Analisis Diksi dan Konteks pada opini “Cara Rektorat Menjinakkan UKM” dalam Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012
MUAWWAN
1110026000039
English Letter Department
/ BSI 5 B
Final Test of General Linguistics
Pengantar
Wacana adalah komunikasi lisan atau tulisan yang dilihat
dari titik pandang kepercayaan, nilai, dan kategori yang masuk di dalamnya.
Kepercayaan di sini mewakili pandangan dunia; sebuah organisasi atau
representasi dari pengalaman (Roger Fowler:1977). Bila mengacu pada deifinisi di
atas, tentu wacana bisa diposisikan sebagai bentuk komunikasi lisan atau
tulisan yang merepresentasikan pengalaman atau dinamika yang terjadi di
lingkungan sekitar. Namun, jika dilihat dari tataran sosiologi, wacana menunjuk
terutama pada hubungan antara konteks sosial dan pemakaian bahasa.
Bahasa
merupakan aspek sentral dari penggambaran suatu subjek, dan lewat bahasa
ideologi terserap di dalamnya, maka aspek inilah yang dipelajari analisis
wacana. Di mana, analisis wacana menjadi sebuah metode yang memfokuskan pada
struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak
terdapat dalam wacana seperti percakapan, wawancara, komentar, dan
ucapan-ucapan (Crystal:1987).
Seiring
dengan perkembangan tekhnologi, cara masyarakat menyampaikan ideologi atau
gagasan pun kian beragam. Salahsatunya, melalui jejaring sosial. Meski demikian,
tak sedikit pula masyarakat yang tetap setia menggunakan media cetak. Seperti majalah,
koran, dan tabloid sebagai media alternatif untuk menyuarakan pendapat mereka.
Seperti
kita tahu, hampir di setiap media cetak menyediakan rubrik opini sebagai lahan aspirasi
bagi masyarakat untuk berpendapat. Untuk itu, dalam makalah ini, saya akan
mencoba menganalisis rubrik opini yang terdapat pada Tabloid INSTITUT edisi XXI/September
2012 sebagai korpus penelitian. Di mana, saya akan berusaha menganalisis
bagaimana konteks mempengaruhi penggunaan diksi dalam tulisan. Dengan maksud
ingin mengungkap konteks yang melatarbelakangi Dika Irawan, penulis opini
tersebut. Wacana tertulis adalah Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012.
Sedangkan konteks menggunakan transkrip hasil wawancara dengan penulis.
Teoritis
Kerangka
Analisis wacana kritis (CDA) mempertimbangkan konteks
dari wacana seperti latar, situasi, dan kondisi. Titik tolak dari analisis
wacana di sini adalah bahasa tidak dimengerti sebagai mekanisme internal dari
linguistik semata, bukan suatu objek yang diisolasi dalam ruang tertutup.
Selain itu, bahasa juga dipahami dalam konteks secara keseluruhan. (Guy Cook : 1994)
dalam bukunya yang berjudul The Discourse
of Advertising, London and New York, Routledge,
hlm 1.
Ia
juga menyebut ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks,
dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang
tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan,
dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar
teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa dan situasi
di mana teks tersebut diproduksi.Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks
dan konteks bersama-sama.
Titik
perhatian dari analisis wacana, lanjut (Guy Cook : 1994) adalah menggambarkan
teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Di sini,
tidak hanya dibutuhkan proses kognisi dalam arti umum, tetapi juga gambaran
spesifik dari budaya yang dibawa. Studi mengenai bahasa di sini, memasukkan
konteks karena bahasa selalu berada dalam konteks dan tidak ada tindakan
komunikasi tanpa partisipan, interteksi, situasi, dan sebagainya.
Selain
itu, dalam hal ini media juga memiliki peran sentral dalam menciptakan wacana
atau bahkan tak jarang wacana itu berkembang menjadi konsensus di tengah
masyarakat atau mahasiswa. Mengutip dari buku Analisis Framing, karangan
(Eriyanto : 2002) Ia menyebutkan, di antara berbagai fungsi dari media dalam
mendefinisikan realitas, fungsi pertama dalam ideologi adalah media sebagai
mekanisme integrasi sosial.
