Language Discrimiation : Penggunaan bahasa Alay
Yuliana Kuslambang Ningrum
(1110026000014)
English Letters Department/ 5B
UAS General Linguistic II
UIN Syarif Hidayatullah
2012
Pendahuluan
Bahasa merupakan sistem lambang
bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota kelompok sosial untuk bekerja
sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kentjono: 1982, Kridalaksana:
1983). Fungsi bahasa tersebut adalah sebagai alat komunikasi, alat ekspresi dan
alat berpikir. Ketika seseorang menggunakan bahasa, ada sesuatu yang ingin
disampaikan berupa informasi. Ekspresi seseorang ketika menyatakan senang atau
susah paling lengkap dinyatakan dengan bahasa, tidak dapat hanya dengan
tersenyum atau menangis karena ekspresi yang menggunakan bahasa tubuh tidaklah
lengkap. Bahasa menunjukan perbedaan antara satu penutur dengan penutur
lainnya, tetapi masing-masing tetap mengikat kelompok penuturnya dalam satu
kesatuan sehingga bahasa memungkinkan tiap individu untuk menyesuaikan dirinya
dengan adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat bahasa tersebut ( Gani, Ramlan A.
& Fitriyah, Mahmudah: 2010 ). Komunikasi
itu tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami
oleh orang lain, ( Gorys Keraf, 1974:4 ). Jadi, jika tulisan
pun tak dapat dibaca, apalagi dimengerti, bagaimana komunikasi dapat terjadi.
Wacana merupakan istilah umum dari penggunaan bahasa. Dalam
sebuah Modul Discourse Analysis, tertera jelas bahwa wacana berkaitan dengan
penggunaan bahasa yang berbentuk lisan dan tulisan. Yang ingin saya tekankan
dalam artikel ini bagaimana bahasa digunakan dalam bentuk tulisan. Bahasa yang
dimaksud disini adalah bagaimana bahasa Indonesia digunakan dalam bahasa alay. Selain itu, dalam berbahasa terdapat hak
asasi berbahasa yang dimiliki setiap individu maupun kelompok. Namun, pada
kenyataannya banyak masyarakat yang mendiskriminasi perbedaan penggunaan bahasa
yang dipakai oleh kelompok tertentu. Diskriminasi ini disebut linguicism atau
diskriminasi bahasa. Oleh karena itu, esai ini akan membahas diskriminasi
bahasa yang terjadi pada bahasa alay yang digunakan oleh penulis artikel Messing with Letters dari website The Jakarta Post tanggal 2 November
2009.
Landasan
Teori
Analisis Wacana Kritis ( Critical Discourse Analysis )
dan Pragmatik , wacana merupakan wujud dari
tindakan sosial yang diproduksi dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pihak
yang memproduksinya. Sesuai dengan masalah yang akan dikaji, maka penelitian
ini berpedoman pada definisi wacana yang tidak bebas nilai dan tidak netral (Van Dijk: 1988). Paradigma kritis menggambarkan dunia sebagai suatu
sistem yang tidak seimbang melainkan sebagai suatu sistem yang mengandung
dominasi, eksploitasi, pengorbanan, penindasan dan kekuasaan. Kaum kritis
berusaha untuk memperlihatkan kesalahan yang muncul pada keadaan masyarakat.
Mereka cenderung tertarik dengan kelompok yang didominasi dibandingkan dengan
siapa yang melakukan dominasi tersebut (Johnstone, 2002:26).
( Van Dijk :1988 ) dalam karyanya News as
Discourse yang menjelaskan bahwa analisis wacana merupakan
proses analisis terhadap bahasa dan penggunaan bahasa dengan tujuan memperoleh
deskripsi yang lebik eksplisit dan sistematis mengenai apa yang disampaikan. Analisis Wacana
Kritis akan mendekonstruksi dan menantang
struktur sosial di artikel tertulis dan untuk melacak ideologi, asumsi, stereotip
penggunaan wacana yang
menghasilkan "pandangan yang berbeda dari dunia, pengalaman dan
keyakinan" ( Partridge: 2006 ). Namun, berdasarkan definisi linguicism atau diskriminasi bahasa, diskriminasi juga terdapat
dalam teks tertulis. Biasanya diskriminasi bahasa tersebut tidak langsung
terlihat atau disebut terselubung sehingga diperlukan teori pragmatik untuk
mengungkapkan diskriminasi tersebut.
