Analisis Diksi dan Konteks pada opini “Cara Rektorat Menjinakkan UKM” dalam Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012






MUAWWAN
1110026000039
English Letter Department / BSI 5 B
Final Test of General Linguistics


Pengantar
            Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya. Kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau representasi dari pengalaman (Roger Fowler:1977). Bila mengacu pada deifinisi di atas, tentu wacana bisa diposisikan sebagai bentuk komunikasi lisan atau tulisan yang merepresentasikan pengalaman atau dinamika yang terjadi di lingkungan sekitar. Namun, jika dilihat dari tataran sosiologi, wacana menunjuk terutama pada hubungan antara konteks sosial dan pemakaian bahasa.
Bahasa merupakan aspek sentral dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari analisis wacana. Di mana, analisis wacana menjadi sebuah metode yang memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam wacana seperti percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan (Crystal:1987).
Seiring dengan perkembangan tekhnologi, cara masyarakat menyampaikan ideologi atau gagasan pun kian beragam. Salahsatunya, melalui jejaring sosial. Meski demikian, tak sedikit pula masyarakat yang tetap setia menggunakan media cetak. Seperti majalah, koran, dan tabloid sebagai media alternatif untuk menyuarakan pendapat mereka.
Seperti kita tahu, hampir di setiap media cetak menyediakan rubrik opini sebagai lahan aspirasi bagi masyarakat untuk berpendapat. Untuk itu, dalam makalah ini, saya akan mencoba menganalisis rubrik opini yang terdapat pada Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012 sebagai korpus penelitian. Di mana, saya akan berusaha menganalisis bagaimana konteks mempengaruhi penggunaan diksi dalam tulisan. Dengan maksud ingin mengungkap konteks yang melatarbelakangi Dika Irawan, penulis opini tersebut. Wacana tertulis adalah Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012. Sedangkan konteks menggunakan transkrip hasil wawancara dengan  penulis.




Teoritis Kerangka
            Analisis wacana kritis (CDA) mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, dan kondisi. Titik tolak dari analisis wacana di sini adalah bahasa tidak dimengerti sebagai mekanisme internal dari linguistik semata, bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup. Selain itu, bahasa juga dipahami dalam konteks secara keseluruhan. (Guy Cook : 1994) dalam bukunya yang berjudul The Discourse of Advertising, London and New York, Routledge,  hlm 1.
Ia juga menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa dan situasi di mana teks tersebut diproduksi.Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama.
Titik perhatian dari analisis wacana, lanjut (Guy Cook : 1994) adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Di sini, tidak hanya dibutuhkan proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa di sini, memasukkan konteks karena bahasa selalu berada dalam konteks dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan, interteksi, situasi, dan sebagainya.
Selain itu, dalam hal ini media juga memiliki peran sentral dalam menciptakan wacana atau bahkan tak jarang wacana itu berkembang menjadi konsensus di tengah masyarakat atau mahasiswa. Mengutip dari buku Analisis Framing, karangan (Eriyanto : 2002) Ia menyebutkan, di antara berbagai fungsi dari media dalam mendefinisikan realitas, fungsi pertama dalam ideologi adalah media sebagai mekanisme integrasi sosial.
Media di sini berfungsi menjaga nilai-nilai kelompok dan mengontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu dijalankan. Untuk mengintegrasikan masyarakat dalam tata nilai yang sama, pandangan atau nilai harus didefinisikan sehingga keberadaannya dan diyakini kebenarannya.
Dalam kerangka ini media dapat mendefiisikan nilai dan prilaku yang sesuai dengan nilai kelompok dan prilaku atau nilai apa yang dipandang menyimpang. Perbuatan, sikap, atau nilai yang menyimpang tersebut bukanlah sesuatu yang alamiah (nature), yang terjadi dengan sendirinya, dan diterima begitu saja. Semua nilai dan pandangan tersebut bukan sesuatu yang terbentuk begitu saja melainkan dikonstruksi.