Media
di sini berfungsi menjaga nilai-nilai kelompok dan mengontrol bagaimana
nilai-nilai kelompok itu dijalankan. Untuk mengintegrasikan masyarakat dalam
tata nilai yang sama, pandangan atau nilai harus didefinisikan sehingga
keberadaannya dan diyakini kebenarannya.
Dalam
kerangka ini media dapat mendefiisikan nilai dan prilaku yang sesuai dengan
nilai kelompok dan prilaku atau nilai apa yang dipandang menyimpang. Perbuatan,
sikap, atau nilai yang menyimpang tersebut bukanlah sesuatu yang alamiah (nature), yang terjadi dengan sendirinya,
dan diterima begitu saja. Semua nilai dan pandangan tersebut bukan sesuatu yang
terbentuk begitu saja melainkan dikonstruksi.
Oleh
karena itu, teori-teori di atas akan saya jadikan sebagai landasan teoritis
dalam analisis makalah ini. Terlebih,
pada makalah ini saya akan menganalisis
sebuah Tabloid Kampus. Di mana, tabloid ini berorientasi pada tataran kampus
baik yang bersifat intar maupun ekstra. Titik tekan makalah ini adalah
mengungkap konteks di balik Tabloid INSTITUT Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Konteks
yang digunakan berdasarkan opini pada Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012
yang berupa transkrip hasil wawancara dengan Dika Irawan, penulis opini yang
berjudul “Cara Rektorat Menjinakkan UKM”. Transkrip tersebut akan diterapkan untuk
membahas konteks sosial dan dinamika yang terjadi di Kampus UIN Jakarta. Berikut,
Teori Kognisi Sosial yang dikemukakan oleh Teun A. Van Dijk. Teori ini, digunakan
untuk menghasilkan penjabaran yang jelas terkait konteks yang melatarbelakangi
penulis. Tak hanya itu, analisis juga dikemas dengan menyajikan beberapa teori
yang relevan. Yaitu, Robert N. Entman dalam Journal
of Political Communication serta Teori William A. Gamson dan Andre Modigliani,
op. cit.,hlm. 3.
Ditulis Analisis Wacana
Korpus
tertulis adalah rubrik opini pada Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012. Pada
rubrik tersebut terdapat diksi-diksi yang cukup dipengaruhi oleh konteks. Demikian
pula dengan teks yang cenderung tidak memperhatikan posisi pembaca. Akibatnya, opini
ini menuai kritik dari pihak rektorat. Terlebih, rektorat menjadi objek utama dalam
opini tersebut. Karenanya, saya ingin mengetahui pengaruh konteks terhadap
diksi yang digunakan penulis. Tentunya, dengan menggunakan Teori Sara Mills 1997
tentang posisi subjek dan objek , Teori Norman Fairclough (Critical
Linguistic), dan Teori Stuart Hall tentang konstruksi berita.
Berdasarkan
hasil analisis yang saya lakukan, ternyata bahasa yang digunakan dalam opini itu
cenderung dipengaruhi oleh konteks. Terlihat dari diksi yang digunakan, seperti
“semaonya dewek” (P.1:1) “inspeksi
mendadak (sidak)”(P.2:2) dan “disegel” (P.2:14) Penggalan diksi-diksi ini,
mengindikasikan bahwa konteks cukup memberikan pengaruh signifikan dalam pola
penulisan opini tersebut. Sehingga, diksi-diksi yang ditampilkan penulis
cenderung mendeskripsikan bagaimana situasi dan sikap keotoritasan rektorat
terhadap mahasiswa yang terlibat aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Akibatnya,
hubungan antara rektorat dan mahasiswa pun tidak sinergis. Terlihat dari
kurangnya apresiasi yang ditunjukan rektorat kepada kawan-kawan UKM, begitu
juga sebaliknya. Hal itu ditunjukan penulis dalam opininya, “Apresiasi yang diberikan rektorat kurang.
Ukuran prestasi di mata mereka pun berbeda dengan kita. Prestasi menurut mereka
itu harus islami, harus nurut perturan dan perintah mereka.”(P.8:11) Diksi ini,
menunjukan bagaimana ketidakharmonisan yang terjadi antara rektorat dan
mahasiswa. Menempatkan posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau
peristiwa itu dalam teks. Posisi-posisi tersebut akhirnya menentukan teks yang
hadir di tengah masyarakat (Sara Mills : 1997).