Analisi
Data
Korpus tertulis yang akan dianalisis adalah artikel
Messing with Letters yang terdapat dalam website The Jakarta Post tanggal 2
November 2009.
Tujuan teks ini adalah memberikan informasi mengenai
peristiwa yang sedang hangat diperbincangkan pada kalangan pengguna sosial
media sekitar tahun 2008-2009.
Pada paragraf pertama terdapat kalimat bertuliskan dengan
kode-kode “JuD9e mE aLL y0u wAnT, keEp
tHe VeRdiCt t0 y0uRsELf” tulisan ini biasa disebut dengan tulisan alay,
dimana tulisan tersebut selalu menjadi bulan-bulanan diskriminasi masyarakat
yang menganggap tulisan tersebut kampungan karena tidak sesuai dengan kaidah
penulisan Bahasa Indonesia yang benar. Sesuai dengan fungsi bahasa yaitu sebagai
alat komunikasi, dan kontrol sosial, maka maksud utamanya adalah memperoleh
kemahiran berbahasa, baik dalam penggunaan bahasa secara lisan maupun secara
tertulis, agar mereka yang mendengar atau diajak bicara, dengan mudah dapat
memahami apa yang dimaksudkan. Oleh karena itu bahasa yang digunakan haruslah
bahasa yang umum dipakai, yang tidak menyalahi norma-norma yang umum berlaku (Keraf,
Gorys: 1993, 7 ). Tulisan yang dipakai berupa campuran huruf dan angka dan juga
huruf kapital yang diletakan disembarang posisi membuat tulisan ini tidak
sesuai dengan kaidah penulisan bahasa yang benar. Sehingga banyak orang yang
mendiskriminasi jenis tulisan seperti ini , padahal sesuai dengan hak asasi
manusia dalam berbahasa menyatakan bahwa kaum minoritas dilindungi hak
berbahasanya (Skutnabb-Kangas, Tove, and Phillipson, Robert: 1980 ). Selain itu
bentuk gaya penulisan yang ditulis oleh Ophie memiliki bentuk paralanguage
dimana bahasa tersebut memiliki makna tersembunyi dalam komunikasi linguistik
dalam hal ini berupa jenis font yang dipakai dalam penulisan bahasa alay (
Cook, Guy: 2003, 50 )
Pada paragraf selanjutnya terdapat kuesioner mengenai
pendapat pembaca tentang tulisan berupa kode huruf dan angka, bagaimana sikap
pembaca jika melihat tulisan tersebut. Setelah penulis memberikan penjelasan
mengenai bahasa “ alay ”. Pada kalimat “ What’s more, they mix up the upper and
lower case letters ” , penulis mengarah pada diskriminasi terhadap bahasa alay
karena menggunakan huruf kapital yang tidak tepat pada posisinya. Hal ini juga terjadi pada kalimat berikutnya
yaitu “ an example of this last case is young Ophi A. Bubu, who became a
popular target of people irritated by her preference for playing
with her letters ” dua kata yang
dicetak tebal tersebut menyebutkan diskriminasi yang dihadapi oleh Ophi A Bubu sebagai
subjek target karena tulisan yang ia tulis dapat merusak mata dan dirinya
menjadi target cemoohan orang lain. Lalu pada kata her letters penulis menyebutkan
tulisan tersebut hanya ditulis oleh komunitas yang menggunakan gaya penulisan alay,
hal ini mengidentifikasikan stereotipe yang dilakukan penulis.