Oleh karena itu, teori-teori di atas akan saya jadikan sebagai landasan teoritis dalam  analisis makalah ini. Terlebih, pada makalah  ini saya akan menganalisis sebuah Tabloid Kampus. Di mana, tabloid ini berorientasi pada tataran kampus baik yang bersifat intar maupun ekstra. Titik tekan makalah ini adalah mengungkap konteks di balik Tabloid INSTITUT Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Konteks yang digunakan berdasarkan opini pada Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012 yang berupa transkrip hasil wawancara dengan Dika Irawan, penulis opini yang berjudul “Cara Rektorat Menjinakkan UKM”. Transkrip tersebut akan diterapkan untuk membahas konteks sosial dan dinamika yang terjadi di Kampus UIN Jakarta. Berikut, Teori Kognisi Sosial yang dikemukakan oleh Teun A. Van Dijk. Teori ini, digunakan untuk menghasilkan penjabaran yang jelas terkait konteks yang melatarbelakangi penulis. Tak hanya itu, analisis juga dikemas dengan menyajikan beberapa teori yang relevan. Yaitu, Robert N. Entman  dalam Journal of Political Communication serta Teori William A. Gamson dan Andre Modigliani, op. cit.,hlm. 3.
Ditulis Analisis Wacana
Korpus tertulis adalah rubrik opini pada Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012. Pada rubrik tersebut terdapat diksi-diksi yang cukup dipengaruhi oleh konteks. Demikian pula dengan teks yang cenderung tidak memperhatikan posisi pembaca. Akibatnya, opini ini menuai kritik dari pihak rektorat. Terlebih, rektorat menjadi objek utama dalam opini tersebut. Karenanya, saya ingin mengetahui pengaruh konteks terhadap diksi yang digunakan penulis. Tentunya, dengan menggunakan Teori Sara Mills 1997 tentang posisi subjek dan objek , Teori Norman Fairclough (Critical Linguistic), dan Teori Stuart Hall tentang konstruksi berita.
Berdasarkan hasil analisis yang saya lakukan, ternyata bahasa yang digunakan dalam opini itu cenderung dipengaruhi oleh konteks. Terlihat dari diksi yang digunakan, seperti “semaonya dewek” (P.1:1) “inspeksi mendadak (sidak)”(P.2:2) dan “disegel” (P.2:14) Penggalan diksi-diksi ini, mengindikasikan bahwa konteks cukup memberikan pengaruh signifikan dalam pola penulisan opini tersebut. Sehingga, diksi-diksi yang ditampilkan penulis cenderung mendeskripsikan bagaimana situasi dan sikap keotoritasan rektorat terhadap mahasiswa yang terlibat aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).