Jika,
opini di atas dilihat dari sudut pandang Teori Sara Mills, penulis opini ini
cenderung mengabaikan aspek posisi aktor
sosial (rektorat) yang menjadi objek utama. Sehingga, teks ini mengahadirkan
paradigma tersendiri di kalangan
pembaca. Dalam suatu teks, posisi pembaca sangatlah penting dan haruslah
diperhitungkan dalam teks. Teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan
pembaca (Sara Mills : 1992) dalam tulisannya “Knowing your place : A Marxist Feminist
Stylistic Analysis”.
Selain
itu, opini tersebut juga menunjukan bagaimana penulis mencoba mengkonstruk
pembaca serta mengajak kawan-kawan UKM untuk menjalin kekompakan. Ditunjang
dengan penggunaan diksi-diksinya yang argumentatif dan persuasif. Misalnya,
penulis menggunakan diksi “rektorat sudah
tidak bersahabat dengan kita, malah mencoba menjinakan kita.”(P.6:1) Bila dicermati, diksi ini
merupakan hasil dari penafsiran Dika Irawan, terhadap konteks atau dinamika
yang terjadi di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lewat penafsirannya
itu, ia kemudian membentuk sebuah realitas sosial.
Sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia
realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan
lingkungan atau orang di dekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri
pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur
pengetahuan yang telah ada sebelumnya,
(Peter
L. Berger dan Thomas Luckmann : 1994).
Tak
hanya itu, lewat diksi-diksinya penulis juga lebih menitikberatkan pada aspek
kontruktivisme. Akibatnya, pesan yang disampaikan bahwa rektorat tidak
bersahabat dengan kawan-kawan UKM, lambat laun akan membudaya dalam pola
pemikiran mahasiswa. Karenanya, bukan hal yang tidak mungkin jika asumsi-asumsi
negatif tentang rektorat akan selalu manghiasi kredibilitas mereka dan membentuk
sebuah realitas sosial. Pada dasarnya, realitas sosial itu tidak dibentuk
secara alamiah, tidak pula sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya,
realitas itu dibentuk dan dikontruksi (Peter L. Berger : 1993).
Realitas
yang berkembang selama ini, terkait kredibilitas rektorat. Sejatinya, hanyalah
sebuah hasil konstruksi penulis. Namun, hal itu bukan berarti meniadakan
kebenaran sebuah opini. Terlebih, opini merupakan hasil pandangan seorang
individu terhadap gejala sosial yang direpresentasikan melalui teks. Meskipun
tergolong subjektif, tetapi, diksi-diksi yang ditampilkan tetap berdasarkan
hasil empiris penulis dan realitas di lapangan.
Salahsatu
indikatornya adalah penggunaan diksi “Berkaca
dari kasus pelaksanaan Exposure UKM sangat sedikit sekali mendapat dukungan.”(P.5:6)
Diksi ini, menunjukan bagaimana penulis mencoba menampilkan aspek empirisnya.
Apalagi, penggunaan diksi “berkaca”
yang secara eksplisit mengindikasikan, rektorat tidak mendukung kegiatan
mahasiswa. Padahal, kegiatan ini bertujuan untuk mempromosikan ragam kegiatan
ekstra kampus kepada mahasiswa baru.
Sementara,
indikator lain adalah penggunaan diksi “Beberapa
kali mediasi antara UKM dan rektorat membicarakan persoalan yang ada di student
center (SC) berakhir nihil.”(P.6:4) Melalui diksi tersebut penulis mencoba
mendeskripsikan bagaimana mediasi antara UKM dan rektorat yang tidak memberikan implikasi apapun terhadap realitas
di lapangan.
Tak
hanya itu, penggunaan judul “cara
rektorat menjinakkan UKM” dan diksi “rektorat
adalah penguasa tunggal di kampus”.(P.1:4) Dipandang secara analisis bahasa
kritis (Critical Linguistic) memperlihatkan bagaimana bahasa membawa posisi dan
makna ideologi tertentu. Dengan kata lain, aspek ideologi itu diamati dengan
melihat pilihan bahasa dan struktur tata bahasa yang dipakai.