Pada paragraf selanjutnya nama Ophi A. Bubu ( salah satu
pengguna facebook yang dilabel alay ) menjadi bahan obrolan dalam berbagai blog
dan forum dan terdapat diskriminasi pada kalimat “ not because her notes are so
great, but because they’re in code ”,
penulisan bahasa yang ditulis olehnya berupa kode-kode yang tidak dapat
dipahami oleh sebagian orang dan karena perbedaan inilah Ophi A Bubu mendapat
diskriminasi bahasa (linguicism).
Tulisan ini merupakan bentuk restricted code dimana tidak semua orang dapat
mengerti bahasa alay tersebut ( Cook, Guy: 2003, 14 ).
Setelah melihat contoh tulisan catatan facebook Ophi A
Bubu, penulis menjelaskan kembali mengenai penulisan Ophi “ Ophi has become famous for making writing even harder to
read than the scrawl of any docto r”, penulis berpendapat bahwa tulisan
Ophi A Bubu lebih sulit dibaca daripada tulisan dokter yang biasanya dianggap
sangat sulit dipahami oleh orang awam sehingga membuat dirinya sangat terkenal
di berbagai sosial media dan menjadi bahan tertawaan forum diskusi berbagai
sosial media. Bahasa alay merupakan bentuk visual communication karena bahasa
ini biasanya dapat dilihat pada jejaring sosial atau media online, dan jarang
dipakai dalam bentuk percakapan formal sehari-hari ( Cook, Guy: 2003, 51 )
Pada paragraf selanjutnya penulis akan menelaah apa yang
terjadi pada fenomena tulisan alay yang dbuat oleh Ophi A Bubu dan orang lain
yang juga menulis dengan cara yang sama. Penulis mewawancarai narasumber
bernama Arya Verdi Ramadhani, seorang psikolog. Berdasarkan kalimat “ The thing
is, Ophie doesn’t only mix letters; she
also missspells many words “, menurutnya hal yang membuat Ophi dirasa
menggangu pengguna sosial media lain adalah karena Ophi tidak hanya
mengacak-acak huruf dan angka tetapi juga merusak ejaan dalam berbagai kata.
Namun, narasumber ini tidak mendiskriminasi Ophi secara langsung , dirinya
hanya menyebutkan perbedaan kata-kata yang digunakan yang menyebabkan Ophi di
diskriminasi. Lebih lanjut penggunaan bahasa alay ini dimuat dalam sosial meda
facebook sebagai wujud ekspresi. Sehingga fenomena ini cepat menyebar luas di
berbagai forum diskusi online. Bahasa ini membutuhkan information design berupa
typhography yang berhubungan dengan pembelajaran mengenai organisasi visual
dari bahasa tertulis yang dibuat oleh tangan atau secara elektronik. Bahasa alay
biasanya terbentuk dalam benda elektronik karena lebih mudah untuk mengatur
tingkat kesulitan menulisnya ( Cook, Guys: 2003, 8 )
Pada paragraf selanjutnya, Arya menjelaskan lebih lanjut
mengenai definisi alay itu sendiri, dengan permohonan maaf Arya mencoba untuk
mendeskripsikan tanpa mendiskriminasi kata alay tersebut. “ Forgive me to
saying this, but it refers to
someone from kampung ( village ) who’s experiencing culture shock when he or
she comes to a big city like Jakarta ”, faktanya seseorang yang dikatakan alay
tersebut bukan hanya seseorang yang merasakan culture shock, tetapi juga
beberapa orang yang tidak tinggal di ibukota juga memiliki penggunaan penulisan
bahasa yang sama. Sehingga stereotipe mengenai alay ini juga mendiskriminasi
bahasa yang dipakai oleh anak muda yang tetap tinggal di berbagai daerah yang
bukan merupakan kota besar seperti Jakarta. Disetiap daerah menciptakan berbagai budaya yang berbeda dan dapat
menyebabkan diskriminasi atau labeling, yang mana kita sebut dengan stereotipe
(Kramsch, Claire: 1998). Kata “ forgive me for saying this “ juga memiliki
unsur pragmatik dimana kata ini mengartikan bahwa sebenarnya ia tidak ingin
mengatakannya jika tidak penting karena kalimat tersebut berisi kalimat
diskriminasi (Cook, Guy: 2003, 51 ).
