TAFSIR AL-QUR"AN
BAI’AT RIDWAN
SURAT AL-FATH AYAT 10
·
Tafsir al-Misbah
“ sesungguhnya
orang-orang yang berjanji setia kepadamu sebenarnya mereka berjanji setia
kepada Allah . “tangan” Allah diatas tangan merek, lalu barang siapa yang
tellah melanggar maka pelanggarannya hanya akan menimpa dirnya sendiri dan
barang siapa menepat janjinya kepada Allah, maka Allah akan menganugerahinya
pahala yang agung.”
Setelah ayat
yang lalu menjelaskan fungsi Rasul saw.
Serta apa yang dituntut dari umat manusia terhadap Allah dan terhadap Rasul-Nya, maka ayat di
atas menguraikan sikap terpuji dari sekelompok manusia yakni sahabat-sahabat
nabi yang mendukung beliau dan berjanji setia mebela beliau sampai titik darah
penghabisan. Ayat di atas menyatakan :
sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu yakni janji setia
untuk membela risalah yang engkau sampaikan- baik ketika Bai’at ar-Ridhwan-
sebenarnya mereka berjanji setia kepada Allah karena seluruh kegiatanmu baik
ucapan maupun perbuatan adlah berdassar perintah Allah dan demi karena-Nya.
Karena biasanya yang melakukan janji setia
atau persepakatan melakukannya dengan berjabat tangan, maka ayat diatas
melanjutkan bahwa: “tangan” Allah yakni kekuasaan, kekuatan dan anugerah-Nya di atas tangan mereka, dia yang akan
menyertai dan membantu yang berjanji
itu, dan lalu barang siapa yang telah melanggar janji setia itu maka akibat
pelanggarannya hanya akn menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati
janjinya kepada Allah dengan menyempurnakan ba’iat nya maka Allah akan
menganugerahinya pahala yang agung yang tidak terlukiskan keagungannya.
Penggunaan bentuk kata masa kini
pada firman-Nya; yubảyi’ứnaka/berjanji
setia padahal peristiwa ini terjadi sebelum ayat di atas, bertujuan
menghadirkan peristiwa yang sangat mengagumkan itu ke benak mitra bicara.
Memang Al-Qur’an menggunakan bentuk kata kerja masa kini untuk menunjuk
peristiwa masa lalu, jika pristiwa tersebut – karena keindahan atau
leburukannya – perlu dihadirkan dalam benak mitra bicara. Sebaliknya al-qur’an
menggunakan bentuk kata kerjas masa lampau ketika menggambarkan peristiwa yang
akan datang, guna mengisyaratkan kepastian terjadinya peristiwa itu, seakan-aan
dia telah terjadi.
Bai’at yang dimaksud adalah apa yang
dikenal dengan Bai’at ar-Ridhwan,
yang terjadi di Hudaibiyah, suatu lembah di dekat kota Mekah. Ketika itu ada
sekitar 1500 sahabat Nabi-menurut perhitungan yang terbanyak atau minimal 1300
orang menurut riwayat dan perkiraan yang lain- yang kesemuanya menyatakn janji
setia untuk memerangi kaum musyrikin sampai menang atau mati. Bai’at ini
terjadi karena Rasul saw. Mengutus Utsman Ibn ‘Affan dari Hudaibiyah menuju ke
Mekkah untuk berunding dengan tokoh kaum musyrikn agar merekamengizinkan Nabi
dan para sahabat melaksanakan umrah, karena nabi saw. Tidak datang untuk berperang,
tetapi beribadah. Sayyidina Utsman terlambat kembali sehingga beredar isu bahwa
beliau terbunuh, maka Nabi Muhammad saw mengajak semua anggota rombongan untuk
berbai’at tidak akan kembali ke Madinah sebelum memerangi kaum musrikin yang membunuh
utusan Nabi itu. Saat pembai’atan itu
tidak seorangpun yang ketinggalan kecuali Utsman Ibn ‘Affan yang ketika itu
masih berada di Mekkah, tetapi Nabi meletakkan tangan kanan beliau di atas
tangan kiri beliau sendiri lalu bersabda: “ini tangan Utsman.” Tidak lama
kemudian Utsman ra tiba dan dia pun melakukan bai’at. Yang menghindar dari
bai’at hanya seorang yang bersembunyi di balik untanya yaitu al-Jud Ibn Qais,
bukan karena kemunafikan tetapi sangat penakut.
Penggunaan kata fauq/ di atas padahal dalam berjabat tangan kedua belah pihak
sejajar tangan mereka, penggunaan kata itu untuk mengisyaratkan bahwa tangan Tuhanyang dimaksud bukanlah
tangan yang serupa dengan tangan makhluk. Menurut Ibn ‘Asyur boleh jadi juga
kata di atas itu karena ketika terjadi pembai’atan tangan
Rasulullah saw diletakkan di atas tangan yang berbai’at jadi bukan dalam bentuk
berjabat tangan sebagaimana yang lumrah kita kenal. Menurut riwayat – tulis
ulama ini- Sayyidina Umar ra meletakkan tangan Rasul saw di atas tangan pembai’at,
agar rasul saw tidak terlalu letih menggerakkan tangan beliau untuk berjabat
tangan, cukup dengan meletakkan tangan di atas tangan kaum muslimin yang ketika
itu berjumlah tidak kurang dari 1300 orang.
