Perbedaan Bahasa antara Jawa Indonesia dan Jawa Suriname”


Siti Lutfah Yuspianti
1110026000035
BSI/5B
General Linguistic

Pembukaan

Bahasa dalam pengggunaan bukan sekedar alat komunikasi, lebih dari itu bahasa  merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Brown dan Yule (1983: 1) mengidentifikasikan hal di atas dengan istilah “transaksional” dan “interpersonal”. Sementara menurut Halliday (1994: xiii) menambahkan satu istilah yaitu fungsi “tekstual”. Istilah transaksional  adalah mengacu pada fungsi bahasa untuk mengirim ‘isi pesan’ komunikasi, istilah interpesonal mengacu pada fungsi bahasa untuk membentuk ‘hubungan sosial’ dalam komunikasi tersebut, dan istilah tekstual mengacu pada fungsi penggabungan kedua fungsi tersebut (transaksional dan interpersonal).

Bahasa dan budaya erat kaitannya dengan sejarah, bahasa juga merupakan media untuk saling berhubungan antara penutur dan petutur. Dalam konteks tansaksional ini, manusia berinteraksi untuk membangun hubungan sosial dengan menggunakan bahasa pula. Dalam berinteraksi, penutur di Jakarta misalnya akan mengunakan beragam dialek dalam berkomunikasi karena masyarakat di Jakarta terdiri dari beragam etnis. Masing-masing penutur akan berkomukasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara sadar atau tidak sadar menggunakan dialek bahasa daerahnya yang menyertai dalam berinteraksi dengan orang lain.

Makalah ini akan mengkaji hubungan bahasa, budaya dan sejarah yang ada di Jakarta dan di Suriname khususnya. Kajian ini dianggap menarik karena masyarakatnya yang multietnis yang tersebar di Jakarta menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari. Selain itu, makalah ini juga mengkaji hubungan bahasa dan sejarah dengan budaya lainnya. Dalam hal ini, adalah bahasa jawa. Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara kita tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor antara lain: beda usia, beda pendidikan, dan lain-lain.





Landasan Teoritis

Bagi linguistik bahasa adalah premier, sedangkan bahasa tulis adalah sekunder. Bahasa lisan lebih dahulu ada dari pada bahasa tulis. Hingga saat ini masih banyak bahasa di dunia ini yang belum punya tradisi tulisan. Sesungguhya ada perbedaan besar antara bahasa tulis dengan bahasa lisan. Bahasa tulis merupakan ragam bahasa yang pemakaiannya melalui media tulis, tidak terkait ruang dan waktu sehingga diperlukan kelengkapan struktur agar dapat dipahami dengan mudah. Ragam bahasa tulis memiliki kaidah yang baku dan teratur seperti tata cara penulisan (ejaan), tata bahasa, kosa kata, kalimat dan lain-lain.