Pada dua paragraf selanjutnya
Arya menjelaskan bahwa bahasa yang terdapat dalam bahasa alay tidak dapat
menganalisis tingkah laku dan sifat seseorang, karena bahasa tersebut ditulis
dengan alat elektronik seperti telepon genggam atau komputer. Sehingga
diskriminasi hanya terdapat pada penggunaan bahasa tulisan bukan terhadap
personal seseorang yang dianggap alay tersebut. ( Cook, Guy: 2003, 50 ).
“One person who chooses this
style of typing is 25-year old Fitriyu (not
her real name) ,who says she has been messing with letters since she was in
high school”. Penulis juga mewawancarai seseorang bernama Fitriyu yang juga
menggunakan bahasa alay semenjak dirinya masih duduk di sekolah menengah atas. Pada
tanda kurung terdapat cetak tebal secara pragmatik merupakan identifikasi bahwa
Fitriyu merupakan salah satu alay berdasarkan keterangan bahwa nama tersebut
bukanlah nama asli dirinya (Cook, Guys:2003, 51). Dia mengaku menggunakan
bahasa alay semenjak ia melihat temannya menggunakan tulisan alay , ia merasa
bahwa tulisan alay merupakan suatu hal yang kreatif. Pertama ia menggunakan
tulisan alay tersebut pada SMS lalu dilanjutkan ke sosial media seperti
Friendster dan Facebook. Fitriyu tidak menghiraukan diskriminasi bahasa yang
akan didapatkannya apabila ia menggunakan penulisan alay tersebut karena ia
merasa ingin tulisannya lebih menarik dan ia ingin menunjukan bahwa penulisan
bahasa alay tersebut merupakan jati dirinya. Selanjutnya penulis merasa
tercengang saat Fitriyu menyatakan bahwa bahasa alay yang teracak tersebut
dapat menajamkan pikiran dan kreatifitas pembaca dan penulis tulisan alay
tersebut.
Pada paragraf selanjutnya
Fitriyu menyatakan bahwa seseorang yang menggunakan bahasa alay bukanlah orang
bodoh, justru mereka sangat jenius karena dapat mengetik dengan cepat dan
konsisten dengan penulisan seperti itu. Penggunaan bahasa alay juga tidak
mmberikan efek apapun terhadap pekerjaannya sebagai penulis, karena dirinya
tahu kapan ia harus menulis dengan bahasa alay dan kapan ia tidak diperbolehkan
menulis dengan bahasa alay. Sehingga diskriminasi bahasa tidak akan memberi
efek apapun dalam profesionalitas dirinya.
Penulis juga mewawancarai
Dr. Sugiono dari Kementrian Pendidikan dan Pusat Bahasa, menyatakan bahwa tidak
perlu ada disriminasi bahasa alay karena hal tersebut hanyalah soal kreatifitas
seseorang dimana hal tersebut akan menghilang sendirinya seiring dengan waktu
orang tersebut akan beranjak dewasa. Dirinya juga mengakui, bahwa beberapa dari
orang-orang biasa juga menggunakan bahasa alay tersebut saat muda. Dirinya juga
menghimbau agar kita semua tidak mendskriminasi dirinya, mencemooh dan melabel
Ophi dengan sebutan alay, karena hal tersebut merupakan tindakan penganiayaan. “
Linguicism is a major factor in determining wheter speakers of particular
languagea are allowed to enjoy their linguistic human rights “ (Skutnabb-Kangas, Tove, and Phillipson, Robert: 1980 ),
pada pernyataan diatas tersirat kebebasan dalam berbahasa yang dimiliki oleh
beberapa kaum minoritas termasuk “alay”.