Ayat di atas menyatakan bahwa bai’at
kepada Nabi Muhammad saw adalah sama dengan bai’at kepada Allah. Dengan
demikian ketaatan siapapun yang tertuju kepada Rasul saw. Pada hakikatnya
tertuju kepada Allah swt. Ini sejalan dengan sekian banyak ayat al-Qur’an
misalnya QS an-Nisa’ [4]:80:
“Siapa yang takut kepada Rasul, maka dia
telah taat kepada Allah,” atau firman-Nya:
“ Maka yang (sebenarnya membunuh) bukan kamu
yang membunuh mereka, akan tetapi Allah lah yang membunuh mereka, dan bukan
kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah lah yang melempar”(QS
al-Anfal [8]:17). Di tempat lain Allah befirman:
Katakanlah: “jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengapuni dosa-dosa
kamu” (QS Ali ‘Imran [3]:31)
·
Tafsir UII surat al-Fath ayat 10
Ayat ini menerangkan
pernyataan Allah SWTterhadap bai’at yang dilakukan para sahabat kepada
Rasulullah saw. “bahwa orang-orang yang mengadakan bai’at kepada Nabi Muhammad,
berarti ia mengadakan bai’at pula kepada Allah. Yang dimaksud dengan bai’ah
dalam ayat ini ialah Bai’atur Ridwan yang
tejadi di Hudaibiyah yang dilakukan para sahabt di bawah Samurah. Para sahabat
waktu itu berjanji kepada Rasulullah saw bahwa mereka tidak akan lari dari
medan pertempuran serta akan bertempur sampai titik darah penghabisan memerangi
orang-orang musyrik Mekah, seandainya kabar yang disampaikan kepada mereka
bahwa Usman bin Affan yang diutus Rasulullah saw itu benar telah mati dibunuh
orang musyrik Mekah.
Karena itu,
beliau mengutus Usman bin Affan lebih dahulu ke Mekah menemui pembesar-pembesar
Quraisy untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau serta kaum muslimin. Maka
berangkatlah Usman. Kaum muslimin menunggu-nunggu kembalinya Usman, tetapi
tidak juga kembali karena Usman ditahan oleh pembesar-pembesar Quraisy.
Mendengar berita itu banyak di antara kaum Muslimin yang telah habis batas
kesabarannya sehingga Rasulullah saw menganjurkan agar kaum Muslimin melakukan
bai’at kepada beliau. Kaum muslimin pun mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw itu
dan melakukan bai’at kecuali seorang bernama
Jaddir bin Qais Al Ansari. Isi bai’at itu adalah bahwa mereka akan
memerangi kaum musyrikin bersama-sama dengan Rasulullah sampai tercapainya
kemenangan. Bai’at para sahabat diridhai Allah SWT sebagai tersebut dalam ayat
18 surat ini.
48: Ayat 18-19
“sesungguhnya Allah telah ridha terhadap
orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu dibawah sebuah pohon.
Maka Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu dia menurunkan sakinah
atas mereka dan memberi mereka balasan yaitu kemenangan yang dekat serta
harta-harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Kelompok ayat-ayat ini berbicara
tentang kelompok dari sahabat –sahabat Nabi Muhammad saw yang memperoleh
anugerah Allah yang tidak ada taranya. Mereka telah mendapat jaminan dari Dia
yang paling berwenang menjamin, bahwa bukan saja surge yang mereka akan peroleh,
tetapi lebih dari itu, yakni ridha Allah swt.
Setelah ayat yang lalu memberi janji
dan ancaman , ayat di atas menggambarkan anugerah-Nya kepada sekelompok
sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw yang telah membuktikan ketaatan mereka dengan
berjanji setia dibawah salah satu pohon di desa Hudaibiyah. Allah berfirman: Sesungguhnya Allah benar-benar telah ridha terhadap orang-orang mukmin yang
sungguh mantap imannya ketika mereka berjanji setia kepadamu dengan
suka rela dan penuh kesadaran . janji setia yang mereka berikan di bawah sebuah pohon di Hudaibiyah
ketika engkau wahai Nabi dan mereka dihalangi oleh kaum musyrikin Mekah
melaksanakan umrah. Maka dengan janji
setia itu Dia yakni Allah mengetahui yakni dalam kenyataan –
sebagaimana sebelumnya Dia telah mengetahui dalam khazanah ilmu-Nya yang qadim-
apa yang ada dalam hati mereka menyangkut
kebenaran iman dan keikhlasan mereka berbai’at dan bahwa keberatan hati mereka
terhadap teks perjanjian Hudaibiyah tidak lain hanya karena keinginan yang
meluap untuk meninggikan kalimat Allah, lalu sebagai imbalan atas sikap mereka
itu Dia yakni Allah swt menurunkan sakinah ketenangan atas mereka sehingga mereka tidak pernah
gentar menghadapi musuh, tidak juga bersedih hati karena ehilangan atau
kekurangan, dan Allah memberi mereka
balasan yaitu kemenangan yang dekat waktunya
serta member pula harta-harta rampasan yang mereka ambil dan
gunakan, bukan sekadar kepemilikan di atas kertas. Dan adalah Allah senantiasa Maha
Perkasa tidak terbendung kehendaknya
lagi Maha Bijaksana dalam segala ketetapan-Nya.
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin
lelaki dan perempuan, surge yang dibawahnya menggalir sungai-sungai, kekal
mereka didalamnya, dan tempat-tempat yang bagus disurga ‘Adz. Dan keridhaan
Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.”(Q.S
at-Taubah [9]: 72)
Atas dasar pernyataan ayat di atas
tentang keridhaan Allah, maka bai’at tersebut dinamai juga bai’at ar-Ridho dan atas ridha-Nya itu pula sehingga Nabi saw
bersabda: “tidak akan masuk neraka
seorang pun yang telah berbai’at di bawah pohon itu” (HR. Abu Daud, at-Tirmidzi
dan lain-lain melalui Jibir Ibn Abdillah).