Akibatnya, hubungan antara rektorat dan mahasiswa pun tidak sinergis. Terlihat dari kurangnya apresiasi yang ditunjukan rektorat kepada kawan-kawan UKM, begitu juga sebaliknya. Hal itu ditunjukan penulis dalam opininya, “Apresiasi yang diberikan rektorat kurang. Ukuran prestasi di mata mereka pun berbeda dengan kita. Prestasi menurut mereka itu harus islami, harus nurut perturan dan perintah mereka.”(P.8:11) Diksi ini, menunjukan bagaimana ketidakharmonisan yang terjadi antara rektorat dan mahasiswa. Menempatkan posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa itu dalam teks. Posisi-posisi tersebut akhirnya menentukan teks yang hadir di tengah masyarakat (Sara Mills : 1997).
Jika, opini di atas dilihat dari sudut pandang Teori Sara Mills, penulis opini ini cenderung  mengabaikan aspek posisi aktor sosial (rektorat) yang menjadi objek utama. Sehingga, teks ini mengahadirkan paradigma tersendiri  di kalangan pembaca. Dalam suatu teks, posisi pembaca sangatlah penting dan haruslah diperhitungkan dalam teks. Teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca (Sara Mills : 1992) dalam tulisannya “Knowing your place : A Marxist Feminist Stylistic Analysis”.
Selain itu, opini tersebut juga menunjukan bagaimana penulis mencoba mengkonstruk pembaca serta mengajak kawan-kawan UKM untuk menjalin kekompakan. Ditunjang dengan penggunaan diksi-diksinya yang argumentatif dan persuasif. Misalnya, penulis menggunakan diksi “rektorat sudah tidak bersahabat dengan kita, malah mencoba menjinakan  kita.”(P.6:1) Bila dicermati, diksi ini merupakan hasil dari penafsiran Dika Irawan, terhadap konteks atau dinamika yang terjadi di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lewat penafsirannya itu, ia kemudian membentuk sebuah realitas sosial.
Sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, (Peter L. Berger dan Thomas Luckmann : 1994).
Tak hanya itu, lewat diksi-diksinya penulis juga lebih menitikberatkan pada aspek kontruktivisme. Akibatnya, pesan yang disampaikan bahwa rektorat tidak bersahabat dengan kawan-kawan UKM, lambat laun akan membudaya dalam pola pemikiran mahasiswa. Karenanya, bukan hal yang tidak mungkin jika asumsi-asumsi negatif tentang rektorat akan selalu manghiasi kredibilitas mereka dan membentuk sebuah realitas sosial. Pada dasarnya, realitas sosial itu tidak dibentuk secara alamiah, tidak pula sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, realitas itu dibentuk dan dikontruksi (Peter L. Berger : 1993).



Realitas yang berkembang selama ini, terkait kredibilitas rektorat. Sejatinya, hanyalah sebuah hasil konstruksi penulis. Namun, hal itu bukan berarti meniadakan kebenaran sebuah opini. Terlebih, opini merupakan hasil pandangan seorang individu terhadap gejala sosial yang direpresentasikan melalui teks. Meskipun tergolong subjektif, tetapi, diksi-diksi yang ditampilkan tetap berdasarkan hasil empiris penulis dan realitas di lapangan.
Salahsatu indikatornya adalah penggunaan diksi “Berkaca dari kasus pelaksanaan Exposure UKM sangat sedikit sekali mendapat dukungan.”(P.5:6) Diksi ini, menunjukan bagaimana penulis mencoba menampilkan aspek empirisnya. Apalagi, penggunaan diksi “berkaca” yang secara eksplisit mengindikasikan, rektorat tidak mendukung kegiatan mahasiswa. Padahal, kegiatan ini bertujuan untuk mempromosikan ragam kegiatan ekstra kampus kepada mahasiswa baru.
Sementara, indikator lain adalah penggunaan diksi “Beberapa kali mediasi antara UKM dan rektorat membicarakan persoalan yang ada di student center (SC) berakhir nihil.”(P.6:4) Melalui diksi tersebut penulis mencoba mendeskripsikan bagaimana mediasi antara UKM dan rektorat yang tidak  memberikan implikasi apapun terhadap realitas di lapangan.
Tak hanya itu, penggunaan judul “cara rektorat menjinakkan UKM” dan diksi “rektorat adalah penguasa tunggal di kampus”.(P.1:4) Dipandang secara analisis bahasa kritis (Critical Linguistic) memperlihatkan bagaimana bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu. Dengan kata lain, aspek ideologi itu diamati dengan melihat pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dipakai.
Bahasa, baik pilihan kata maupun struktur gramatika, dipahami sebagai pilihan, mana yang dipilih oleh seseorang untuk diungkapkan membawa makna ideologi tertentu. Ideologi itu dalam taraf yang umum menunjukan bagaimana satu kelompok berusaha memenangkan dukungan public, dan bagaiman kelompok lain berusaha dimarjinalkan lewat pemakaian bahasa dan struktur gramatika tertentu (Norman Fairclough dan Ruth  Wodak : 1998) “Critical Discourse Analysis”.
Oleh karena itu, diksi-diksi tersebut secara jelas menunjukan bagaimana penulis berusaha menaburkan ideologi-ideologi kepada mahasiswa, perihal sikap rektorat yang tidak mendukung kegiatan para kawan-kawan UKM. Penulis juga berusaha mendapat dukungan publik agar mereka turut merespon terkait permasalahan antara rektorat dan mahasiswa UKM.