Menurut Arya, diskriminasi
bahasa yang dilakukan di media online merupakan bentuk virtual bullying yang sangat berbahaya secara psikologis, karena
dalam media online orang-orang cenderung bersikap lebih ekspresif daripada
dirinya di dunia nyata, mereka akan mencemooh apapun yang dianggap tidak sesuai
dan menertawakan sesuatu yang lucu untuk bahan bersenang-senang dan dilihat
oleh banyak sekali pengguna sosial media.
Ophi A Bubu mendapat
serangan yang sangat hebat pada akun jejaring sosial facebooknya karena ia
menulis catatan yang dapat dilihat semua orang. Hal ini kemungkinan akan
menyebabkan dirinya stres berat karena beban psikologis yang di deritanya,
bahkan hal yang paling buruk adalah jika Ophi mungkin akan melakukan sesuatu
yang berbahaya seperti bunuh diri. “So, as Arya suggest, just keep “your annoyance” against alay people,
or more precisely, those who mess with letters, to yourself or your circle of
closed friends”. Arya menghimbau pembaca agar tidak mendiskriminasi para alay
dan pada kalimat bercetak tebal secara pragmatik Arya menirukan gaya
diskriminasi orang-orang yang menganggap bahwa alay merupakan pengganggu,
tetapi pada kalimat ini diskriminasi justru berbalik menjadi himbauan agar
masyarakat tidak mendiskriminasi bahasa alay atau personal alay itu sendiri.
Kesimpulan
Penulis merupakan salah satu penyumbang opini yang cukup
berpengaruh terhadap tulisan yang ada
dalam suatu artikel. Artikel yang bersifat persuasif dapat mengajak pembacanya
untuk memiliki opini yang sama terhadap penulis. Namun, dalam sebuah artikel
pasti ada suatu kata yang memiliki makna terselubung di dalamnya termasuk dalam
artikel ini. Asumsi inilah yang akan dinilai pembaca apakah artikel ini
memiliki diskriminasi bahasa yang tersirat atau tidak.
Analisis membuktikan bahwa kata-kata yang dimuat dalam
artikel ini memiliki nilai-nilai bahasa yang bersifat pragmatis yaitu memiliki
makna dalam setiap kata yang mengarahkan pada suatu objek yang diperbincangkan
( Cook, Guy: 2003, 50 ). Kemudian timbulah tulisan yang bersifat diskriminatif
terhadap subjek yang dibicarakan dalam artikel tersebut. sebagian besar
diskriminasi yang tertulis merupakan diskriminasi yang diungkapkan oleh penulis
itu sendiri.
Dalam analisis artikel ini penulis memiliki karakter yang
kuat sebagai seseorang yang netral dan tidak ingin di dominasi oleh subjek yang
diperbincangkan dalam artikel ini. Namun, hal itu tidak terlibat sebagai dalam versi verbalnya. emosi yang
menjadi kunci penentu-bagaimana tujuan komunikasi dilakukan dalam berbicara dan dalam ucapan dan bebas menggunakan
fitur prosodi ( Jahandarie,
1999 ).
Namun,
pada seseorang yang diwawancarai oleh si penulis. Disana tidak terdapat
diskriminasi bahasa yang berarti, justru interviewee
memberikan penjelasan mengenai diskriminasi bahasa yang menyudutkan Ophi A
Bubu dapat menyebabkan bentrokan psikologis Ophi. Kemudian bahasa yang
digunakan penulis pun tidak menyudutkan kamu minoritas alay.
Hukum
hak asasi berbahasa yang dimiliki oleh Ophi A Bubu berupa hak untuk menggunakan
bahasa yang diidentifikasikan bahasa yang berupa bentuk kode-kode yaitu
percampuran huruf dan angka tersebut ternyata tidak dipedulikan oleh penulis
dengan menyebutkan kata “ irritated ” yang berarti merusak, dalam hal ini
merusak pandangan masyarakat terhadap tulisan berbentuk campuran huruf dan
angka yang secara pragmatis memiliki makna diskriminasi ( Cook, Guy: 2003, 50
).