Kata syajarah/pohon yang dimaksud adalah pohon tempat Nabi Muhammad saw
berteduh di Hudaibiyah . Pohon tersebut menurut sementara ulama adalah pohon
pisang. Banyak kaum muslimin yang shalat di tempat itu, tetapi pada masa
pemerintahan Umar Ibn Khathib beliau memerintahkan agar pohon tersebut
ditebang, khawatir jangan sampai ada orang-orang yang mengkeramatkan tempat itu
lalu menduga-duganya dengan dugaan yang mengantar kepada kemusyrikan. Ada juga
riwayat yang menyatakan bahwa ditempat itu pernah dibangun masjid oleh Abu
Ja’far al-Manshur salah seorang khalifah Dinasti ‘Abbasiyyah, hanya saja
seperti tulis Ibn ‘Asyur, di tempat tersebut ada prasasti yang bertuliskan
“Amirul Mukminin yang dimuliakan Allah memerintahkan membangun Masjid ini-
Masjid al-Bai’at – yang dibangun pada tahun 244 H. “ tahun tersebut adalah masa
pemerintahan al-Mutawakkil Ja’far al-Mu’tashim bukan Abu Ja’far al-Manshur.
Betapapun bangunan tersebut rubuh lalu dipugat oleh khalifah al-Muntashir pada
tahun 629, kemudian dipugat lagi oleh Sultan Makhmud Khan—prnguasa dinasti
utsmaniyyah pada tahun 1254 H.
Ada riwayat yang menyatakan bahwa
Said Ibn al-Musayyab menceritakan bahwa ayahnya merupakan salah seorang yang
berjanji setia di Hudaibiyah dan pada tahun berikut dari perjanjian itu ketika
dia bersama sahabat-sahabat lainnya melakukan Umrah Qadha, mereka tidak lagi
mengetahui dimana lokasi pohon itu, dan atas dasar itu dia berkata: kalau
sahabat Nabi saja tidak mengetahuinya, maka bagaimana mungkin kalian yang tidak
hidup pada masa itu dapat mengetahuinya?
Jika riwayat Sa’id Ibn al-Musayyab
diterima –sebagaimana adanya maka itu brarti lokasi yang dinilai sebagai lokasi
pohon it, tidaklah benar tetapi anda dapat juga membenarkan riwayat tadi sambil
menyatakan bahwa ketidaktahuan al-Musayyab dan beberapa rekannya tidak
menghalangi adanya sahabat Nabi yang lain yang mengingat lokasi tersebut,
apalagi ini adalah peristiwa yang sangat besar dan diabadikan al-Qur’an .
informasi mereka yang mengetahui itulah yang sampai ke generasi sesudah mereka.
Penyebutan kata Syajarah / pohon mengisyaratkan perhatian yang ditujukan oleh
al-Qur’an terhadap tempat-tempat bersejarah , karena hal itu dapat menggugah
hati untuk mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di tempat dan waktu itu.
Dalam konteks ini jug Allah menguraikan betapa tảbảt yakni satu peti yang
dimiliki oleh Bani Isra’il dan merupakan peninggalan Nabi Musa as diakui oleh
al-Qur’an sebagai menghasilkan sakinah bagi
mereka ketika menafsirkan QS al-Baqarah[2] : 248 yang berbicara tentang hal
tersebut, penulis antara lain mengemukakan bahwa: “ ayat ini memberi pelajaran
tentang pentingnya memelihara peniggalan Isma
apalagi peninggalan yng dapat melahirkan rasa senang dan dorongan berbakti bagi
masyarakat, khususnya peninggalan para nabi dan pahlawan. Selanjutnya penulis
mengemukakan bahwa bisa jadi ada sementara ulama yang mengabaikan bahkan
menyetujui penghancuran peninggalan para nabi karena khawatir jangan sampai
masyarakat mengkultrkannya, dan pada gilirannya menjerumuskan mereka ke dalam
syirik. Kekhawatiran tersebut dapat
dikurangi dengan member penerangan dan pengertian kepada masyarakat. Ini karena
manfaat yang diperleh dari peninggalan lama dapat member pengaruh positif dalam
benak dan jiwa seseorang.
Rujukkah ke uraian ayat 10 surah ini
untuk memahami penggunaan bentuk kata kerja
mudhiri’ / present tense (masa
kini dan datang) pada kata yabau’ unaka
Ibn
‘Asyur memahami ayat di atas dalam arti “Allah telah rela kepada kaum mukminin
disebabkan karena janji setia yang mereka berikan untuk membelamu- wahai Nabi-
maka setelah mereka berjanji itu dan siapuntuk berperang, tiba-tiba di luar
dugaan terjadilah perdamaian, sehingga hati mereka gundah dan sedih, maka Allah
menyampaikan kepada mereka bahwa Dia telah mengetahui apa yang terdapat dalam
hati mereka serta mengetahui pula kegundahan mereka, lalu Allah menurunkan
sakinah dan ketenangan dihati mereka.
Dalam ayat ini “tentara Allah dan turunnya malaikat” tidak
disebut kehadirannya , sebagaimana ayat-ayat lain. Hal ini agaknya bukan saja
karena pada awal surah ini- (ayat 4 yang lalu) telah ditegaskan kehadirna
mereka, tetapi juga karena syarat bagi turunnnya malaikat telah penuhi yaitu
kesabaran dan ketakwaan. Jauh sebelum peristiwa Hudaibiyah yang terjadi pada
tahun keenam Hijrah, pada perang Uhud yang terjadi pada tahun ketiga Hijrah,
pada perang Uhud yang terjadi pada tahun ketiga Hijrah, Allah telah menjanjikan
sekaligus menginformasikan syarat kehadiran malaikat yaitu:
“ benar, jika kamu bersabar dan bertakwa dan
mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga niscaya Allah mnolong
kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda” (QS Ali ‘Imran[3] : 125)
dalam buku secercah cahaya Ilahi, antara
lain penulis kemukakan, bahwa sakinah tidak datang begitu saja, tetapi ada
syarat bagi kehadirannya. Kalbu harus disiapkan dengan kesabaran dan ketakwaan.