Tentu, dalam prakteknya, antara pihak mahasiswa UKM dan pihak rektorat akan terjadi tarik – ulur atau secara tidak langsung menimbulkan persaingan. Tapi, dalam hal ini, penulis opini lebih berpeluang unggul. Karena, selain berusaha mendapat dukungan lewat opininya, penulis juga berusaha memarjinalkan pihak rektorat melalui pemakaian bahasa dan struktur gramatika tertentu.
 Seperti pada kalimat, “Sepertinya mereka (rektorat) sedang merancang skenario. Dengan menjinakkan UKM-UKM yang dianggap sulit diterbitkan. Setelah itu, tak menutup kemungkinan UKM lain mendapat perlakuan yang sama.”(P.5:10) Sebenanrya, kalimat tersebut sedikit bernada provokatif. Terlebih, pada penggunaan diksi “mereka (rektorat) sedang merancang skenario”(P.5:11) yang mengandung pengertian memarjinalkan pihak rektorat agar mereka tidak mengintervensi berbagai kegiatan kawan-kawan UKM.
Akibatnya, dengan menggunakan diksi-diksi tersebut. penulis sedikit – banyak telah berhasil menciptakan sebuah asumsi atau bahkan konsensus di kalangan mahasiswa, khususnya bagi mereka yang berkecimpung di UKM. (Stuart Hall : 1978) mendefnisikan istilah tersebut dengan (Background Assumption). Istilah ini digunakan Hall untuk menyebut bagaimana anggota komunitas share terhadap pengetahuan dan bahasa yang sama, mereka seakan terikat oleh budaya dan komunitas yang sama sebagai sesama anggota.
Basis kepercayaan dan kultural yang sama menyediakan budaya yang sama. Dan diasumsikan hanya ada satu perspektif dalam melihat suatu peristiwa: menyediakan suatu pandangan yang kadang disebut sebagai budaya, atau sistem nilai. Sehingga dengan pola seperti ini, publik hanya akan disuguhkan dengan satu perspektif. Persepektif itu adalah hasil interpretasi seorang individu atau komunitas tertentu terhadap sebuah peristiwa.
Diucapkan Analisis Wacana
Konteks yang digunakan berdasarkan transkrip hasil wawancara dengan Dika Irawan penulis opini di Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012. Mengutip penjelasan Dika Irawan terkait konteks yang melatarbelakangi opininya adalah “Bermula dari kekesalannya terhadap tindakan rektorat yang semakin represif terhadap mahasiswa UKM.” Kutipan di atas, tentu bertolak belakang dengan fakta secara esensial, artinya pendekatan pluralis menekankan agar nilai dan hal-hal di luar objek dihilangkan dalam proses pembuatan opini / berita, (Eriyanto : 2001 Analisis Wacana).




