexicalization). Leksikalisasi terjadi apabila kata yang dipilih mewakili satu konsep secara tepat. Kelebihan leksikal berlaku saat terlalu banyak kata yang bisa digunakan untuk mengungkapkan satu konsep. Sedangkan kekurangan leksikal ialah saat di mana terdapatnya halangan untuk memilih kata yang tepat yang dapat merefleksikan satu konsep.
[3] Selamat pagi adik-adik yang baik hatinya, semoga hari ini indah dan penuh harapan baru bagi Anda. Aamiin – Mario Teguh
Pada tweet [3] terdapat pilihan kata adik-adik yang merupakan bentuk jamak dari nomina tunggal adik. Kata tersebut telah mengalami proses over-lexicalization. Konsekuensinya, kata adik yang semula hanya digunakan untuk mewakili saudara kandung yang lebih muda, saat ini digunakan di berbagai tempat untuk menyapa orang yang lebih muda tanpa ikatan darah sekalipun.
Di samping itu, penggunaan kata adik-adik pada tweet [3] juga sebuah bentuk “jaring makna” untuk menciptakan kesan diri yang hangat, dekat, dan bersahabat.

Pilihan Relasi Makna
Keberadaan kata-kata tertentu yang terkait dengan relasi makna sering memiliki signifikasi ideologis (Fairclough dalam Santoso, 2009). Keterkaitan tersebut bisa dilihat pada tweet berikut ini:
[4] Laki-laki muda yang menghangatkan hati adalah yang bersahaja, jujur, bercita-cita tinggi dan pekerja keras. Mario Teguh
Pada tweet di atas, MT menggunakan hiponim sebagai bentuk relasi makna dalam twitternya. Hiponim sendiri ialah hubungan antara dua kata di mana makna satu kata itu meliputi makna kata yang lain (Santoso, 2009:67). Sedangkan Sultan (2012) berpendapat bahwa hiponim dapat mendeskripsikan secara detail citra diri yang akan dibentuk. Untuk itu, dalam upaya ideologis melalui pilihan relasi makna, MT berupaya menunjukkan sifat, watak, dan karakter yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki muda dengan menggunakan kata bersahaja, jujur, bercita-cita tinggi serta pekerja keras.

Melalui Metafora
Metafora adalah sebuah makna yang mewakili aspek pengalaman yang lain yang dapat mengandung nilai ideologis (Fairclough dalam Sultan, 2012). Sebagai seorang public figure, MT sering menggunakan pilihan kata metaforis untuk menggambarkan maksud pemikirannya terhadap suatu hal.
[5] Jangan percaya kepada orang tak berbaju yang menjanjikan baju baru kepada Anda. Mario Teguh
Penggunaan kata seperti orang tak berbaju dan baju baru digunakan MT pada tweet [5] dalam konteks di mana seseorang yang tidak memiliki kemampuan pada suatu bidang, baik itu perilaku, pekerjaan, atau bahkan perkataannya dalam bidang tersebut tidak dapat dipercayai begitu saja. Sebab, relasinya dengan dunia pekerjaan atau pengadaan jasa, pelakunya harus memiliki kompetensi tinggi untuk meraih kepercayaan pelanggan. Secara metaforis, Ia menggambarkan bahwa tidak mungkin seseorang yang tidak berkompeten (orang tak berbaju) bisa menawarkan jasa (baju baru) yang sama sekali tidak ia kuasai. Penggunaan metafora ini bertujuan untuk membentuk citra diri yang baik dari seorang Mario Teguh dengan memberikan pendapat, saran, dan solusi bagi pengikutnya di jejaring sosial. Juga untuk menunjukkan kesan bahwa MT adalah seorang yang imajinatif melalui pilihan ungkapan yang digunakannya.

Pilihan Ekspresi Eufimistik
Eufimistik adalah ekspresi kebahasaan yang bertujuan memperhalus realitas yang sebenarnya (Santoso, 2009: 68).
[6] Jauhkanlah kami dari orang-orang tak berpengetahuan yang yakin mengharamkan yang tak dimengertinya. Aamiin – Mario Teguh
MT menggunakan pilihan leksikon orang-orang tak berpengatahuan untuk merefleksikan sifat bodoh yang melekat pada satu golongan tertentu. Jika eufimistik ini digunakan secara terus menerus, relasi-relasi lingual yang muncul dapat dimaknai dengan relasi ideologis (Santoso, 2009).
 