Sakinah “diturunkan” Allah ke dalam
kalbu. Tetapi perlu diingat, bahwa ini baru diperoleh setelah melalui beberapa
fase. Fase pertama dimulai dari mengosongkan kalbu dan segala sifat tercela,
dengan jalan mengakui dosa-dosa yang telah diperbuat. Fase selanjutnya adalah “
memutuskan hubungan “ dengan masa lalu yang kelam melalui cara penyesalan dan
pengawasan yang ketat terhadap diri menyngkut hal-hal mendatang.udian fase
berikutnya melalui mujahadah yakni perjuangan melawan sifat-sifat jiwa yang
tercela, dengan mengedepankan sifat-sifat yang terpuji , mengganti yang buruk dengan
yang baik seperti kekikiran dengan kedermawaan, kecorobohan, dengan keberanian,
egoisme, dengan pengorbanan,sambil memohon bantuan Allah dengan berzikir
mengingat-Nya, yang dapat disimpulkan dengan upaya menghiasi diri dengan ketabahan
takwa.
Sifat- sifat
itulah yang mengantar kepada kesadaran bahwa pilihan Alalh adalah pilihan Allah
adalah pilihan yang terbaik, bahkan mengantarnya untuk “tidak menghendaki untuk
dirinya kecuali apa yang dikehendaki-Nya, tidak juga mengharapakan sesuatu,
kecuali apa yang dikehendaki-Nya, tidak juga mengharapkan sesuatu, kecuali apa
yang diharapkan-Nya untuk yang bersangkutan. Saat itu, pasti kecemasan –
betapapun hebatnya- akan berubah dengan ketenangan, dan ketakutan – betapapun
mencekamnya – akn beralih menjadi ketentraman. Itulah tanda bahwa sakinah telah bersemayam di dalam kalbu.
Firman-Nya fathan qariban/ kemenangan yang dekat dengan
dipahami oleh banyak ulama dalam arti kemenangan menghadapi orang-orang yahudi
di Khaibar serta dua bulan setelah Perjanjian Hudaibiyah itu. Ini didasarkan
atas riwayat yang menyatakan bahwa ayat-ayat di atas, turun dalam perjalanan
Nabi pulang ke Madinah dari Hudaibiyah. Ada juga yang berpendapat bahwa fath/kemenangan yang dimaksud adalah
kemenangan- kemenangan yang akan diraih oleh kaum muslimin pada masa-masa
setelah Perjanjian Hudaibiyah itu.
·
TAFSIR
UII SURAT AL-FATH AYAT 18
Allah SWT dengan
ayat ini menyampaikan kepada Rasulullah saw bahwa dia telah meridha bai’at yang
telah dilakukan para sahabat kepada Rasulullah saw pada waktu bai’atur ridwan.
Para sahabat yang ikut bai’at pada waktu lebih kurang 1400 orang. Menurut
riwayat, ada seseorang yang ikut bersaama Rasulullah saw tetapi tidak ikut
bai’at yaitu Jaddu ibnu Qais Al Ansari. Dia adalah seorang munafik. \
Selanjutnya Allah SWT menerangkan
bahwa Dia mengetahui isi hati dan kebulatan tekad kaum Muslimin yang melakukan
bai’at itu. Karena iut, Allah SWT menanamkan dalam hati mereka ketenangan,
kesabaran, dan ketaatan kepada keputusan Rasulullah saw. Allah menjanjikan pula
kepada mereka kemenangan pada perang Khaibar, dan peristiwa itu benar-benar
terjadi.
·
TAFSIR
UII SURAT AL-FATH AYAT 19
Ayat ini
menerang kan bahwa pada perang khaibar yang akan terjadi itu, kaum muslimin
akan memperoleh kemenangan atas kaum kafir dan memperoleh harta rampasan yang
banyak. Harta rampasan itu khusus diberikan kepada kaum muslimin yang ikut
Bai’atu r Ridwan.
Pada akhir ayat ini, Allah SWT
mengulang ancaman-Nya kepada orang-orang munafik arab Badwi yang tidak ikut
bersama Rasulullah saw ke Mekah. Allah melaksanakan sesuatu atas Mahluk-Nya
sesuai dengan hikmah dan faedahnya.
