Quran text in analysis
Dewi
Afriyanti
1110026000023
English
Letters Department – 5 B
Final
Test – General Linguistics 2
Tema : Language and Religion
Interprestasi
Linguistik dalam Bahasa Al-Qur’an
I.
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah
wahyu dari Allah SWT.yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui Malaikat
Jibril dan merupakan kitab suci agama Islam. Al-Qur’an memiliki peranan yang sangat besar dalam kehidupan umat manusia.
Bukan hanya diperuntukan bagi manusia saja, bahkan makhluk selain manusia pun merasakan arti penting akan kehadiran al-Qur’an. Al-Qur’an ditulis dengan menggunakan
bahasa Arab. Penggunaan
bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an
bukan tanpa alasan, bahasa Arab bagian dari rumpun bahasa yang besar yaitu
rumpun bahasa Samiyah (Semit), yang terbagi menjadi Syarqiyah (Timur) dan
Gharbiyah (Barat), Syamiyah Gharbiyah dibagi lagi menjadi Gharbiyah Syimaliah
dan Gharbiyah Janubiyah, sedangkan Syamiyah Syarqiyah dibagi menjadi Akadiyah
dengan cabangnya yaitu Babiliyah (Babiloni) dan Asy-Syuriyah (Suriah). Dari
jalur Gharbiyah Janubiyah inilah lahir bangsa Arab dan Habasyah.
Sejak munculnya Islam
dan wahyu dari allah SWT. berupa Al-Qur’an pada awal abad ketujuh, kitab suci Muslim
ini telah menjadi subyek dari banyaknya studi analisis yang luas. Fokus dari
sebagian besar studi ini meliputi aspek teologis dan legislatif dari kitab suci
al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan panduan rinci kepada setiap Muslim tentang
masalah sehari-hari. Bersamaan dengan perkataan, perbuatan dan rekomendasi dari
Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an telah menjadi sumber utama dari otoritas hukum
bagi umat Islam selama empat belas tahun yang lalu. Namun, aspek lain dari al-Qur’an
yang telah mendapat perhatian jauh dari sekedar pandangan teologis dan
legislatif adalah signifikansi linguistiknya. Al-Qur’an merupakan buku pertama
berbahasa arab yang tidak diragukan lagi dari segi linguistiknya. Dengan
melihat kandungan yang terdapat dalam ayat-ayatnya membuat al-Qur’an memiliki
keindahan bahasa yang tidak tertandingi. Di dalam makalah ini penulis mencoba
untuk mencari tahu tentang peranan linguistik dalam kajian al-Qur’an.
II.
Landasan
Teoritis
(dewantara, 2012) Linguistik adalah ilmu yang mengambil bahasa
sebagai objek kajiannya (Chaer, 2007:6; Pateda, 1991:15). Parera (1991:20)
mengatakan bahwa linguistik merupakan satu ilmu yang otonom dan menggunakan
metode-metode ilmiah. Teori
linguistik terapan merupakan cabang linguistik yang memusatkan perhatian pada
teori umum dan metode-metode umum dalam penelitian bahasa. Pengertian bahasa
secara umum dapat didefinisikan sebagai lambang. Pengertian lain dari bahasa
adalah alat komunikasi yang berupa sistem lambang yang dihasilkan oleh alat
ucap pada manusia. Ibnu Jinni, seorang linguis Arab mendefinisikan bahasa
sebagai bunyi yang digunakan oleh setiap kaum untuk menyampaikan maksudnya.
Bunyi-bunyi bahasa menurut Plato
secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Kridalaksana sebagaimana yang
dikutip oleh Aminuddin
mengartikan bahasa sebagai sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu
masyarakat untuk berkerja sama, berinteraksi dan mengindentifikasi diri.