“Secara keseluruhan tindakan rektorat seolah-olah memusuhi mahasiswa UKM. Konteks lain juga berdasarkan keluhan anak-anak Forum UKM yang menganggap rektorat seakan membatasi berbagai kegiatan mahasiswa UKM.” Dilihat dari konteksnya, hal ini menurut (Teun Van Dijk : 1994)dalam “Discourse and Cognition Society” menjelaskan, untuk membongkar bagaimana makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan  suatu analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa atau lebih tepatnya proses kesadaran mental dari pemakai bahasa.
Tentu, bisa dipahami bahwa secara konteks opini ini dilatarbelakangi oleh penilaian seorang mahasiswa terhadap keotoriteran rektorat dalam menyikapi berbagai dinamika kampus dan kegiatan mahasiswa UKM. Terlebih, saat menulis opini tersebut Dika sedang berada dalam kondisi emosi. Sehingga, diksi-diksi apapun bisa keluar. Termasuk penggunaan diksi “menjinakkan” atau “menyerang” yang menurut rektorat terlalu extreme dan frontal. Akibatnya, opini itu sedikit – banyak tidak didasari pemikiran jernih penulis.  
Menyoal permasalahan ini, serta mengacu pada teori (Robert N. Entman : 1993) yang menyebut hal itu mengabaikan aspek moral evaluasi (moral evaluation), yakni penilaian atas penyebab masalah. Di mana, aspek ini merupakan bagian dari salah satu strategi media, dan membawa konsekuensi tertentu atas realitas yang terbentuk oleh media. Bisa dikatakan, dalam hal ini penulis hanya sekadar menuliskan opini tanpa memahami esensi yang mendasari masalah tersebut.
Oleh karena itu, tak heran jika opininya itu menuai kritikan dari pihak rektorat. Mengingat penggunaan diksi yang frontal bisa berpotensi membangun citra buruk tentang rektoriat. Hal ini, juga senada dengan Teori (Gamson dan Modigliani : 1996) yang menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package). Menurut mereka, farme adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana.
Alhasil, pernyataan penulis di atas menunjukan bahwa penulis kurang cukup memiliki sumber yang akurat. Hal itu terlihat dari penggunaan diksi yang sedikit berlainan dengan fakta. Sehingga memunculkan polemik dan misunderstanding antara penulis dan rektorat. Akibatnya, penulis pun ditekankan untuk melakukan verifikasi ulang terkait opini yang ia tulis. Namun, hal tersebut bersebarangan dengan asumsi penulis yang mengatakan hanya terjadi misinterpretation terkait beberapa diksi antara dirinya dan rektorat.



Melalui opini tersebut, penulis juga ingin menyampaikan, rektorat tidak seharusnya mengintervensi kegiatan-kegiatan mahasiswa UKM. Seharusnya, rektorat lebih memperbaiki sumber daya manusia (SDM) atau memperbaiki manajemen organisasi dari setiap UKM. Lewat opini tersebut, Dika berharap, rektorat bisa mengedepankan pendekatan partisipatoris dalam menentukan kebijakan. Konteks ini adalah bagian terakhir, juga sebagai saran untuk mengetahui pengaruh konteks secara keseluruhan (Guy Cook : 1994) dalam “Advertising, London and New York, Routledge,hlm 1”.
Kesimpulan
 Penggunaan diksi yang tepat tentu akan sangat mempengaruhi makna yang ditampilkan. Terlebih, diksi itu digunakan untuk sebuah opini yang notabene menjadi bahan bacaan masyarakat atau mahasiswa. Bagi penulis, pemilihan diksi, tentu tidak terlepas dari konteks yang melatarbelakangi tulisan tersebut. Berdasarkan analisis di atas, sangat jelas bahwa diksi dipengaruhi oleh konteks. Analisis diatas juga membuktikan bagaimana konteks cukup mempunyai peran signifikan dalam mempengaruhi diksi.
            Pada dasarnya, penggunaan diksi tidak terlepas dari penafsiran penulis terhadap realitas. Di mana, dalam diksi-diksi tersebut memuat ideologi-ideologi penulis, tentunya setelah ia melihat dan menginterpretasikan sebuah konteks. Pemakaian diksi, hakikatnya akan cenderung menyesuaikan dengan konteks yang melatarbelakanginya.
            Seperti yang dialami Dika Irawan, ia menggunakan diksi “menjinakkan” sebagai bentuk ekspresi atas kekecewaannya terhadap rektorat yang beritndak semena-mena terhadap mahasiswa UKM. Contoh di atas, tentu sangat jelas untuk menggambarkan bagaimana diksi menjadi representasi dari sebuah ideologi penulis.
Melalui frame, penulis memproses berbagai informasi yang tersedia dengan jalan mengemasnya sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan kepada khalayak. Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan di dalamnya konsepsi dan skema interpretasi penulis. Pesan secara simbolik menyertakan sikap dan nilai. Ia hidup, membentuk, dan meginterpretasikan makna di dalamnya (Todd Gitlin : 1880) dalam The Whole World is Watching: Mass Media in The Making and Unmaking of The New Left, (California: University of California Press, hlm 6).
Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwasanya konteks dan diksi dalam opini tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012 memiliki hubungan dan peranan yang sangat erat. keduanya juga akan saling mempengaruhi terhadap nilai dan makna yang ditampilkan kepada khalayak atau pembaca.