·
Surat
al-Fath Ayat 20-21 Tafsir al-Misbah
Setelah ayat
yang lalu menjelaskan janji Allah kepada kaum mukminin, kali ini janji tersebut
dikukuhkan, dan langsung mengarahkannya kepada mereka sebagaimana terbaca
melalui pengalihan gaya bicara dari persona ketiga (mereka) menjadi persona
(kamu). Allah berfirman Allah telah
menjanjikan kepada kaum wahai kaum mukminin yang telah terbukti ketulusan
kamu pada bai’at di Hudaibiyah, menjanjikan kepada kamu, harta rampasan yang
sangat berharga dan banyak yang nanti
dapat kamu ambil dan digunakan secara faktual. Itu akan kamu peroleh dimasa
–masa dalam jihad yang kamu lakukan di luar wilayah Jazirah Arab. Namun
demkian, Allah enggan membiarkan kamu
menanti yang datang maka karena itu
disegerakan-Nya untuk kamu secara khusus- tidak untuk selain kamu- harta
rampasan ini yakni harta rampasan perang Khaibar. Dan disamping itu Dia juga menahan tangan manusia yakni mencegah
orang-orang yahudi penduduk Khaibar dan sekutu-sekutu mereka dari suku Asad dan
Gathfan dari membinasakan kamu walau kamu dalam posisi lemah, setelah sebelum
itu dia telah mencegah kaum musyrikin Mekkah membinasakan kamu. Itu dilakukan
Allah sebagai salah satu bentuk rahmat-Nya kepada kamu sehingga kamu
mensyukuri-Nya dan agar ia yakin hal itu menjadi bukti –bukti yang jelas bagi
orang-orang mukmin tentang kebenaran informasi Allah antara lain tentang bakal
masuknya kamu ke Masjid al-Haram sesuai mimpi Nabi Muhammad saw dan di samping
itu agarDia yang Maha Kuasa itu mengantar kamu kepada jalan lebar yang lurus.
Antara lain mengantar kamu meraih kejayaan dan ketinggian kalimat Allah dan
disamping janji di atas, Allah telah menjanjikan pula harta rampasan dan
kemenangan-kemenangan yang lain atas nengeri-negeri yang kamu yang kamu sadar
dan ketahui benar bahw kamu belum dapat menguasai. Allah sungguh telah memblokirnya
yakni menguasainya karena telah karena telah dilingkari oleh agr sehingga tidak dapat di ambil oleh
siapapun yang tidak dikehendaki Allah. Dan adalah Allah senantiasa maha kuasa
atas segala sesuatu .
Kata maghonima adalah bentuk jamak dari ghana’im yakni harta rampasan orang.
Penggunaan bentuk jamak quadrat itu mengisyaratkan besarnya nilai harta
rampasan tersebut serta banyaknya kuantitasnya. Ini lebih dipertegas lagi
dengan kata katsirah /banyak yang
menyifatinya.
Firman-Nya fa’ajjala lakum hadzihi/disegerakan-Nya
untuk kamu ini dipahami oleh beberapa ulama dalam arti perdamaian yang
terjalin antara kamu dengan kaum musyrikin Makkah serta butir-butir
perjanjiannya yang kesemuanya berdampak positif terhadap kum muslimin hanya
saja ini dihadang oleh kenyataan tidak adanya harta rampasan yang mereka
peroleh dibalik perjanjian itu sedang ayat di atas mengisyaratkan adanya
perolehan harta rampasan rujuklah ke ayat dua surah ini untuk memahami
kandungan makna agar dia mengantar kamu
ke jalan yang lurus.
·
Al-Fath ayat 20 dan 21 TAFSIR UII
Allah
menjanjikan kemenangan dan harta rampasan yang banyak yang akan diperoleh kaum
Muslimin dari orang-orang kafir secara berangsur-angsur pada masa yang akan
datang. Dalam pada itu, Allah SWT akan segera memberikan kemenangan dan harta
rampasan pada peraang Khaibar nanti. Allah SWT juga menjamin dan mencegah
orang-orang Yahudi yang ada di Madinah mengganggu dan merusak harta kaum
muslimin sewaktu mereka pergi ke Mekah dan ke Khaibar agar mereka bersyukur,
dan untuk membuktikan kebenaran Nabi Muhammad sebagai Rasul yang diutus Allah
kepada manusia. Allah SWT membantu dan menolong kaum muslimin dari ancaman dan
serangan musuh-musuh mereka baik mereka ketahui datangnya atau tidak mereka
ketahui, walaupun jumlah mereka sedikit. Allah SWT membimbing kaum muslimin
menempuh jalan yang lurus dan di Ridhai-Nya.
TERTUNDANYA
PELAKSANAAN UMRAH
·
TAFSIR UII SURAT AL-FATH AYAT 11 DAN 12
Allah SWT
menjelaskan kepada Rasulullah saw. “hai Muhammad beberapa kabilah arab penduduk
padang pasir yang tidak turut pergi ke Mekah untuk mengerjakan umrah mengatakan
kepada engkau. “kami tidak ikut bersama engkau ke Mekkah mengerjakan umrah
karena kami sedang sibuk mengurus pekerjaan, harta, dan keluarga kami dan kami
tidak mempunyai pembantu yang akan membantu kami mengurus semuanya itu
sepeninggal kami oergi beserta engkau, karena itu mohinkanlah ampunan untuk
kami kepada Tuhan engkau. Dengan alasan kesibukan kami itu.”