 Ragam bahasa lisan merupakan ragam bahasa yang diungkapkan melalui media lisan, terkait oleh ruang dan waktu sehingga situasi pengungkapan dapat membantu pemahaman. Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Dalam pembicaraan mengenai bahasa tulis kita menemukan istilah-istilah huruf, abjad, alfabet, aksara, graf, grafem, alograf, grafiti dan lain-lain. Abjad atau alfabet urutan huruf-huruf dalam suatu sistem aksara (A sampai Z). Aksara adalah keseluruhan sistem tulisan, misalnya aksara latin, aksara Arab, dan aksara jawa. Graf adalah satuan terkecil dalam aksara yang belum ditentukan statusnya, sedangkan grafem adalah satuan terkecil dalam aksara yang menggunakan fonem, suku kata, atau morfem.
 Bahasa Jawa memiliki tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama (halus). Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa.  Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk “penghormatan” (ngejengake, honorific) dan “perendahan” (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah percakapannya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, dan lain-lain.1   Arifin Syamsul.1987 Tipe kalimat Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sebagai tambahan, terdapat bentuk ngoko lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, kedhaton yang keduanya hanya dipakai sebagai pengantar di lingkungan keraton. Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
  1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
  2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
  3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?” (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
  4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama desa (substandar))
  5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini juga termasuk krama desa (krama substandar))
  6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
  7. Krama lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
  8. Krama alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.
Analisis
Sejarah Bahasa Jawa
Asal-usul Sastera Jawa Kuno tertulis bermula abad ke 9 Masehi sehingga abad ke 14 Masehi. Sastera Jawa kuno dalam bahasa jawa yang pertama dikesan adalah Prasasti (Batu bersurat) Sukabumi. Batu bersurat Sukabumi berbentuk sastra ini ditulis dengan baik dalam bentuk prosa atau puisi. Dilanjutkan Sastera Jawa Pertengahan muncul di kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke -13 sampai sekitar abad ke-16 Masehi. Setelah itu, sastera Jawa pertengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa itu muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli, karya-karya ini disebut kidung. Sastra Jawa Baru muncul dengan kemasukan agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad 15-16 Masehi. Maka pada masa-masa awal, zaman sastra Jawa Baru, banyak juga digubah karya-karya sastra mengenai agama islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting. Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun-1650 Masehi, bahasa Jawa gaya surakarta menjadi semakin dominan. Kitab-kitab kuno yang bernafaskan agama Hindu-Budha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru. Sebuah jenis karya yang khusus adalah karya sastra yang disebut babad. Karya ini menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
Sejarah Penyebaran Bahasa Jawa
Masyrakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa (61%), bengkulu (25%), Sumatra Utara (antara 15%-25%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara ini, mereka keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyrakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak jaman penjajahan Belanda. Selain di kawasan Nusantara ataupun Malaysia. Masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela.
Bahasa Jawa Suriname
Bahasa Jawa di Suriname merupakan ragam atau dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname dan oleh komunitas Jawa Suriname di Belanda. Jumlah penuturnya kurang lebih ada 65.000 jiwa di Suriname dan 30.000 jiwa di Belanda. Orang Jawa Suriname merupakan keturunan kuli kontrak yang didatangkan dari tanah Jawa dan sekitarnya.
Latar belakang orang Jawa di Suriname
Tak semua penduduk Hindia-Belanda yang dibawa ke Suriname itu etnis Jawa. Selain orang Jawa juga terdapat suku Sunda, Madura, dll. Namun karena mayoritas kuli kontrak itu adalah etnis Jawa, suku-suku selain Jawa berasimilasi sebagai orang Jawa. Dilihat dari asalnya, kurang lebih 70% orang Jawa berasal dari Jawa Tengah, 20% dari Jawa Timur dan 10% dari Jawa Barat. Kurang lebih 90% termasuk etnis Jawa; 5% Sunda; 2,5% Madura dan 2,5% suku lain, termasuk juga orang-orang dari Batavia (kini Jakarta).
Di antara suku Jawa tersebut, mayoritas berasal dari Karesidenan Kedu (Kabupaten Magelang dan sekitarnya). Itulah sebabnya, bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname mirip dengan bahasa Jawa Kedu. Bahasa selain Jawa seperti Sunda, Madura sudah tak dituturkan lagi, dan tak memberi pengaruh apapun terhadap bahasa Jawa yang dituturkan di Suriname. Walaupun demikian, terdapat pula beberapa kata Melayu, dan kata-kata tersebut memang sudah ada dalam bahasa Jawa masa itu sebelum dibawa ke Suriname.