Cabang linguistik bisa terbagi atas fonologi,
morfologi, sintaksis, dan Semantik. Menurut tujuan kajiannya linguistik dibagi atas linguistik teoritis dan
linguistik terapan. Linguistik teoritis bertujuan untuk mencari atau menemukan
teori-teori linguistik belaka sedangkan kajian terapan ditujukan untuk
menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam kegiatan praktis seperti pengajaran
bahasa, penerjemahan, penyusunan kamus dan sebagainya. Oleh karena itu, linguistik terapan ini bisa
diterapkan dalam segala bidang. Salah satunya dapat diterapkan dalam pengkajian al-Qur’an. Untuk lebih
mempermudah dalam kajian al-qur’an (penafsiran), maka diperlukan sebuah metode dan tehnik dalam
mendekati sebuah ayat yang akan ditafsir sehingga akan didapatkan pemahaman
yang utuh terhadap ayat tersebut dengan melihat segala yang terkait dengannya.
Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “tehnik intepretasi” dalam
metodologi pengkajian tafsir yang meliputi: Interpretasi tekstual, interpretasi
linguistik, interpretasi sistemik, interpretasi
sosio-historis, interpretasi teleologis, interpretasi cultural, interpretasi
logis dan interpretasi ganda. (salim, 1999)
Sehubungan dengan tema kajian
penulis yang menguraian persoalan kebahasaan, maka salah satu dari tehnik interpretasi
yang telah disebutkan di atas yakni “Interpretasi Linguistik pada unsur
gramatikal” yang akan penulis ketengahkan pembahasannya, sebab satu hal yang
sangat mendasar pada saat mulai mendekati sebuah ayat adalah bagaimana
memberikan pemaknaan terhadap lafazh yang ada dengan melihat segala
keterkaitannya, mulai dari huruf yang menyertainya, lafazh lain yang menjadi
pelengkap sampai kedudukan lafazh tersebut dalam sebuah kalimat. Dari sini
nantinnya akan ditentukan apakah ia bermakna majazi atau haqiqi. Tehnik Interpretasi Linguistik sebagai sebuah
cara untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan kaedah-kaedah
kebahasaan (salim, konsepsi kekuasaan politik dalam
al-qur'an , 1994) meliputi unsur-unsur dalam ilmu linguistic
itu sendiri, yakni: semantic etimologis, morfologis, leksikal, gramatikal dan
semantic retorikal. Dasar
penggunaan penggunaannya dipahami dari QS. Yusuf (12): 2 yang artinya : Sesungguhnya kami telah
menurunkannya (al-Qur’an) sebagai bacaan berbahasa Arab agar kalian
berakal/memahaminya. Makna yang serupa dengan ini juga Allah
jelaskan dalam surat-surat: al-Ra’d: 37, al-Nahl:103, al-Syu’ara: 195, Thaha:
113, al-Zumar: 128, Fushshilat: 3, al-Syura: 7, al-Zukhruf: 3, dan al-Ahqaf:
12.
Berdasarkan kenyataan itu, maka sangat masuk
akal bila penguasaan bahasa Arab dijadikan salah satu kriteria dalam memahami Al-Qur’an. Allah swt telah memberikan keberkahan kepada
bangsa Arab dengan diutusnya seorang nabi yang membawa risalah agama Islam, dengan
al-Qur’an sebagai kitab sucinya sehingga dengan demikian secara otomatis bahasa
Arab menjadi bahasa pengantar al-Qur’an. Dengan tersebarnya agama Islam
keseluruh dunia menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa yang dipelajari dan
diajarkan dengan tujuan untuk dapat memahami al-Qur’an lebih mendalam.
III.
Data
Analisis
Dalam makalah
ini penulis menganalisis beberapa interpretasi dengan mengambil data dari
beberapa surat pendek dalam al-Qur’an dan beberapa potongan ayat, seperti :
·
Interpretasi Etimologis : QS.
Al-Alaq(96):1, QS. Al-Fatihah(1):2, QS. al-Naziat (79): 37-39, QS. Yusuf (12): 91
·
Interpretasi Morfologis : QS. al-Fatihah(1):3, QS. al-Isra(17):71, QS. Yaasiin(36):12
·
Interpretasi Lexical :
analisis kata قرأ
·
Interpretasi
Sintaksis (gramatikal) : QS. Faathir(35):28
·
Interpretasi
Retorikal : QS. Yaasiin(36): 14 dan 16
IV.
Analisis
1.
Interpretasi Etimologis
Secara umum semantik adalah cabang linguistik yang
membahas arti dan makna, (J.M.W, 1999) dan semantik etimilogis sebagaiamana dimaksud dalam tulisan ini
adalah ilmu yang membahas aspek arti dari struktur huruf dasar bahasa Arab,
atau dalam pengertian lain pengetahuan yang mengkaji akar kata bahasa Arab.