·
48 AYAT 11-12 TAFSIR AL-MISBAH
Setelah
menguraikan kelompok sahabat Nabi saw yang taat dan memperoleh Ridha Allah ayat
di atas berbicara tentang kelompok lain yang enggan ikut dalam rombongan nabi
menuju Makkah. Sejarah menjelaskan bahwa sebelum Nabi saw berangkat menuju ke
Mekkah untuk ber umrah beliau mengajak kelompok al_Arab yakni masyarakat
penduduk gunung Badui- yang ketika itu
telah memeluk Islam untuk berangkat bersama beliau melaksanakan umrah,
tetapi mayoritas mereka tidak menyambut baik ajakan itu. Ayat di atas bagaikan
menyatakan sebagian besaar orang-orang badui
Yang masih lemah
imannya dan yang ditinggalkan oleh Allah dan Rasul-Nya sehingga tidaak ikut ke
Hudaibiyah akan berbohong dengan mengatakan padamu wahai Nabi Muhammad kami
telah disibukkan oleh upaya memelihara harta yakni ternak dan keluarga yakni
anak dan istri kami jika kami ikut harta kami akan hilang dan keluarga kami
akan terlantar maka mohonkanlah ampunan untuk kami” menanggapi kebohongan ini
Allah berfirman: mereka mengucapkan
sesuatu dengan lidah mereka yakni brdalihkn harta dan keluarga serta
memohon agar didoakan apa sebenarnya tidak ada di dalam hati serta berbeda
dengan yang terlintas di dalam benak mereka. Ucapan mereka itu hanya dalih
mengelak dari kecaman. Katakanlah wahai Nabi Muhammad kepada mereka yang
berdalih itu bahwa: persoalan pengampunan semata-mata ditangan Allah, maka
berusaahalah dengan tulus sambil berserah diri kepada-Nya, mudah-mudahan Dia
yang berkenan mengampuni kamu karena siapakah gerangan yang dapat
menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan apapun bagi
kamu akibat kesalahan dan dosa kamu itu. Harta dan keluarga kamu dapat binasa
walau kamu menjaganya atau siapa pula yang kuasa menghalangi jika Dia
menghendaki manfaat apaun bagi kamu walau kamu tidak terlibat langsung dalam
memelihara harta dan keluarga kamu. Siapakah gerangan? Pasti tidak satupun.
Ssebenarnya Allah senantiasa trhadap apa yang sedang dan akan kamu kerjakan
Maha Mengetahuinya secara rinci. Sebenarnya ketidakikutan kamu ke Hudaibiyah
itu bukan karena dalih yang kamu sampaikan tetapi kamu menyangka bahwa Rasul
dan orang-orang mukmin sejati berkali-kali tidak akan kembali kepada keluarga
merka untuk selama-lamanya karna kamu menyangka bahwa akan terjadi perang dna
kaum musyrikin akan membunuh mereka, dan telah dihiaskan oleh setan prasangka
buruk dan keliru di dalam hati kamu sehingga kamu memandang benar, dan di
samping itu kamu juga dengan sangkaan itu serta sangkaan-sangkaan yang lain
telah menyangka dengan sangkaan buruk dan itu semua disebabkan karena kamu
adalah kaum yang binasa yakni bejat hatinya, rugi, serta tidak menyandak
kebijakan.
kata al-Mukholafun termbil dari kata Khalf
yang berarti belakang sesuatu yang ditinggalkan, posisinya yang di belakang
meninggalkannya ayat di atas menunjuk kelompok yang engga bergabung dengan Nabi
itu dengan kata al-Mukhalafunyakni yang ditinggalkan. Ini mengisyaratkan bahwa
hakikatnya bukan mereka yang meninggalkan Nabi saw, tetapi merekalah yang
ditinggalkan Allah dan Rasul-Nya. Mereka adalah kelompok yang tidak wajar ikut,
karena semangat mereka yang demikian lemah, sehingga kalau mereka ikut, akan
dapat mempengaruhi sementara yang telah tersedia dan tulus ikut.
Penyebutan
kata min al-arab untuk mengecualikan
sementara sahabat Nabi saw yang juga tidak ikut tetapi bukan dari kelompok
al-Arab bukan juga yang tidak memiliki alasan yang tepat sehingga tidak ikut.
Permintaan para Badui itu agar Nabi saw memohonkan pengampunan Allah buat
mereka sebenarnya bukan orang-orang munafik. Mereka telah beriman, walau masih
lemah. Mereka menduga bahwa pemohonan yang dipanjatkan Nabi buat mereka dapat
menghapus apa yang mereka rahasiakan. Mereka – sebagaimana halnya orang –orang
yang tidak paham- lengah akan pengetahuan Allah yang menyuruh antara lain
tentang isi hati mereka. Para Badui itu- masih menurut ulama di atas- serupa
dengan sikap orang-orang Yahudi yang membunuh Zakariyya as karena mereka takut
jangan sampai beliau mendoakan kebinasaan buat para pembunuh anak Nabi
Zakariyya yakni Nabi Yahya as; dan mereka itu ayat di atas di tutup dengan
firman-Nya : sebenarnya Allah terhadap
apa yang kamu kerjakan senantiasa Maha Mengetahui.
Kata
buraa terambil dari kata baur yang biasa diterjemahkan
kebinasaan. Kata ini pada mulanya digunakan untuk melukiskan tanah yang gersang
yang tidak dapat ditumbuhi tumbuhan. Para pendurhaka itu dilukiskan dihati
mereka sebagai tanah yang gersang, sehingga tidak dapat ditumbuhi oleh benih
keimanan dan budi pekerti luhur sehingga menjadikan mereka manusia-manusia
bejat, celaka dan binasa. Tentu saja yang dimaksud disini adalah kelompok
mereka, dan itu tidak harus berarti setiap orang diantara kelompok/ kaum itu
menyandang sifat tersebut, karena sejarah membuktikan bahwa sebagian dari
mereka pada akhirnya melaksanakan ajaran Islam dengan baik. Penggunaan kata Qaum pada ayat di atas, disamping menekankan
kemantapan sikap buruk dan kebejatan itu, juga untuk mengisyaratkan bahwa
kesimpuloan tesebut setuju kepada mereka sebagai satu kesatuan kelompok kaumk
bukan terhadap orang –perorangan dari semua mereka.