Dialek bahasa Jawa di Suriname
Di Suriname hanya terdapat satu dialek Jawa. Namun, adanya varian-varian kata menunjukkan bahwa di masa lalu para migran Jawa itu menuturkan sejumlah dialek yang berbeda. Di Suriname juga pernah ada penutur bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak). Sayangnya, bahasa ini dianggap tidak baik dan penuturnya sering dihina. Akibatnya, keturunan mereka tak lagi mempelajari dan menuturkan bahasa Banyumasan.
Pengaruh bahasa lain
Kosakata bahasa Jawa di Suriname banyak dipengaruhi oleh bahasa Belanda dan Sranan Tongo. Meskipun demikian, kedua bahasa tersebut tak memengaruhi fonologi dan tata bahasa. Akan tetapi orang Jawa di Suriname tidak bisa berbahasa Indonesia  karena sejak Belanda mendatangkan orang jawa untuk menjadi kuli kontrak , ketika itu orang asli Jawa dahulu hanya bisa berbahasa jawa saja. Kata-kata Sranan Tongo yang sudah diserap malah ada yang memiliki bentuk bahasa krama.
Fonologi
Fonologi bahasa Jawa di Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku di Tanah Jawa. Fonologi Dialek Kedu yang menjadi leluhur bahasa Jawa Suriname tak berbeda dengan bahasa Jawa baku. Namun terdapat fenomena baru dalam bahasa Jawa Suriname, yakni perbedaan antara fonem dental dan retrofleks (/t/ dan /d/ vs. /ṭ/ dan /ḍ/) semakin hilang.
Ejaan
Namun, bahasa Jawa Suriname memiliki cara penulisan yang berbeda dengan bahasa Jawa di Pulau Jawa. Pada tahun 1986, bahasa Jawa Suriname mendapatkan cara pengejaan baku. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan antara sistem Belanda sebelum PD II dengan ejaan Pusat Bahasa di Daerah Istimewa Yogyakarta.
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/4b/Sugengrawuh.png/300px-Sugengrawuh.png

Aksara Jawa di atas dibaca “Sugengrawuh” atau "Selamat datang".
Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta memiliki fonem-fonem berikut:

Pra-1942
Suriname (1986)
Yogyakarta (1991)
d
d
Dh
dj
J
J
j
y
Y
t
T
Th
tj
ty
C

Tabel di atas adalah perbedaan penulisan antara bahasa Jawa Yogyakarta (Bahasa Jawa Asli) dan bahasa Jawa Suriname ( yang sudah berubah karena terpengaruh oleh lisan orang Belanda). Kemudian contoh fonem /a/ yang diucapkan seperti [a] ditulis "â". Sehingga, kata macan (harimau) ditulis mâtyân di Suriname.
Bahasa krama dalam bahasa Jawa Suriname
Dalam bahasa Jawa Suriname, terdapat juga basa krama (bahasa halus), namun tak lagi serupa dengan bahasa Jawa di Jawa. Bahkan generasi mudanya sudah banyak yang tak bisa menuturkan basa krama. Terdapat 3 ragam bahasa Jawa di Suriname, yakni ngoko, krama dan krama napis. Krama di Jawa adalah madya dan krama napis adalah krama dan krama inggil.

Fonologi

 Perhatian: Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan alofon. Catatan pembaca pakar bahasa Jawa: Dalam bahasa Jawa [a],[ɔ], dan [o] itu membedakan makna [babaʔ] 'luka'; [bɔbɔʔ]'param' atau 'lobang', sikile di-bɔbɔʔi 'kakinya diberi param', lawange dibɔbɔʔi 'pintunya dilubangi'; dan [boboʔ] 'tidur'. [warɔʔ] 'rakus' sedang [waraʔ] 'badak'; [lɔr] 'utara' sedangkan [lar] 'sayap', [gəɖɔŋ] 'gedung' sedangkan [gəɖaŋ] 'pisang; [cɔrɔ]'cara' sedang [coro] 'kecoak', [lɔrɔ]'sakit' sedang [loro] 'dua', dan [pɔlɔ] 'pala/rempah-rempah' sedang [polo] 'otak'. Dengan demikian, bunyi [ɔ] itu bukan alofon [a] ataupun alofon [o] melainkan fonem tersendiri.