Ilmu ini dikenal pula dengan istilah Fiqh
al-Lughah. Sebagai contoh dalam Qs. Al-Alaq (96): 1:
“
bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu yang Menciptakan”.
Untuk menafsirkan kata “iqra’ ” dalam penggalan ayat di atas
secara etimologi harus kembali pada pengertian bahasa dari iqra’ itu, yang
berarti bacalah. Kata ini berakar kata dengan huruf-huruf , ر ق ,
dan ا yang bermakna menghimpun.
Karena itu kata عرف yang
bermakna “membaca” secara etimologis bermakna “menghimpun informasi”.( Muin Salim, Metodologi…..loc.cit) Dengan demikian, maksud dari ayat tersebut adalah perintah kepada
seseorang untuk menghimpun ayat-ayat sang pencipta. Contoh lainnya ketika al-Shabuniy
menafsirkan kata “rabb” dalam QS. al-Fatihah: 2:
“segala puji
bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
Dalam tafsirannya terhadap surah al-Fatihah, utamanya ayat
kedua di atas, al-Shabuniy mendefinisikan kata “rabb” dengan melihat pengertian
etimologinya yakni merupakan masdar yang bermakna al-tarbiyyah (pendidikan). (Muhammad 'Ali al-Shabuni, 1980)
Begitupun
terhadap ayat lain yang dianalisa satu-persatu, walaupun tidak semua ayat tersebut
ditafsir berdasar makna etimologisnya. Begitu pula ketika Bint al-Syathi’
menelusuri arti linguistik dari kata “atsar” dalam QS. al-Naziat (79): 37-39
37.
Adapun orang yang melampaui batas,
38.
dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,
39.
Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).
Bint al-Syathi’
mengatakan bahwa kata al-atsar menurut bahasa adalah sisa sesuatu. Al-atsarah al-mukramah
tabqa (sisa yang baik dan kekal) dan al-Baqiyyah min al-ilmi tu’tsar (sisa dari
ilmu diikuti). Al-Atsr adalah cirri sebahagian kuku unta yang jejaknya diikuti,
yakni apa yang tertinggal dari tandanya. Wa atsara fihi ta’tsiran (dia
meninggalkan bekas yang kekal padanya) sementara al-itsar diartikan dengan
melebihkan dan mengutamakan (al-tafdhili), sebagaimana disyaratkan dalam QS.
Yusuf (12): 91
“ mereka berkata: "Demi Allah, Sesungguhnya
Allah telah melebihkan kamu atas Kami, dan Sesungguhnya Kami adalah orang-orang
yang bersalah (berdosa)". (al-Syathi', 1968)
2.
Interpretasi Morfologis
Morfologi adalah ilmu yang mempelajari pembentukan kata, yang
menyangkut struktur internal kata. Seperti kata “tertidur” yang terdiri dari
dua morfem, yakni “ter” dan tidur” atau dalam definisi yang lain ilmu yang
membahas perubahan struktur bunyi bahasa sebab penambahan atau pengurangan
huruf bahkan perubahan bunyi mempengaruhi makana kata. Dalam bahasa Arab
morfologi ini menjadi ilmu tersendiri yakni ilm
al-Sharf. Ilm al-Sharf mempelajari perubahan bentuk-bentuk kata yang
disesuaikan dengan wazan-nya. Di samping itu, dengan sharf dapat ditunjukkan
bahwa perubahan bentuk itu membawa perubahan fungsi dan arti kata sehubungan
dengan penggunaannya dalam kalimat.
Dalam QS. al-Fatihah(3):
“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Kata al-Rahman al-Rahim bila ditinjau secara etimologis
berasal dari akar kata رحم – يرحم , tetapi karena mengalami perubahan bentuk kata, meluas dari
arti morfologisnya kata rahima akhirnya menjadi rahman dan rahim yang
dinisbahkan kepada sifat Allah swt. al-Rahman-Nya Allah- sebagaimana dikutip
al-Suyuthi dari Ibn abi Hatim – berlaku untuk semua makhluk sedangkan
al-rahim-Nya dikhususkan untuk orang-orang mukmin saja. (al-Suyuthi, 1983)
Contoh yang lain
kata امـام dalam
QS. al-Isra ayat 71:
“ (ingatlah) suatu hari (yang di hari itu)
Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; dan Barangsiapa yang diberikan kitab
amalannya di tangan kanannya Maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan
mereka tidak dianiaya sedikitpun.”