Pilihan Kata-kata Formal
[7] Galau dan super pedih: Tertawa riang dan berbahagia di dekatnya tapi tahu pasti kau tak dapat memilikinya. Mario Teguh
Pada awalnya, kosakata yang belum disifati oleh kata formal memiliki bentuk sederhana dan mudah dipahami. Akan tetapi, saat pemilihan kata formal dilakukan ada sebuah proses “pencanggihan” berbagai kosakata. Jika kata-kata formal didayagunakan tidak semestinya, relasi-relasi lingual yang muncul dapat dimaknai dengan relasi ideologis (Santoso, 2009:69).
Tweet di atas menunjukkan penggunaan kata super yang disematkan pada kata pedih. Santoso (2009) menyatakan bahwa pilihan kosakata formal dapat menciptakan kesan-kesan kekuasaan, jarak sosial, posisi, ataupun status. Dalam kasus ini, MT menggunakan pilihan kata formal untuk menunjukkan posisi dan status seseorang yang sedang berada dalam wilayah psikologis tertekan karena perasaan sedih dan galau.

Pilihan Kata-kata Informal
Kata-kata informal merujuk pada kosakata sehari-hari atau kolokial yang dipilih individu dan kelompok masyarakat tertentu untuk “membaca” atau “menulis” tentang realitas (Santoso, 2009:69).
[8] Wanita yang bilang ‘gak juga’ untuk nasihat tentang wanita hebat – bukan wanita hebat. ATIMH – Mario Teguh
Kata ‘gak juga’ merupakan salah satu bentuk kata informal yang digunakan MT pada salah satu status twitter-nya. Relasi antara wanita yang disifati oleh ‘gak juga’ memunculkan signifikasi ideologis yang maknanya ditegaskan kemudian oleh klausa bukan wanita hebat.

Evaluasi Positif & Negatif
[9] Kegalauan bukanlah penyakit, bukanlah kekacauan jiwa, tapi kewajaran pada jiwa muda yang sedang tumbuh. Mario Teguh
Evaluasi terhadap teks sering dimunculkan secara implisit melalui kosakata. Pilihan kosakata yang menghasilkan evaluasi positif dan negatif akan menimbulkan makna ideologis tertentu (Santoso, 2009:70). Terkait dengan tweet [9] MT berusaha merubah citra negatif yang selama ini melekat pada kata galau. Pemilihan bentuk negasi bukan menghasilkan evaluasi positif terhadap kata kegalauan, di mana modalitas relasional yang terwakili oleh kata tapi memberikan pernyataan baru tentang kegalauan, yakni kewajaran. Bukanlah penyakit, bukanlah kekacauan jiwa.

IDEOLOGI PADA LEVEL GRAMATIKA
Pilihan Ketransitifan
MT menunjukkan ketegasan makna dalam pilihan proses relasi identifikasi pada beberapa kesempatan. Contoh ketegasan makna itu bisa dilihat pada tweet berikut ini:
[10] Cinta yang terkuat adalah cinta yang tak diketahui alasannya. Mario Teguh
Klausa identifikasi adalah sistem ketransitifan yang kedudukan antara “teridentifikasi” (identified) dan “pengidentifikasi” (identifier) dapat dibalik dalam penggunaannya seperti rumusan “a adalah b” sama dengan “b adalah a” (Santoso, 2009:102). Pada tweet [10] kalimatnya dibangun dengan proses identifikasi di mana kedudukan kata adalah itu sentral.

Cinta yang terkuat
Adalah
Cinta yang tak diketahui alasannya
Teridentifikasi
proses identifikasi
pengidentifikasi

Dengan demikian, urutan klausa yang terdapat pada tweet [10] adalah “teridentifikasi+proses identifikasi+pengidentifikasi”.