Tekanan kata (stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh pada sukukata terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan kata kata dasar. Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a] (a-miring), namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ] (a-jejeg). Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'ɔrɔ], tetapi /larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]. Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] (i-jejeg) namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [ɛ] (i-miring). Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'aɲci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai [k'aɲcɛl]. Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] (u-jejeg) namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [o] (u-miring). Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih dilafazkan sebagai [ʈ'uyol]. Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] (e-jejeg) namun pada posisi tertutup sebagai [ɛ] (e-miring). Contoh: /lélé/ dilafazkan sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'ɛbɛʔ].Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] (o-jejeg) namun pada posisi tertutup sebagai [ɔ] (o-miring). Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] , tetapi /boloŋ/ dilafazkan sebagai [b'ɔlɔŋ].

 

Konsonan


Fonem /k/ memiliki sebuah alofon fonem tidak suara fisik. mereka adalah representasi mental yang abstrak dari unit fonologi dari bahasa, unit yang digunakan untuk mewakili bentuk kata-kata dalam leksikon mental kita. aturan fonologi berlaku untuk representasi fonemik untuk menentukan pengucapan kata-kata. Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [ʔ]. Sedangkan pada posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah apabila berada di depan fonem eksplosiva palatal atau retrofleks, maka fonem sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem homorgan. Kemudian apabila fonem /n/ mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [ɳ] (fonem sengau retrofleks). Contoh: /panjaŋ/ dilafazkan sebagai [p'aɲjaŋ], lalu /anɖap/ dilafazkan sebagai [ʔ'aɳɖap]. Kata /warna/ dilafazkan sebagai [w'arɳɔ].
Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di depan fonem eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [ʂ]. Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai [w'arʂɔ], lalu /esʈi/ dilafazkan sebagai [ʔ'eʂʈi].

Nama dan penulisan abjad Latin dalam bahasa Jawa

Fonotaktik

Dalam bahasa Jawa baku, sebuah suku kata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya ialah sebagai berikut:
  • (n) adalah fonem sengau homorgan.
  • K1 adalah konsonan letupan atau likuida.
  • (l) adalah likuida yaitu /r/, /l/, atau /w/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk letupan.
  • V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka fonem /ə/ tidak bisa berada pada posisi ini.
  • K2 adalah semua konsonan kecuali letupan palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ʈ/, dan /ɖ/.
Contoh:
  • a (V)
  • ang (VK)
  • pang (KVK)
  • prang (KlVK)
  • mprang (nKlVK)
Sama halnya dengan bahasa-bahasa Austronesia lainnya, kata dasar asli dalam bahasa Jawa terdiri atas dua suku kata (bisilabis); kata yang terdiri dari lebih dari tiga suku kata akan dipecah menjadi kelompok-kelompok bisilabis untuk pengejaannya. Dalam bahasa Jawa modern, kata dasar bisilabis memiliki bentuk: nKlvVnKlvVK.
Kesimpulan
Bahasa adalah identitas yang dipegang setiap individu , untuk komunikasi antara penutur dan penutur. Dalam  konteks ini budaya dan sejarah ikut serta di dalamnya dan menjadi sebuah acuan setiap individu untuk mempelajari arti atau pesan yang disampaikan oleh masing-masing bahasa. Analisis di atas telah membuktikan perbedaan antara Orang Jawa Indonesia dan Orang Jawa Suriname secara lisan maupun tulisan.