Al-Qur’an
al-Karim bermaksud dengan mengungkap isi hai mereka itu, bukan saja untuk
menginformasikan kebejatan mereka kepada Nabi dan sahabat-sahabat agar
berhati-hati menghadapi kaum munafik itu, tetapi juga bertujuan mendidik dan
menyadarkan kaum lemah iman itu agar mengetahui kelemahan mereka dan berusaha
memperbaiki diri dengan memperhatkan tuntunan-tuntunan al-Qur’an ayat di atas
mengisyaratkan bahwa panggilan jihad untuk membela kebenaran dan keadilan
adalah sesuatu yang sewajarnya dipenuhi. Tidaklah wajar menjadikan pemeliharaan
keluarga dan harta benda sebagai dalih untuk tidak ikut. Di sisi lain, ayat di
atas bukan berarti bahwa seseorang tidak perlu mengambil langkah-langkah untuk
memelihara keluarga dan harta bendanya, dengan alasan bahwa segalanya di tangan
Allah. Tidak! “ikatlah terlebih dahulu untamu, baru berserah diri kepada Allah.”
Demikian sabda Nabi saw. Kecaman ayat ini disebabkan karena mestinya mengambil
langkah-langkah tersebut lalu berserah diri kepada Allah dan berangkat bersama
Rasul saw menuju ke Hudaibiyah tetapi kenyataannya mereka berserah diri dan
tidak juga berangkat!
·
TAFSIR UII SURAT AL-FATH AYAT 15
Orang-orang arab
Badwi yang tidak iktu mengerjakan umrah ke Mekah bersama Rasulullah saw itu,
mengemukakan bermacam-macam uzur dan alasan, mereka berkata kepada Nabi
Muhammad di waktu beliau akan pergi e Khaibar “hai Muhammad berilah kesemspatan
kepada kami mengikuti kamu ke Khaibar”. Kesediaan mereka ke Khaibar itu ialah
karena mereka yakin bahwa perang Khaibar itu akan dimenangkan oleh kaum
muslimin dan kaum muslimin akan memperoleh harta rampasan yang banyak dalam peperangan
itu.
48 AYAT 15
TAFSIR AL-MISBAH
Pada
bulan Dzulhijah tahun VI Hijrah Nabi saw. Kembali ke Madinah dari Hudaibiyah
selanjutnya pada bulan Muharram sekitar sebulan sesudahnya. Beliau bersama
rombaongannya itu menuju ke Khaibar, perkampungan Yahudi yang membangkang
ketika itu orang-orang Badui yang enggan ikut ke Hudaibiyah ingin bergabung
menuju ke Khaibar tetapi Allah enggan mereka ikut apalagi sebelum ini Allah
telah menjanjikan kepada para peserta yang pergi ke Hudaibiyah bahwa mereka
akan dianugerahi Allah kemenangan dan harta rampasan. Ayat di atas menyatakan:
orang-orang Badui yang ditinggalkan itu akan berkata apabila nanti kamu wahai
para peserta yang sebelum ini terlibat dalam perjalanan ke Hudaibiyah berangkat
untuk mengambil barang rampasan prang di Khaibar: “biarkanlah kami dalam
keadaan apapun, mengikuti kamu dalam pasukan yang akan berangkat.” Mereka
dengan permohonannya itu bagaikan hendak mengubah janji Allah yang telah
disampaikan-Nya kepada kamu bahwa harta rampasan perang di Khaibar hanya akan
diperoleh rombongan yang ikut ke Hudaibiyah, sekali-sekali tidak boleh
mengikuti kami walau kamu bersungguh-sungguh akan ikut, demikian Allah telah
berfirman menetapkan ketidakbolehan itu sebelumnya yakni sejak sekian lama yang
sebelum ucapan kamu ini. Mendengar keputusan itu mereka akan mengatakan: “ itu
bukanlah keputusan Allah, tetapi kehendak kamu. Sebenarnya keputusan itu karena
kamu iri hati kepada kami bila kami memperoleh pula harta rampasan perang
apalagi kamu ingin memonopolinya.” Sebenarnya mereka tidak paham soal-soal
agama atau latar belakang keputusan itu kecuali sedikit pemahaman saja.
Latar
belakang larangan itu, bukanlah iri hati , bukan juga untuk menghalangi mereka
memperoleh harta rampasan, tetapi itu adalah pengajaran buat semua pihak bahwa
Allah tidak butuh atau mengharapkan bantuan kepada siapapun, lebih-lebih dari
yang durhaka kepada-Nya. Allah enggan memberi kehormatan ikut berjihad ke
Khaibar , agar timbul penyesalan dihati mereka, sehingga bila nanti ada ajakan
lain, mereka telah merasakan pahitnya keengganan menyambut panggilan Allah dan
Rasul-Nya.
·
TAFSIR UII SURAT AL-FATH AYAT 16
Ayat ini
seakan-akan menguji isi hati dan kemauan orang-orang munafik arab Badwi itu,
dengan memerintahkan Rasulullah saw ,menyampaikan kepada mereka, “kamu akan
diajak memerangi orang-orang yang kuasa agi kuat, dan kamu harus menyuruh
mereka memilih Allah satu dari dua hal,” ,memeluk agama islam atau diperangi.”
Kemudian kepada mereka dijanjikan : jika mereka ikut berjihad, Allah akan melimpahkan
nikmat-Nya kepada mereka baik di dunia
maupun di akhirat berupa surge yang penuh dengan kenikmatan. Sebaliknya jika
merekka menyalahi perintah Allah, tidak mau berjihad dan melaksanakan perintah
itu, mereka akan menerima azab yang pedih di akhirat nanti.