Dalam
kalimat yang menyebutkan bahwa Ophi tidak hanya mengacak huruf dan angka tetapi
juga salah mengeja kata-kata yang dipakainya. Hal ini justru menurut saya
menyalahi aturan berbahasa Indonesia dimana Ophi melakukan diskriminasi bahasa
terhadap bahasnya sendiri yaitu Bahasa Indonesia ( Gorys, Keraf: 1993, 48 ).
Kesimpulan
dari analisis artikel ini adalah wacana analisis kritis dapat membuka makna
terselubung dalam suatu kalimat. Dibantu dengan sisi pragmatis yang dipakai
dalam membuka makna tersebut sehingga sisi diskriminasi dalam suatu artikel
yang terselubung dapat dianalisis dengan benar. Selain itu terdapat analisis
paralanguage karena dalam artikel ini jelas menggunakan bahasa non-verbal
dimana Ophi A Bubu menulis dalam catatan akun Facebooknya dan diskriminasi yang
ia dapat berupa cemoohan yang juga berasal dari komentar teman-teman
facebooknya ( Cook, Guy: 2003, 50 ).
Oleh karena itu saya juga memberikan analisis visual communication
berupa penggunaan media visual dalam mendiskriminasi Ophi A Bubu ( Cook, Guy:
2003, 51 ). Selain itu ilmu typography juga berpengaruh dalam penulisan artikel
ini karena proses pembuatan artikel ini dimuat dalam bentuk visual dan
pengetikan dimuat dalam bentuk media online elektronik. ( Cook, Guy: 2003, 8 ).
References
Gani, Ramlan A.
& Fitriyah Z. A, Mahmudah. 2010. Disiplin
Berbahasa Indonesia. Jakarta: FITK Press.
Cook,
Guy. 2003. Applied Linguistic. Oxford
University Press.
Kramsch,
Claire. 1998. Language and Culture. Oxford
University Press.
Gorys,
Keraf. 1993. Komposisi . Flores: Nusa
Indah.
Tove, Skutnabb
Kangas & Phillipson, Robert. 1996. Language
and Human Right. Walter de Gruyter.
http://www.thejakartapost.com/news/2009/10/28/messing-with-letters.html
Messing with letters
Dian Kuswandini, The Jakarta
Post, Jakarta | Life | Wed, October 28 2009, 9:40 AM
A- A A+
Tribute: Although several fan pages for Ophi A. Bubu still
exist, others were reportedly banned by Facebook because of the vulgar messages
posted attacking Ophi. facebook.com
“JuD9e mE aLL y0u
wAnT, jUSt keEp tHe VeRdiCt t0 y0uRsELf.”
When you see text
written in this kind of style, you think: (a) That’s cool. (b) Whoever wrote
that should be shot, or have their fingers broken. (c) So what? If that’s the
writer’s style ...
If your answer is (b), then you could be part of a growing club whose members use the word “alay” to refer to — or mock — anyone who types using a mix of upper and lower case letters and numbers.
If your answer is (b), then you could be part of a growing club whose members use the word “alay” to refer to — or mock — anyone who types using a mix of upper and lower case letters and numbers.
The word alay has
no exact meaning or obvious derivation; it seems to have come out of nowhere.
However, it refers
to something “tacky” and “cheesy” (norak or kampungan, in Indonesian). Alay is
used to describe, critically, how certain people dress (like fashion victims),
what kind of music they listen to (usually fans of Malay-sounding bands like ST
12, Wali or Kangen Band) and how they write things (they try to make words
sound “cuter”, like replacing “home” with “humzz”).
What’s more, they
mix up the upper and lower case letters.
An example of this
last case is young Ophi A. Bubu, who became a popular target of people
irritated by her preference for playing with her letters.
Ophi who?
Ophi A. Bubu. The
high school student from Banyuwangi of East Java, who says she was born in
1991, shot to fame in the virtual world for her postings on her Facebook page.