Masyarakat sebagai pengguna bahasa terdiri atas berbagai anggota yang memiliki berbagai latar belakang. Baik latar belakang usia, jenis kelamin, pendidikan, maupun  pekerjaan.  Ada dua pandangan untuk melihat hal variasi bahasa. Pertama, variasi bahasa dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa. Bila penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi itu tidak akan ada, artinya bahasa menjadi seragam.
Para linguis mencoba membedakan variasi bahasa dengan menggunakan berbagai sudut pandang. Di antaranya adalah Preston dan Shuy (1979) yang membedakan variasi bahasa (bahasa Inggris Amerika) berdasarkan (1) penutur, (2) interaksi, (3) kode, dan (4) realisasi. Sedangkan Mc David (1969) membagi variasi bahasa berdasarkan dimensi regional, (2) dimensi sosial, dan (3) dimensi temporal (Chaer, 1995), dapat dibedakan atas idiolek, dialek, kronolek, dan sosiolek. Berdasarkan segi pemakaian atau fungsiolek, variasi bahasa dapat dibedakan atas bahasa sastra, jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, dan kegiatan  keilmuan. Berdasarkan tingkat keformalannya Martin Joos dalam Chaer membagi variasi bahasa atas lima macam, yakni ragam beku, ragam formal, ragam konsultatif atau usaha, ragam santai (casual), dan ragam akrab (intimate). Berdasarkan segi sarananya, variasi bahasa dapat dibedakan atas ragam lisan dan tulisan.
Referensi
Vruggink,Hein, (2001), “Surinaams-Javaans-Nederland Woordenboek:
Leiden:KITLV Uitgeverij ISBN90-6718-152-8.

Suparlan, Parsudi, (1995), “The Javanese in Surinam. Ethnicity in an Ethnically Plural
society: Program for Southeast, Asian Studies.

MalmkjǼr, Kirsten, (2002), “The Linguistics Encyclopedia”:London and New York.

Yoga, Kundalini,(1991), “Majalah Pertiwi Wanita Jawa di Suriname adalah Bahasa Ngoko
(kasar)”

Sumarlam, Ms, Dr.(2004), aspektualitas Bahasa Jawa .

Arifin, Syamsul, 1987, Tipe Kalimat Bahasa Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.









Lampiran
1. Diucapkan Wacana
1.2  URL: http://www.youtube.com/watch?v=6dki6Mat9R4.
1.3. Transkrip
Lagu “Ora Ono Liyo” dinyanyikan oleh Ilse Setroredjo
Ran njonoon, lan rah taak qiro
Tembong mu sing manis
Lambe mu sing tipis
Djeboo..Among lamis.
...
Tego..tegoné ninggal Ake Aku..

1.4. Majalah Pertiwi, Tahun 6, Oktober 1991, hal. 112-113.
       Wanita Jawa di Suriname adalah Bahasa Jawa Ngoko (kasar)

Anne Sastromejo (wanita Jawa-Suriname yang aktif dalam kegiatan kelompok Jawa-Suriname di Negeri Belanda) menyatakan bahwa tidak ada kontak antara orang2 Jawa-Suriname di Negeri Belanda dengan orang2 Jawa dari Indonesia. Kedua kelompok ini telah berkembang sendiri membentuk ciri2 yang berbeda satu sama lainnya. Lingkungan hidupnya pun berbeda. Orang Jawa-Suriname merasa segan berhubungan dengan orang Indonesia, terutama karena masalah bahasa. Bahasa Jawa yang mereka gunakan se-hari2 ialah bahasa Jawa ngoko (kasar) yang kuno. Memang bahasa inilah yang dipakai oleh golongan kaum buruh. Dan karena kurangnya kontak dengan orang Jawa se-lama di Suriname, bahasa Jawa tersebut tidaklah berkembang. Demi-kian juga dengan bahasa Melayu mereka (mereka tidak bisa berbahasa Indonesia). Dengan kesulitan komunikasi ini seringkali mereka merasa bahwa orang Indonesia/Jawa yang dijumpai menunjukkan sikap merendahkan orang2 Jawa-Suriname yang bahasanya janggal itu. Itu-lah sebabnya orang2 Jawa-Suriname dan keluarga nenek Juariah tidak pernah mengunjungi perayaan2 yang diadakan oleh Kedutaan Indonesia maupun oleh keluarga-keluarga Indonesia lainnya. Dengan demikian kebudayaan Jawa di Suriname (dan sekarang diteruskan di negeri Belanda) berkembang menurut interpretasi mereka sendiri. Orang2 Jawa-Suriname ini mengadakan sendiri perayaan Lebaran, perkawinan, dsb. secara terpisah, mengikuti adat dan kebiasaan sebagaimana mereka pelajari dari leluhur mereka.