Bahasa,
baik pilihan kata maupun struktur gramatika, dipahami sebagai pilihan, mana
yang dipilih oleh seseorang untuk diungkapkan membawa makna ideologi tertentu. Ideologi
itu dalam taraf yang umum menunjukan bagaimana satu kelompok berusaha
memenangkan dukungan public, dan bagaiman kelompok lain berusaha dimarjinalkan
lewat pemakaian bahasa dan struktur gramatika tertentu (Norman Fairclough dan
Ruth Wodak : 1998) “Critical Discourse
Analysis”.
Oleh
karena itu, diksi-diksi tersebut secara jelas menunjukan bagaimana penulis
berusaha menaburkan ideologi-ideologi kepada mahasiswa, perihal sikap rektorat
yang tidak mendukung kegiatan para kawan-kawan UKM. Penulis juga berusaha
mendapat dukungan publik agar mereka turut merespon terkait permasalahan antara
rektorat dan mahasiswa UKM.
Tentu,
dalam prakteknya, antara pihak mahasiswa UKM dan pihak rektorat akan terjadi
tarik – ulur atau secara tidak langsung menimbulkan persaingan. Tapi, dalam hal
ini, penulis opini lebih berpeluang unggul. Karena, selain berusaha mendapat
dukungan lewat opininya, penulis juga berusaha memarjinalkan pihak rektorat melalui
pemakaian bahasa dan struktur gramatika tertentu.
Seperti pada kalimat, “Sepertinya mereka (rektorat) sedang merancang skenario. Dengan menjinakkan
UKM-UKM yang dianggap sulit diterbitkan. Setelah itu, tak menutup kemungkinan
UKM lain mendapat perlakuan yang sama.”(P.5:10) Sebenanrya, kalimat tersebut
sedikit bernada provokatif. Terlebih, pada penggunaan diksi “mereka (rektorat) sedang merancang skenario”(P.5:11)
yang mengandung pengertian memarjinalkan pihak rektorat agar mereka tidak
mengintervensi berbagai kegiatan kawan-kawan UKM.
Akibatnya,
dengan menggunakan diksi-diksi tersebut. penulis sedikit – banyak telah
berhasil menciptakan sebuah asumsi atau bahkan konsensus di kalangan mahasiswa,
khususnya bagi mereka yang berkecimpung di UKM. (Stuart Hall : 1978) mendefnisikan
istilah tersebut dengan (Background
Assumption). Istilah ini digunakan Hall untuk menyebut bagaimana anggota
komunitas share terhadap pengetahuan
dan bahasa yang sama, mereka seakan terikat oleh budaya dan komunitas yang sama
sebagai sesama anggota.
Basis
kepercayaan dan kultural yang sama menyediakan budaya yang sama. Dan diasumsikan
hanya ada satu perspektif dalam melihat suatu peristiwa: menyediakan suatu
pandangan yang kadang disebut sebagai budaya, atau sistem nilai. Sehingga
dengan pola seperti ini, publik hanya akan disuguhkan dengan satu perspektif. Persepektif
itu adalah hasil interpretasi seorang individu atau komunitas tertentu terhadap
sebuah peristiwa.
Diucapkan Analisis Wacana
Konteks
yang digunakan berdasarkan transkrip hasil wawancara dengan Dika Irawan penulis
opini di Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012. Mengutip penjelasan Dika
Irawan terkait konteks yang melatarbelakangi opininya adalah “Bermula dari kekesalannya terhadap tindakan
rektorat yang semakin represif terhadap mahasiswa UKM.” Kutipan di atas,
tentu bertolak belakang dengan fakta secara esensial, artinya pendekatan
pluralis menekankan agar nilai dan hal-hal di luar objek dihilangkan dalam
proses pembuatan opini / berita, (Eriyanto : 2001 Analisis Wacana).
“Secara keseluruhan
tindakan rektorat seolah-olah memusuhi mahasiswa UKM. Konteks lain juga
berdasarkan keluhan anak-anak Forum UKM yang menganggap rektorat seakan
membatasi berbagai kegiatan mahasiswa UKM.” Dilihat dari
konteksnya, hal ini menurut (Teun Van Dijk : 1994)dalam “Discourse and
Cognition Society” menjelaskan, untuk membongkar bagaimana makna tersembunyi
dari teks, kita membutuhkan suatu
analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi
bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai
bahasa atau lebih tepatnya proses kesadaran mental dari pemakai bahasa.