Referensi
Roger Fowler 1977 disarikan dari Sara Mills, Discourse, London and New York, Routledge, 1977, hlm. 1-8: J. S. Badudu, “wacana”,Kompas, 20 Maret 2000.
Crystal 1987, Eriyanto 2001 Analisis Wacana..
Eriyanto, 2002 Analisis Framing
Guy Cook, dalam bukunya yang berjudul The Discourse of Advertising, London and New York, Routledge, 1994, hlm 1
Teun A. Van Dijk, “Discourse As Interaction In Society”, and “Discourse and Cognition Society” dalam Teun A Van Dijk (ed), Discourse As Social Interaction: Discourse Studies A Multidisciplinary introduction, Vol 2, London Sage Publication, 1997, hlm 1-37
William A. Gamson and Andre Modigliani, op. cit hlm 3
Sara Mills, discourse, London and New York, Routledge, 1997
Sara Mills, dalam tulisannya “Knowing your place: A Marxist Feminist Stylistic Analysis)” dalam Micahel Toolan (ed), Language and Context: Essay in Stylistics, London and New York, Routledge, 1992.
Norman Fairclough, “Critical Discourse Analysis and The Marketization of Public Discourse: The Universities”, dalam Critical Discourse Analysis, London and New York, Longman, 1998, hlm. 131-132
Peter L. Berger dan Thomas Luckmann tentang “Pandangan Konstruksionis”.
Norman Fairclough dan Ruth  Wodak, “Critical Discourse Analysis”
Stuart Hall, “The Rediscovery of Ideology: The Return of The Repressed in Media Studies”, dalam Michael gurevitch, Tonny Benneth, James Curran, dan Janet wollacott (ed), Culture, Society and The Media, London, Methuen, 1982.
Robert N. Entman, “Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm”, Journal of Communication, Vol, 43, No. 4, 1993.
Guy Cook dalam Advertising, London and New York, Routledge, 1994, hlm 1).
Todd Gitlin, The Whole World is Watching: Mass Media in The Making and Unmaking of The New Left, (California: University of California Press, 1880),  hlm 6).