Ayat ini menjelaskan bahwa di akhirat kelak manusia akan
dipanggil melalui imam mereka. Menurut al-Zamakhsyari, kata imam dalam ayat ini
berarti sesuatu yang dijadikan imam (pemimpin) oleh orang yang bersangkutan
seperti Nabi, pemimpin agama, kitab atau agama.[9] Sementara al-Maraghi
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan imam adalah kitab catatan amal seseorang
selama hidup di dunia. (Musthafa, 1974).Pendapat ini didasarkannya pada firman Allah dalam QS.
Yasin : 12:
“ Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang
mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang
mereka tinggalkan. dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab Induk yang
nyata (Lauh Mahfuzh).”
Dari uraian tersebut terlihat dengan jelas baik oleh
al-Zamkhsyari, seorang tokoh mufassir abad klasik, maupun al-Maraghi, mufassir
kontemporer, tidak mengatakan bahwa kata imam dalam ayat itu jamak dari kata “أم” yang berarti ibu, sebab ada pendapat – sebagaimana diungkapkan
oleh al-Zamakhsyari – yang mengatakan bahwa إمام tersebut adalah jamak dari kata أم, sehingga ayat tersebut berkonotasi bahwa di akhirat kelak
setiap manusia akan dipanggil melalui nama ibunya. Hikmah dalam memanggil
mereka dengan cara seperti itu ialah unruk mrnghormati Nabi Isa as, menyatakan
kemuiaan Hasan dan Husain serta untuk tidak mempermalukan anak zina.( al-Zamakhsyari, loc. Cit.) Jika dilihat dari sudut morfologis
nyatalah bahwa tafsiran seperti itu sangat jauh dari kaedah saraf yang berlaku
sejak dulu sampai sekarang. Tidak dijumpai dalam kamus-kamus bahasa Arab kata إمام adalah jamak dari kata أم dan tidak pula dijumpai pemakaian serupa itu dalam kitab-kitab
berbahasa Arab.
3.
Interpretasi Lexical
Leksikal adalah istilah dalam linguistic yang bersangkutan
dengan kosa kata (mufradat). Ada pula istilah leksikon yang berarti kosa kata
atau daftar istilh dalam suatu bidang disusun menurut abjad dan dilengkapi
dengan keterangannya. (Kebudayaan, 1996) Interpretasi leksikal yang
dimaksudkan disini adalah makna yang diperoleh dari kamus bahasa. (Abd. Muin Salim, Metodologi…..loc.cit.) Atau menafsirkan kosa kata al-Qur’an
dengan menggunakan makna-makna menurut sistem entri dalam kamus bahasa.
4.
Interpretasi Sintaksis
(Gramatikal)
Sintaksis adalah cabang linguistik yang menyangkut susunan
kata-kata di dalam kalimat. Sintaksis atau gramatikal ini harus sesuai dengan
tata bahasa karena berurusan dengan struktur antar-kata. Kalau morfologis
menyangkut struktur internal kata, maka sintaksis ini menyangkut struktur eksternal.
Dalam bahasa Arab, makna sintaksis (gramatikal) ini dikenal dengan ilmu nahwi,
yang pembahasannya terfokus pada kedudukan frasa dan kausa.
Untuk memahami kaedah-kaedah ilmu nahwu (gramatikal) yang terdapat dalam Alquran itu memang agaklah sulit, karena ayat-ayat itu adalah kalam Allah yang mana makna dan kandunannya hanyalah Allah yang lebih mengetahui. Tetapi oleh sebagian mufassir berusaha menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan menggunakan pendekatan kebahasaan, dalam hal ini dengan melihat sisi gramatikalnya. Sebagai contoh: QS. Al-Fatihah:5
Untuk memahami kaedah-kaedah ilmu nahwu (gramatikal) yang terdapat dalam Alquran itu memang agaklah sulit, karena ayat-ayat itu adalah kalam Allah yang mana makna dan kandunannya hanyalah Allah yang lebih mengetahui. Tetapi oleh sebagian mufassir berusaha menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan menggunakan pendekatan kebahasaan, dalam hal ini dengan melihat sisi gramatikalnya. Sebagai contoh: QS. Al-Fatihah:5
“hanya
Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan.”