Tentu,
bisa dipahami bahwa secara konteks opini ini dilatarbelakangi oleh penilaian
seorang mahasiswa terhadap keotoriteran rektorat dalam menyikapi berbagai
dinamika kampus dan kegiatan mahasiswa UKM. Terlebih, saat menulis opini tersebut
Dika sedang berada dalam kondisi emosi. Sehingga, diksi-diksi apapun bisa
keluar. Termasuk penggunaan diksi “menjinakkan”
atau “menyerang” yang menurut
rektorat terlalu extreme dan frontal. Akibatnya, opini itu sedikit –
banyak tidak didasari pemikiran jernih penulis.
Menyoal
permasalahan ini, serta mengacu pada teori (Robert N. Entman : 1993) yang menyebut
hal itu mengabaikan aspek moral evaluasi (moral
evaluation), yakni penilaian atas
penyebab masalah. Di mana, aspek ini merupakan bagian dari salah satu strategi
media, dan membawa konsekuensi tertentu atas realitas yang terbentuk oleh
media. Bisa dikatakan, dalam hal ini penulis hanya sekadar menuliskan opini tanpa
memahami esensi yang mendasari masalah tersebut.
Oleh
karena itu, tak heran jika opininya itu menuai kritikan dari pihak rektorat.
Mengingat penggunaan diksi yang frontal
bisa berpotensi membangun citra buruk tentang rektoriat. Hal ini, juga senada
dengan Teori (Gamson dan Modigliani : 1996) yang menyebut cara pandang itu
sebagai kemasan (package). Menurut
mereka, farme adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir
sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan objek suatu wacana.
Alhasil,
pernyataan penulis di atas menunjukan bahwa penulis kurang cukup memiliki
sumber yang akurat. Hal itu terlihat dari penggunaan diksi yang sedikit
berlainan dengan fakta. Sehingga memunculkan polemik dan misunderstanding antara penulis dan rektorat. Akibatnya, penulis
pun ditekankan untuk melakukan verifikasi ulang terkait opini yang ia tulis. Namun,
hal tersebut bersebarangan dengan asumsi penulis yang mengatakan hanya terjadi misinterpretation terkait beberapa diksi
antara dirinya dan rektorat.
Melalui
opini tersebut, penulis juga ingin menyampaikan, rektorat tidak seharusnya
mengintervensi kegiatan-kegiatan mahasiswa UKM. Seharusnya, rektorat lebih memperbaiki
sumber daya manusia (SDM) atau memperbaiki manajemen organisasi dari setiap
UKM. Lewat opini tersebut, Dika berharap, rektorat bisa mengedepankan
pendekatan partisipatoris dalam menentukan kebijakan. Konteks ini adalah bagian
terakhir, juga sebagai saran untuk mengetahui pengaruh konteks secara
keseluruhan (Guy Cook : 1994) dalam “Advertising,
London and New York, Routledge,hlm 1”.
Kesimpulan
Penggunaan
diksi yang tepat tentu akan sangat mempengaruhi makna yang ditampilkan.
Terlebih, diksi itu digunakan untuk sebuah opini yang notabene menjadi bahan bacaan masyarakat atau mahasiswa. Bagi
penulis, pemilihan diksi, tentu tidak terlepas dari konteks yang
melatarbelakangi tulisan tersebut. Berdasarkan analisis di atas, sangat jelas
bahwa diksi dipengaruhi oleh konteks. Analisis diatas juga membuktikan
bagaimana konteks cukup mempunyai peran signifikan dalam mempengaruhi diksi.
Pada dasarnya, penggunaan diksi tidak
terlepas dari penafsiran penulis terhadap realitas. Di mana, dalam diksi-diksi
tersebut memuat ideologi-ideologi penulis, tentunya setelah ia melihat dan
menginterpretasikan sebuah konteks. Pemakaian diksi, hakikatnya akan cenderung
menyesuaikan dengan konteks yang melatarbelakanginya.