Lampiran
1.      Kutipan dari beberapa paragraph dalam rubrik opini Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012 yang berjudul “Cara Rektorat Menjinakkan UKM”
“Sikap semaonya dewek dalam bertindak dan mengeluarkan kebijakan semakin menunjukan bahwa rektorat adalah penguasa tunggal di kampus.” (Paragraph 1)
“Rektorat saat ini gencar mengadakan inspeksi mendadak (sidak) ke secretariat UKM. Saya tak tahu, apakah hal yang sama terjadi disekretariat BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) semua fakultas. Mungkin tujuan mereka ingin mengetahui kondisi riil di secretariat-sekretariat UKM. Jika kedapatan melanggar peraturan, maka sanksi tegas akan keluar tanpa pikir panjang. Seperti yang dialami kawan-kawan KPA Arkadia, secretariat mereka disegel dengan alasan telah melakukan pelanggaran kode etik mahasiswaUIN.” (Paragraph 2)
“Perlakuan yang mereka (rektorat) perlihatkan selama ini kepada kawan UKM. Pertanda, mereka sudah tak bersahabat dengan kita, malah mencoba menjinakkan kita. Berkaca dari kasus pelaksanaan Exposure UKM yang sangat sedikit sekali mendapat dukungan. Selanjutnya, kasus yang menimpa kawan kita di KPA Arkadia. Sepertinya mereka sedang merancang skenario. Dengan menjinakkan UKM-UKM yang dianggap sulit ditertibkan. Setelah itu, tak menutup kemungkinan UKM lain mendapat perlakuan yang sama.” (Paragraph 6)
2.      Transkrip hasil wawancara dengan Dika Irawan (penulis opini Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012)
Masalah rektorat yang terlalu mengawasi kegiatan UKM, setelah ada niatan dari pihak rektorat yang akan mengadakan peraturan jam malam serta inspeksi mendadak di setiap secretariat UKM. Secara keseluruhan tindakan rektorat seakan memusuhi anak-anak UKM. “Konteks ini juga berdasarkan keluhan anak-anak forum UKM. Sikap rektorat juga seakan membatasi berbagai kegiatan mahasiswa UKM,” katanya.  
Menurutnya, anak-anak UKM memang terkenal liar. Salahsatunya,  UKM Kelompok Pecinta Alam (KPA) ARKADIA. Akhirnya, untuk menggambarkan keliaran tersebut, Dika menggunakan diksi “menjinakkan” untuk mendeskripsikan sikap rektorat yang seolah berusaha menjinakkan anak-anak UKM. Selain itu, kemunculan pedoman kode etik dinilai menjadi salahsatu alasan kenapa ia menulis opini tersebut.





“Dan hal itu menjadi problem, ketika kebijakan tersebut tidak melibatkan mahasiswa. Akhirnya, ia menyimpulkan semua pearturan dikuasai rektorat. Sehingga hal ini seakan-akan menyerang anak-anak UKM,” ujarnya.  
Saat menulis opini tersebut, ia sedang berada dalam kondisi emosi. Menurutnya, kata-kata apapun bisa keluar dalam kondisi emosi. Karena waktu itu dalam kondisi kesal. Ia menulis opini tersebut tidak didasari dengan pemikiran jernih.
            Terkait, kritikan yang diterimanya dari pihak rektorat.  Ia merasa tetap legowo. karena sejatinya kita saling mengkritik. Ia juga mendapat pelajaran, bahwasanya ketika memilih diksi harus sesuai dengan fakta terutama dalam hal verifikasi. Yakni kesesuaian diksi dengan fakta. Sampai kapanpun pihak rektorat harus siap untuk menerima kritik.
Rektorat juga menganggap opininya itu akan membangun citra buruk bagi mereka. Tapi, ia berusaha menjelaskan secara harfiyah, terutama diksi “menyerang”. Di mana, diksi mengakibatkan  misunderstanding antara dirinya dan rektorat. Padahal, dalam diksi itu ia menafsirkannya dengan maksud membatasi, bukan menyerang secara leksikal.
Setelah peristiwa itu, ia lantas melakukan klarifikasi terkait kritikan yang diterimanya. Secara pribadi, ia ingin menyampaikan, seharusnya kegiatan-kegiatan mahasiswa dan juga peraturan yang  selama ini berlaku tetap dibiarkan dan tidak perlu diperbaiki. Karena menurutnya, masih banyak hal-hal yang perlu diperbaiki, seperti memperbaiki sumber daya manusia atau memperbaiki manajemen organisasi dari setiap UKM. Ia juga berharap, antara rektorat dan mahasiswa bisa lebih intens mengadakan pertemuan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Tata Bahasa Kasus (Case Grammar)

Kegiatan menempel kapas pada gambar kambing atau domba

Perbedaan Bahasa antara Jawa Indonesia dan Jawa Suriname”