Kata إيـاك yang terulang dua kali itu berfungsi sebagai obyek dari kata
kerja نعيد dan نستعين Ayat ini mengandung makna bahawa hanya kepada Allah-lah kita
menyembah dan kepada-Nya pulalah kita minta pertolongan. Apabila kata إياك ditempatkan sesudah kata kerja tersebut maka penekanan makna
serupa itu tidak terasa karena diungkapkan dalam bertuk biasa: aku menyembahmu
dan aku minta tolong kepada-Mu. (Beirut: dar al-Kutub,
1995), h. 61) Dalam uraian di atas, tampak dengan jelas bahwa perbedaan struktur kata
dalam suatu kalimat dan berlainan jabatan yang didudukinya dapat mengakibatkan
perubahan makna yang besar.
5.
Interpretasi Retorikal
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia retorika berarti studi
tentang pemakaian bahasa secara efektif dalam karang-mengarang (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit, h. 839) dan
bahasa efektif dengan ungkapan (uslub) nan indah. Interpretasi Retorikal yang
dimaksudkan di sini adalah seni Balaghah yang terkandung dalam bahasa al-Qur’an
yang secara ilmiah merupakan suatu disiplin ilmu yang berlandaskan kepada
kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang
samar di antara bermacam-macam uslub. ‘ (amin, 1998)
Ilmu Balaghah dikenal dengan tiga
bagian: Pertama, ilmu Ma’ani yang mengkaji makna kata yang terpilih untuk
dikomunikasikan dengan audiens. Dalam bagian ini meliputi pembahasan makna
antara khabar atau insya. Sebagai contoh: Kalimat: عبد الله قائم, tidak sama maknanya dengan إن عبد الله قائم dan إن عبد الله لقائم Hal ini
disebabakan karena kalimat pertama tidak memakai huruf ta’kid إن; sementara kalimat yang kedua memakainya dan kalimat yang
ketiga memakai dua huruf ta’kid sekaligus yaitu إن dan ل. Meskipun ketiga redaksi kalimat itu
terlihat hampir sama, namun berbeda dari sudut pemakaian dan maknanya. Redaksi
yang pertama hanya berisi pemberitahuan bahwa Abdullah berdiri; sedang yang
keduadimaksudkan untuk memberi penjelasan atau jawaban bagi pertanyaan; dan
yang ketiga untuk menegaskan bahwa Abdullah benar-benar berdiri. Ungkapan yang
pertama ditujukan kepada orang yang belum tahu bahwa Abdullah berdiri, karena
itu ungkapannya tidak perlu memakai ta’kid. Redaksi yang kedua ditujukan kepada
orang yang kelihatannya sedikit ragu, maka untuk menghilangkan keraguan itu
disampaikan kepadanya berita dengan memakai satu huruf ta’kid. Adapun yang
ketiga ditujukan kepada orang yang membantah bahwa Abdullah berdiri. Untuk
menolak bantahan itulah maka kalimat yang disampaikan kepadanya disertai
minimal dengan dua huruf ta’kid.
Dalam surat Yasin ayat 14 dan 16 terlihat redaksi kalimat
yang hampir sama.
14.
(yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka
mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, Maka
ketiga utusan itu berkata: "Sesungguhnya Kami adalah orang-orang di utus
kepadamu".
mereka
berkata: "Tuhan Kami mengetahui bahwa Sesungguhnya Kami adalah orang yang
diutus kepada kamu".