Seperti
yang dialami Dika Irawan, ia menggunakan diksi “menjinakkan” sebagai bentuk ekspresi atas kekecewaannya terhadap
rektorat yang beritndak semena-mena terhadap mahasiswa UKM. Contoh di atas,
tentu sangat jelas untuk menggambarkan bagaimana diksi menjadi representasi
dari sebuah ideologi penulis.
Melalui
frame, penulis memproses berbagai informasi yang tersedia dengan jalan
mengemasnya sedemikian rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disampaikan
kepada khalayak. Secara luas, pendefinisian masalah ini menyertakan di dalamnya
konsepsi dan skema interpretasi penulis. Pesan secara simbolik menyertakan
sikap dan nilai. Ia hidup, membentuk, dan meginterpretasikan makna di dalamnya
(Todd Gitlin : 1880) dalam The Whole
World is Watching: Mass Media in The Making and Unmaking of The New Left,
(California: University of California Press, hlm 6).
Dengan
demikian, dapat disimpulkan, bahwasanya konteks dan diksi dalam opini tabloid
INSTITUT edisi XXI/September 2012 memiliki hubungan dan peranan yang sangat
erat. keduanya juga akan saling mempengaruhi terhadap nilai dan makna yang
ditampilkan kepada khalayak atau pembaca.
Referensi
Roger
Fowler 1977 disarikan dari Sara Mills, Discourse, London and New York,
Routledge, 1977, hlm. 1-8: J. S. Badudu, “wacana”,Kompas, 20 Maret 2000.
Crystal
1987, Eriyanto 2001 Analisis Wacana..
Eriyanto,
2002 Analisis Framing
Guy
Cook, dalam bukunya yang berjudul The
Discourse of Advertising, London and New York, Routledge, 1994, hlm 1
Teun
A. Van Dijk, “Discourse As Interaction In Society”, and “Discourse and
Cognition Society” dalam Teun A Van Dijk (ed), Discourse As Social Interaction:
Discourse Studies A Multidisciplinary introduction, Vol 2, London Sage
Publication, 1997, hlm 1-37
William
A. Gamson and Andre Modigliani, op.
cit hlm 3
Sara
Mills, discourse, London and New York, Routledge, 1997
Sara
Mills, dalam tulisannya “Knowing your place: A Marxist Feminist Stylistic
Analysis)” dalam Micahel Toolan (ed), Language and Context: Essay in
Stylistics, London and New York, Routledge, 1992.
Norman
Fairclough, “Critical Discourse Analysis and The Marketization of Public
Discourse: The Universities”, dalam Critical Discourse Analysis, London and New
York, Longman, 1998, hlm. 131-132
Peter
L. Berger dan Thomas Luckmann tentang “Pandangan Konstruksionis”.
Norman
Fairclough dan Ruth Wodak, “Critical Discourse
Analysis”
Stuart
Hall, “The Rediscovery of Ideology: The Return of The Repressed in Media
Studies”, dalam Michael gurevitch, Tonny Benneth, James Curran, dan Janet
wollacott (ed), Culture, Society and The Media, London, Methuen, 1982.
Robert
N. Entman, “Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm”, Journal of
Communication, Vol, 43, No. 4, 1993.
Guy
Cook dalam Advertising, London and New
York, Routledge, 1994, hlm 1).
Todd Gitlin, The Whole World is Watching: Mass Media in
The Making and Unmaking of The New Left, (California: University of California
Press, 1880), hlm 6).
Lampiran
1.