·
48 AYAT 16 TAFSIR AL MISBAH
Keputusan Allah
tentang ketidakikutsertaan kaum Badui yang ditinggalkan itu, bukanlah keputusan
yang berlaku sepanjang masa. Tidak, suatu ketika mereka akan diajak. Ayat di
atas menyatakan: katakanlah wahai Nabi Muhammad kepada orang-orang Badui yang
ditinggalkan itu: “suatu waktu kamu akan diajak bepergian menuju ke satu kaum
yang mempunyai kekuatan yang besa serta kemampuan tipu daya yang ulung. Keika
itu kamu akan memerangi mereka berdasar komando pemimpin kamu atau mengajak
mereka menyerah dan memeluk agama Islam. Maka jika kamu patuh memenuhi ajakan
itu niscaya Allah akan menganugerahi kamu ganjaran yang baik di dunia berupa
kemuliaan atau harta rampasan serta di akhirat berupa surge dan jika kamu
berpaling menolak ajakan itu tanpa alasan yang benar sebagaimana kamu telah
berpaling menolak ajakan itu tanpa alasan yang benar sebagaimana kamu telah
berpaling sebelumnya yakni ketika Nabi saw mengajak kamu ke Hudaibiyah, niscaya
Dia yang maha Kuasa itu akan menyiksa kamu dengan siksa yang pedih.”
Firman-Nya satud’auna/ kamu akan diajak dipahami oleh sementara ulama bahwa
yang mengajak adalah Sayyidina Abu Bakar yakni menuju Bani Hanafiah yang
murtad. Ada juga yang berpendapat bahwa yang mengajak adalah Nabi saw menujang perkampungan Hauzan dan Tsaqif yakni perang
Hunain yang terjadi sesudah Khaibar. Ada lagi yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah Fath
Makkah. Yang dapat dipastikan adalah bahwa kaum yang dimaksud pastilah bukan
dari kelompok Ahl-Kitab, karena pilihan yang diberikan ayat di atas adalah memeluk
Islam atau membayar jizyah , yang
berfungsi sebagai pajak
SYARAT-SYARAT
PERJANJIAN HUDAIBIYAH
·
TAFSIR UII SURAT AL-MUMTAHANAH AYAT 10
Ayat ini
menerangkan perintah Allah kepada Rasullullah saw dan orang-orang yang beiman
tentang sikap yang harus diambil , jika seseorang wanita beriman datang
menghadap atau minta perlindungan yang berasal dari daerah kafi, Allah
mengatakan : “hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu seorang
wanita beriman yang berasal dari daerah kafir, sekalipun mereka telah
mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak tampak padanya tanda-tanda
keingkaran dan kemunafikan, maka periksalah dan ujilah keadaan mereka, apakah
benar-benar telah beriman, atau melarikan diri dari suaminya atau mereka datang
karena cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Periksaalah benar-benar mereka
itu.
·
TAFSIR
AL-MISBAH SURAT 60 AYAT 10
Ayat-ayat
terakhir pada kelompok yang lalu berbicara tentang keluarga kaum muslimin yang
masih berada di Mekkah dan masih musyrik. Kaum muslimin dituntun agar tidak
menjalin hubungan mesra dengan mereka yang memushi Allah dan Rasul-Nya—walaupun
keluarga sendiri. Pada akhir kelompok yang lalu itu Allah berbicara tentang
kaum musyrik dan nonmuslim yang tidak memusuhi agama atau tidak mengusir dari
tumpah darah. Sebagian anggota masyarakat yang bermukim di Mekkah ketika itu
adalah istri sebagian dari sahabat nabi saw yang telah lebih dahulu berhijrah. Mereka
tidak ikut berhijrah boleh jadi karena enggan memeluk agama islam – sebagaimana
suami mereka yang berhijrah—atau memang belum mendapat peluang untuk berhijrah.
Nah, ayat-ayat di atas berbicara tentang mereka.
Ayat di atas menjelaskan bahwa : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
untuk bergabung kepada kami
perempuan-perempuan mukminah yakni yang mengucapkan dua kalimat syahadat
dan dalam keadaan sebagai wanita yang berhijrah meninggalkan Makkah maka hijrah
mereka menyangkut keimanan mereka. Selanjutnya karena para suami itu telah
pernah membayar mahar ketika perkawinannya dengan istri yang berhijrah itu dan
demi keadilan, ayat di atas melanjukan bahwa dan berikanlah kepada suami-suami mereka apa mahar yakni yang telah
mereka bayar agar mereka tidak mengalami kerugian berganda istri dan mahar,
Selanjutnya
karna wanita mukminah itu boleh ajdi memerlukan pelindung atau masih ingin
berumah tangga dan ada juga yang meminatinya, maka ayat di atas melanjutkan
bahwa: dan tiada dosa atas kamu wahai
pria-pria muslim mengawini mereka—sesuai dengan syarat yang berlaku antara lain
kehadiran saksi, wali dan telah selesainya ‘iddah mereka. Ini apabila kamu
bayar kepada mereka mahar-mahar mereka sesuai dengan jumlah yang kamu sepakati
masing-masing.
Setelah menetapkan putusnya hubungan
perkawinan istri muslimah terhadap suaminya yang kafir, ayat di atas
melanjutkan tentang kewajiban suami-suami mereka yang masih Musyrikah bukan
yang ahli kitab. Allah berfirman: janganlah kamu wahai pria-pria muslim tetap berpegang
pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir yakni musyrikah.
Disini menurutnya ditemukan ada dua
macam kemungkinan untuk kembalinya seorang wanita muslimah kepada suaminya yang
kafir. Pertama, memenuhi permintaan orang kafir, yaitu dia ke tempat suaminya
yang berada di Mekkah yakni, yang ketika itu masih merupakan wilayah. Kedua,
adalah bergabung dengan suaminya di wilayah Islam dalam arti sang suami yang
mengikut istri dan diizinkan tinggal bersama.
Komentar
Posting Komentar