Secara sekilas redaksi kedua ayat tersebut terlihat mirip,
dan jika diperhatikan dengan seksama, jelas konotasi kedua ayat tersebut
berbeda sekali. Perbedaan itu timbul karena berbedanya kondisi yang melatar
belakangi lahirnya ungkapan tersebut. Redaksi yang pertama ditujukan kepada
mereka yang kurang percaya atau ragu bahwa nabi Isa telah mengutus utusan
kepasa mereka. Karena itu memakai satu huruf ta’kid untuk memperkuat pernyatan
mereka. Tapi penduduk negeri yang menerima mereka, bukannya percaya, malah
sebaliknya bertambah ingkar. Oleh karenanya pada redaksi yang kedua para utusan
itu memakai tiga huruf ta’kid sekaligus yaitu sumpah (ربنا) dan huruf (إنا.dan ل.
V.
Kesimpulan
Bahasa dan agama
adalah dua hal yang saling berhubungan. Setiap agama memiliki bahasanya sendiri
dalam beribadah. Sebagai seorang muslim kita memiliki kitab suci berupa
al-Qur’an yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Bahasa Arab yang menjadi medium bahasa
al-Qur’an telah berproses menjadi bahasa Agama yang memilki fungsi dan peran
yang lebih dari sekedar sebagai bahasa manusia pada umumnya.
Berkaitan dengan istilah “bahasa agama”,
Komaruddin Hidayat menyebutkan bahasa agama adalah kalam ilahi yang kemudian
terabadikan dalam kitab suci. Di sini Tuhan
dan kalam-Nya lebih ditekankan, sehingga pengertian bahasa agama yang paling
mendasar adalah bahasa kitab suci. Lebih lanjut Komaruddin memaparkan bahwa
kehadiran teks al-Qur’an di tengah umat Islam telah melahirkan pusat pusaran
wacana keislaman yang tak pernah berhenti. Dengan kata lain, al-Qur’an yang
terkandung di dalamnya berbagai macam khazanah keilmuan telah menjadi poros
ilmu pengetahuan. Al-Qur’an telah melahirkan berbagai macam disiplin keilmuan
sehingga tidaklah salah bila dikatakan al-Qur’an menjadi semacam “ledakan
nuklir” yang radiasinya memancar ke segala pelosok kehidupan.
Berbagai penelitian
dilakukan untuk membuktikan bahwa bahasa yang terdapat dalam al-Qur’an memanglah
terdiri dari susunan kata yang baik dan memiliki arti yang baik pula. Banyak orang
yang terkadang salah mengartikan makna dari setiap kata yang ada dalam
al-Qur’an tersebut. Maka dengan adanya pendekatan linguistik dalam mengkaji arti
dari setiap ayat yang ada didalam al-Qur’an dapat menambah pengetahuan kita
terhadap makna yang sebenarnya.
Kesimpulannya
adalah, dengan adanya teori-teori kajian dalam linguistik ini sangat membantu
bagi para ahli tafsir ataupun penerjemah dalam menerjemahkan al-Qur’an secara
benar.
Referensi
·
Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir Sebuah Rekonstruksi Epistimologis Memantapkan
Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu, (Makalah Orasi Ilmiah
Pengukuhan Guru Besar IAIN Alauddin Ujungpandang,1999), h. 33 – 36
·
Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’an (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 1994), h. 24
·
J. M. W, Asas Asas LinguistikUmum
(Cet. III; Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1999), h. 13
·
Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Rawai’ al-BayanTafsir Ayat al-Ahkammin al-Qur’an
Juz I (Cet. III; Damsyiq: Maktabah al-Gazhali, 1980 ), h. 23
·
‘Aisyah ‘Abd al-Rahman Bint
al-Syathi’, al-Tafsir al-Bayani li
al-Qur’an al-Karim (Cairo: Dar al-Ma’arif, 1968), h. 155
·
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durral-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur Juz I
(Cet. I;Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 24
·
Beirut: dar al-Kutub, 1995, h. 61
·
Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, Tafsir al-Maraghiy Juz 15 (Bairut: dar
al-Fikr, 1974), h. 77
·
Ali al-Jarimi dan Musthafa Amin,
Al-Balaghah al-Wadhihah diterjemahkan oleh Mujiono Nurkholis dengan judul Al-Balaghatul Wadhihah (Bandung: Sinar
Baru Algesindo, 1998), h. 6
·
Dewantara (2012), peranan linguistic terapan dalam
pembelajaran
·
(Chaer, 2007:6; Pateda, 1991:15).
Parera (1991:20)
·
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 1024
Komentar
Posting Komentar