Kutipan dari beberapa
paragraph dalam rubrik opini Tabloid INSTITUT edisi XXI/September 2012 yang
berjudul “Cara Rektorat Menjinakkan UKM”
“Sikap semaonya dewek dalam bertindak dan mengeluarkan kebijakan semakin
menunjukan bahwa rektorat adalah penguasa tunggal di kampus.” (Paragraph 1)
“Rektorat saat ini gencar mengadakan inspeksi mendadak (sidak) ke secretariat
UKM. Saya tak tahu, apakah hal yang sama terjadi disekretariat BEM (Badan
Eksekutif Mahasiswa) semua fakultas. Mungkin tujuan mereka ingin mengetahui
kondisi riil di secretariat-sekretariat UKM. Jika kedapatan melanggar
peraturan, maka sanksi tegas akan keluar tanpa pikir panjang. Seperti yang
dialami kawan-kawan KPA Arkadia, secretariat mereka disegel dengan alasan telah
melakukan pelanggaran kode etik mahasiswaUIN.” (Paragraph 2)
“Perlakuan yang mereka (rektorat)
perlihatkan selama ini kepada kawan UKM. Pertanda, mereka sudah tak bersahabat
dengan kita, malah mencoba menjinakkan kita. Berkaca dari kasus pelaksanaan Exposure
UKM yang sangat sedikit sekali mendapat dukungan. Selanjutnya, kasus yang
menimpa kawan kita di KPA Arkadia. Sepertinya mereka sedang merancang skenario.
Dengan menjinakkan UKM-UKM yang dianggap sulit ditertibkan. Setelah itu, tak
menutup kemungkinan UKM lain mendapat perlakuan yang sama.” (Paragraph 6)
2.
Transkrip hasil
wawancara dengan Dika Irawan (penulis opini Tabloid INSTITUT edisi
XXI/September 2012)
Masalah
rektorat yang terlalu mengawasi kegiatan UKM, setelah ada niatan dari pihak rektorat
yang akan mengadakan peraturan jam malam serta inspeksi mendadak di setiap
secretariat UKM. Secara keseluruhan tindakan rektorat seakan memusuhi anak-anak
UKM. “Konteks ini juga berdasarkan keluhan anak-anak forum UKM. Sikap rektorat juga
seakan membatasi berbagai kegiatan mahasiswa UKM,” katanya.
Menurutnya,
anak-anak UKM memang terkenal liar. Salahsatunya, UKM Kelompok Pecinta Alam (KPA) ARKADIA.
Akhirnya, untuk menggambarkan keliaran tersebut, Dika menggunakan diksi “menjinakkan” untuk mendeskripsikan sikap
rektorat yang seolah berusaha menjinakkan anak-anak UKM. Selain itu, kemunculan
pedoman kode etik dinilai menjadi salahsatu alasan kenapa ia menulis opini
tersebut.
“Dan
hal itu menjadi problem, ketika kebijakan tersebut tidak melibatkan mahasiswa. Akhirnya,
ia menyimpulkan semua pearturan dikuasai rektorat. Sehingga hal ini seakan-akan
menyerang anak-anak UKM,” ujarnya.
Saat
menulis opini tersebut, ia sedang berada dalam kondisi emosi. Menurutnya, kata-kata
apapun bisa keluar dalam kondisi emosi. Karena waktu itu dalam kondisi kesal. Ia
menulis opini tersebut tidak didasari dengan pemikiran jernih.
Terkait,
kritikan yang diterimanya dari pihak rektorat. Ia merasa tetap legowo. karena sejatinya kita
saling mengkritik. Ia juga mendapat pelajaran, bahwasanya ketika memilih diksi
harus sesuai dengan fakta terutama dalam hal verifikasi. Yakni kesesuaian diksi
dengan fakta. Sampai kapanpun pihak rektorat harus siap untuk menerima kritik.
Rektorat
juga menganggap opininya itu akan membangun citra buruk bagi mereka. Tapi, ia berusaha
menjelaskan secara harfiyah, terutama diksi “menyerang”. Di mana, diksi mengakibatkan misunderstanding
antara dirinya dan rektorat. Padahal, dalam diksi itu ia menafsirkannya dengan
maksud membatasi, bukan menyerang secara leksikal.
Setelah
peristiwa itu, ia lantas melakukan klarifikasi terkait kritikan yang
diterimanya. Secara pribadi, ia ingin menyampaikan, seharusnya
kegiatan-kegiatan mahasiswa dan juga peraturan yang selama ini berlaku tetap dibiarkan dan tidak
perlu diperbaiki. Karena menurutnya, masih banyak hal-hal yang perlu
diperbaiki, seperti memperbaiki sumber daya manusia atau memperbaiki manajemen
organisasi dari setiap UKM. Ia juga berharap, antara rektorat dan mahasiswa bisa
lebih intens mengadakan pertemuan.
Komentar
Posting Komentar