Her name is getting
mentioned in blogs and forums everywhere — all of them discussing her writing.
Not because her notes are so great, but because they’re in “code”. For example:
Lost in
translation: Although the “alay”
text generator enables visitors to the page to convert conventional text into
mixed-letters writing, in a parody of language translation websites, it was
designed to make fun of alay followers. alaygenerator.co.cc
cXnK qMoh tO
cKiDnAAAAaaaAaAaaaa……(Translation: Sayang kamu tau sakitnya / Honey, do you
know how much that hurts?)
m_tHa apOn YoH……………
(Minta ampun ya / Please forgive me)
qoH tLuZ”aN uCHA bWaD tTeP qEqEUh cXnK qMo……….
(Aku terus terusan berusaha buat tetep kekeuh sayang kamu / I keep on trying to love you)
bUD….. (But)
cIa” adJA………………… (Sia sia aja / It’s useless)
m_tHa apOn YoH……………
(Minta ampun ya / Please forgive me)
qoH tLuZ”aN uCHA bWaD tTeP qEqEUh cXnK qMo……….
(Aku terus terusan berusaha buat tetep kekeuh sayang kamu / I keep on trying to love you)
bUD….. (But)
cIa” adJA………………… (Sia sia aja / It’s useless)
So, quite simply,
Ophi has become famous for making writing even harder to read than the scrawl
of any doctor.
Nevertheless, her
approach to writing attracted a lot of attention, with some people reproducing
her writing in forums and blogs, and others wanting to be her friends in
Facebook.
All this was too
much love in the eyes of those who despised her writing style and made fun of
her. Her detractors took to writing nasty messages on Ophi’s page, mocking her
and labeling her “the Queen of Alay”.
This kind of
bullying was too much for Ophi, who had nearly 4,000 Facebook friends in the
middle of the month. She deactivated her Facebook account.
Although some of her
supporters defended her by setting up fan clubs in Facebook and Twitter, Ophi
has never been heard from since.
The Ophi phenomenon
raises questions, about writing and our response to it: Is messing with agreed
writing conventions socially acceptable, or is it something utterly annoying
that should be stopped?
While some of us — let’s admit it — would agree with the latter, psychologist Arya Verdi Ramadhani takes us below the surface.
While some of us — let’s admit it — would agree with the latter, psychologist Arya Verdi Ramadhani takes us below the surface.
“I can understand
why people are so annoyed by her,” says Arya, who has followed the Ophi
phenomenon during the past few months. “The thing is, Ophi doesn’t only mix
letters; she also misspells many words.”
Talk of the
town: Blogs and forums
discuss Ophi’s style of writing, with her mixture of symbols, upper case and
lower case letters, and numbers. natasyadenaya.tumblr.com
Arya believes the
writing of Ophi and her ilk emerged following trends in SMS language and
instant messaging (IM), where, for example, the letter “E” is replaced with “3”
and “g” with “9”. Homophones also came to be used, where “gr8” means “great”,
for example.
“It then continued
with the trend of Friendster, a social site that truly supports people in
expressing themselves,” Arya says.
The combination of
these trends, he adds, brought the alay phenomenon to the scene, making it a
wider issue for discussion.
“The alay
phenomenon came on the scene about one or two years ago,” Arya says.
“Forgive me for
saying this, but it refers to someone from a kampung [village] who’s
experiencing culture shock when he or she comes to a big city like Jakarta.
“That person
dresses up in what he or she thinks is ‘trendy’, while in the eyes of others
[urbanites], that attire is truly in bad taste.”
On a wider scale,
Arya adds, the term alay encompasses people like Ophi who think that messing
with letters is a trend to follow.
A similar trend is
taking place in Japan, where the term gyaru-moji is used to refer to a style of
obfuscated Japanese writing popular among Japanese youth, which started to gain
media attention around 2002. It is also called heta-moji — heta means poor (in
handwriting). As with SMS language, a message typed in gyaru-moji usually
requires more characters and effort than the same message typed in conventional
Japanese.