Aspek lain dari budaya Jawa yang sulit dipertahankan keasliannya ialah membuat masakan Jawa. Tidak adanya bahan pangan dan bumbu yang diperlukan bagi masakan itu menyebabkan pengolahan makanan harus disesuaikan dengan kondisi setempat. "Orang2 perempuan harus membuat sendiri bumbu2 seperti terasi, dsb. Tetapi dengan meningkatnya jumlah orang Jawa yang datang ke Suriname meningkat pulalah barang2 dagangan dan bahan makanan dari Jawa", kata ibu Ponirah. Langkanya bahan pangan dan bumbu bagi pengolahan masakan Jawa memaksa orang Jawa-Suriname untuk mengubah dan mengembangkan cita rasa masakan mereka. Karena tidak ada asam maka sayur asam pun dibuat dengan jeruk purut saja, misalnya. Tidaklah mengherankan jika seorang Jawa-Suriname yang kebetulan berkunjung ke Indo-nesia mengatakan bahwa masakan di Jawa tidak sama dengan yang biasa dimakannya di rumah.


Komentar

  1. Isinya banyak yang copas dari wikipedia

    BalasHapus
  2. Kami menyediakan jasa pembuatan Blower Keong, Blower Centrifugal, Blower Axialfan, Blower Industri, Blower Pabrik, Blower Direct, Blower Fanblet dan masih banyak blower lainnya,
    untuk info lebih lanjut hubungi kami di : 081112300319 / 081977000899 / 081112520816

    Kunjungi juga kami di :

    https://www.kontraktorducting.com/

    https://id.pinterest.com/kontraktorductingdanblower/

    https://twitter.com/kontraktorduct1

    https://www.bukalapak.com/u/partisiindonesia14

    https://www.tokopedia.com/partisiindonesia14

    https://jualblowerkarawang14.blogspot.com/#

    https://id.pinterest.com/blowerjakarta14/



    #jualblower #blowermurah #centrifualblower #axialfan #blowerportable #blowerkandangayam #blowerindustri #blowercustom blower ruangan | jual blower keong | blower harga | blower industri | blower fan | harga blower pabrik | blower industri | blower atap pabrik | jual exhaust pabrik | harga blower | harga blower | blower ducting | harga blower pabrik | blower industri | blower atap pabrik | jual exhaust pabrik | harga blower angin |blower ducting | blower pabrik sawit | harga blower pabrik | harga blower pabrikan | blower pada pabrik | blower pabrik rokok randegan | blower pabrik adalah | fungsi blower di pabrik | kegunaan blower pada pabrik | apa fungsi blower pada pabrik | blower industrial fan | blower industrial parts | blower keong mini | blower keong besar | blower keong adalah | harga blower angin keong | agen blower keong | blower keong bandung | harga blower keong besar | jual blower keong jogja | jual blower keong surabaya | blower keong centrifugal | blower keong cke | cari blower keong | blower di medan | jual blower keong di surabaya | jual blower keong di medan | jual blower keong di bandung | jual blower keong di malang | jual blower keong di bali | fungsi blower keong | fan blower keong | foto blower keong | gambar blower keong | blower keong harga | blower keong jogja | blower keong tangerang | ukuran blower keong | blower centrifugal fan | centrifugal blower design | centrifugal blower brand | centrifugal blower catalogue | centrifugal blower exhaust fan | centrifugal blower for dust collector | centrifugal blower for sale | centrifugal blower function | centrifugal blower impeller design | centrifugal blower impeller | centrifugal blower indonesia | centrifugal blower jual | blower centrifugal di jakarta | blower keong centrifugal | centrifugal blower price list | custom blower | custom blower pulleys | custom blower shafts | custom blower housings | custom blower intake | fan blower custom | pembuatan blower custom | blower keong centrifugal | blower keong besar

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Tata Bahasa Kasus (Case Grammar)

Kegiatan menempel kapas pada gambar kambing atau domba