Pilihan Kalimat Aktif-Pasif
Richard, Platt & Platt (dalam Santoso, 2009:97) menyatakan bahwa pilihan kalimat aktif-pasif merupakan persoalan voice di mana sebuah bahasa mengekspresikan hubungan antara frasa verba dan frasa nomina melalui cara tertentu, serta berbagai hal yang diasosiasikan dengan relasi itu.
Dua buah kalimat mungkin saja berbeda dalam voice-nya meskipun memiliki makna dasar yang sama (Santoso, 2009). Hal itu disesuaikan dengan berbagai pertimbangan dalam situasi tertentu. Tweet berikut menunjukkan penggunaan kalimat pasif yang dimaksudkan untuk memberikan kesadaran kepada objek sasaran tentang pentingnya upah tinggi dalam dunia pekerjaan.
[11] Anda akan dibayar seperti orang rata-rata, jika yang Anda kerjakan bisa dikerjakan oleh orang rata-rata. Mario Teguh
Pilihan aktif-pasif ini berdampak pada hadir atau tidaknya agen (Santoso, 2009:97). Ketidakhadiran agen, misalnya, akan mengakibatkan pelakunya tersembunyi. Pada klausa akan dibayar seperti orang rata-rata, MT menyamarkan pelakunya. Akan tetapi, pada klausa dikerjakan oleh orang rata-rata, dengan jelas pelakunya diikutsertakan. Maksud dari kedua bentuk pasif tadi akan memiliki kesan makna yang berbeda jika diekspresikan dalam bentuk aktif.

Pilihan Bentuk Positif-Negatif
[12] Jangan pernah lakukan apa pun yang bisa dilakukan oleh siapa pun, dan tidak untuk jangka panjang. Mario Teguh
Fairclough (dalam Sultan, 2012) menyatakan bahwa ketika seseorang ingin menyalurkan sesuatu yang terdapat dalam realitas atau sesuatu yang hanya ada dalam imajinasi, peristiwa, atau hubungan seringkali memilih pilihan yang berbeda pada proses gramatika.
Terkait dengan tweet di atas, MT mengekspresikan muatan ideologis secara implisit melalui penggunaan negasi jangan dan tidak. Konteks dari tweet [12] ialah model pekerjaan yang umum dilakukan kebanyakan orang bukanlah sebuah profesi ideal untuk dijalani dalam jangka waktu yang lama. Sehingga, MT menegaskan pentingnya menghindari profesi seperti itu dengan menggunakan ekspresi bahasa dalam bentuk negatif.
Pilihan Modus Deklaratif-Interogatif-Imperatif
Santoso (2009) mengemukakan ada tiga cara untuk mengekspresikan kalimat kepada mitra bicara, yakni (1) deklaratif, (2) interogatif, (3) imperatif. Modus deklaratif mengandung makna permintaan untuk sebuah informasi; modus interogatif atau pertanyaan mengandung makna menawarkan tindakan; modus imperatif merupakan sebuah bentuk saran atau anjuran.
Tweet berikut ini merupakan bentuk imperatif yang digunakan MT untuk memberikan muatan ideologis tentang efek negatif dari perilaku galau yang ditujukan kepada para follower-nya.
[13] Saat Anda galau, lihatlah wajah Anda di cermin. Jika Anda tidak menyukainya, apalagi orang lain. Get up! Mario Teguh

Pilihan Modalitas Relasional
Alwi (dalam Santoso, 2009) menunjukkan empat golongan besar modalitas: Pertama, modalitas intensional yang berkaitan dengan fungsi instrumental bahasa yang dapat digunakan untuk menyatakan “keinginan”, “ajakan”, “pembiaran”, dan “permintaan”.
Kedua, modalitas epistemik berupa penilaian penutur terhadap kemungkinan dan keperluan bahwa sesuatu itu demikian atau tidak demikian. Modalitas epistemik mampu mengekspresikan “kemungkinan”, “keteramalan”, “keharusan”, dan “kepastian”.
Ketiga, modalitas deontik yang berkolerasi dengan kewajiban yang memiliki makna “perintah”, “izin”, dan “larangan”.
Keempat, modalitas dinamik yang mempersoalkan sikap pembicara terhadap aktualisasi peristiwa yang ditentukan oleh “keadaan yang lebih bersifat empiris” (Santoso, 2009) yang mengandung makna “mampu”, dan “sanggup”.
[14] Tuhan, wajarkanlah nafsu makanku, agar lebih mudah bagi mencapai bentuk tubuh yang indah. Aamiin – Mario Teguh
Dalam tweet [14] terdapat modalitas relasional intensional yang bermakna “keinginan” dan “permintaan”. Kedua hal itu direfleksikan pada pilihan kata agar untuk mencapai keinginan atau permintaan MT mencapai bentuk tubuh yang indah.

Pilihan Pronomina Persona
[15] Anda menentukan harga Anda sendiri, jika tidak mungkin bagi siapa pun untuk mengerjakan yang Anda kerjakan. Mario Teguh
Pronomina Anda digunakan untuk menciptakan kelas sosial yang lebih terhormat. Pilihan kata itu akan memiliki makna yang berbeda dengan pilihan kata lainnya seperti pronomina kamu atau elu (dalam kebudayaan betawi) yang nilainya tidak sama dengan pronomina Anda.