Because of the
extra effort and the perception of confidentiality, sending gyaru-moji messages
to a friend is seen as a sign of informality or friendship.
In Indonesia,
however, this “messing with letters” style of writing is attracting more
criticism.
“Perhaps we see it
as something wrong or cheesy,” says Arya. But those who adopt the writing
style, he adds, “they think that mixing letters is something cool. They think
that they can appear cute and unique by doing that.”
And so when it
comes to teenagers such as Ophi, this style of writing signifies a search for
identity.
“It’s normal that
in their adolescent phase, these young people want to express themselves in
various ways,” Arya explains.
“For example, from
the way they speak or dress, or the way they follow the latest trends like
BlackBerrys or Facebook.”
Or choosing a
certain type of writing style.
But what does it
say about a person?
This trend, he
points out, is something very peculiar to the computer age: Even graphology —
the study and analysis of handwriting in relation to human psychology — can’t
really explain this phenomenon.
“Usually, we apply
graphology to Latin cursive [handwriting],” Arya says. “Graphology analyzes the
thickness of the letters, as well as their positions and slant.”
Theoretically, he
says, someone who loves to write in large letters can be seen as someone who’s
confident and extrovert. Those who write in small letters can be seen as
introverted and shy.
The alay phenomenon, Arya adds, cannot be addressed in the same way.
The alay phenomenon, Arya adds, cannot be addressed in the same way.
“Besides, it’s
typing, not handwriting.”
One person who
chooses this style of typing is 25-year-old Fitriyu (not her real name), who
says she has been messing with letters since she was in high school.
“At first, I saw my
friends doing it, and I just followed them because I thought it was creative!”
says the writer for a local teen magazine.
“Then SMS came
along, as well as Facebook, so I got used to that [writing style] even more.”
Fitriyu plays down
any notion that the writing style is annoying, saying, “I just want to make my
[typed] writing look less boring. It’s kind of part of my identity, too.”
Interestingly,
Fitriyu says that writing in messed-up letters can sharpen the writer’s — and
reader’s — brain and creativity.
“How can you say
that people who write in messed letters are stupid?” she says.
“They’re genius!
Just imagine being able to type quickly that way so consistently. Isn’t that
like a brain exercise?” she laughs, adding that her preference doesn’t affect
her professional work as a writer.
“I know when I
should use that writing style and when I should not.”
On that point, Dr.
Sugiyono of the Education Ministry’s Language Center, agrees, saying you can’t
judge someone without knowing the context.
“If it is for a
creative reason, then go ahead,” says Sugiyono, head of the center’s Language
and Literature Development division. “But if it’s for education, for example —
then you know the rule: It’s not allowed.”
Neither is he
bothered by any long-term effects on youth.
“I do believe that
many of our high-ranking officials here in this country used to be that way too
[when they were young],” Sugiyono laughs.
“It’s something
that will disappear as they grow up; so don’t worry.”
Arya agrees with
Sugiyono.
“Just admit it:
Many of us used to be like that back in our younger days, right?” he says.
“So, please, don’t bully people like Ophi. When you’re rude to her, mock her or label her with ‘alay’, that’s bullying.”
“So, please, don’t bully people like Ophi. When you’re rude to her, mock her or label her with ‘alay’, that’s bullying.”
Virtual bullying
can be really psychologically harmful, Arya says, because, in the virtual
world, people tend to be more expressive than they would be in person; they
love to laugh at others and love to make fun of anything. And the audience is
much wider.
“When it happens in
the virtual word, everyone can see it because it’s a shared public space,” he
says.
“In the case of
Ophi, she’s been massively attacked; she just couldn’t defend herself.
“Just imagine if
you were her, if you were the target of gossip among of your friends,” he adds.
“Ophi might be
really stressed and might do something dangerous, like suicide. Would you be
responsible for that?”
So, as Arya
suggests, just keep “your annoyance” against alay people, or more precisely,
those who mess with letters, to yourself or your circle of closed friends.
Komentar
Posting Komentar