KESIMPULAN
Pilihan kosakata dan bangunan gramatika dapat menciptakan “jaring makna” yang mendorong kepada perspektif tertentu yang bermuatan ideologis.
Setelah melakukan analisa, penulis menyimpulkan bahwa pola-pola kebahasaan yang dibangun pada setiap twitter post dalam akun @MTLovenHoney memang sengaja diberdayakan sebagai agen ideologis dari berbagai pemikiran MT tentang kehidupan untuk menciptakan citra pribadi yang baik. Hal itu teridentifikasi melalui pemilihan kata-kata yang diperjuangkan seperti cinta, jiwa, wanita, laki-laki, pria atau bentuk penghormatan dan pendekatan yang terkandung dalam penggunaan kata Anda dan adik-adik. Selain itu, MT juga sering menyisipkan kata-kata yang bernilai sakral seperti kata Tuhan. Serta berjuang untuk mengarahkan pemahaman yang baru terhadap makna kegalauan sebagai bentuk kewajaran yang terjadi pada anak muda. Menurut pengamatan penulis, pencitraan diri yang dilakukan MT melalui pemilihan kata-kata tersebut bertujuan untuk mempertahankan eksistensi dan kredibilitasnya sebagai seorang public figure. Signifikasi pasar yang dikhususkan kepada anak muda yang sedang mengalami kegalauan, laki-laki, dan wanita yang didorong untuk menjadi jiwa yang sukses serta memperoleh kedudukan sosial dan berpendapatan tinggi menjadi sebuah komoditas yang bernilai strategis baginya. Kemudian, penyertaan nama pada setiap akhir tweet merupakan bentuk pencitraan diri lainnya untuk mempromosikan diri. Alih-alih menggunakan inisial, penulisan nama lengkap lebih digemari agar orang yang melihatnya memperoleh kesan bahwa MT adalah sosok yang penuh percaya diri.
Bagaimanapun, hal ini membuktikan bahwa pendapat Santoso (2009) yang menyatakan muatan ideologis, baik itu yang disalurkan melalui pola pemilihan kata ataupun bangunan gramatika tertentu, benar adanya. Sebagai penutup, penulis akan mengutip sebuah pernyataan sebagai berikut: “The structure of the language one habitually uses influences the manner in which one thinks and behaves” (Sapir – Whorf dalam Kramsch, 1998:11).




DAFTAR PUSTAKA
Blog Sultan (2012, November 5). Bahasa pencitraan dalam wacana iklan kampanye calon anggota legislatif 2009 [Web log post]. Retrieved from http://sultanhabnoer.wordpress.com/2012/05/30/bahasa-pencitraan-dalam-wacana-iklan-kampanye-calon-anggota-legislatif-2009/
Crystal, David. (2006). Language and the internet (2nd ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Dubs, Patrick J., & Whitney, Daniel D. (1980). Cultural context: Making anthropology personal. Boston: Allyn and Bacon.
Fahrurroji, F., Permadi, C. B., & Kurnianto. (2012). Language & ideology. (Unpublished slide show). Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Indonesia.
Kelsey, Todd. (2010). Social networking spaces from facebook to twitter and everything between. New York: Apress.
Kramsch, Claire. (1998). Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Putrayasa, Ida Bagus. (2007). Analisis kalimat: Fungsi, kategori, dan peran. Bandung: Refika Aditama.
Santoso, Anang. (2009). Bahasa perempuan: Sebuah potret ideologi perjuangan. Jakarta: Bumi Aksara.
Santoso, Anang (2008). Jejak Halliday dalam linguistik kritis dan analisis wacana kritis. Bahasa dan Seni, 36(1), 1-15.
Woolard, Kathryn A. & Schieffelin, Bambi B. (1994). Language Ideology. Annual Review of Anthropology. 23, 55 – 82.
Woolard, Kathryn A., Schieffelin, Bambi B., & Kroskrity, Paul V (Eds.). (1998). Language ideologies, practice and theory. New York: Oxford University Press.


LAMPIRAN
Akun Twitter Mario Teguh:                








Posting:
[                                           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Tata Bahasa Kasus (Case Grammar)

Perbedaan Bahasa antara Jawa Indonesia dan Jawa Suriname”

CINTA-MU SELUAS SAMUDRA KARYA GOLA-GONG