Imperialism language in Korean wave


FITHRIA LUTHFIYANI
1110026000020
V-B
BAHASA DAN SASTRA INGGRIS
 

PENDAHULUAN
Globalisasi menjadi salah satu topik perbincangan yang tidak ada habisnya. Derasnya arus globalisasi baik dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial saat ini menuntut suatu negara untuk melakukan berbagai upaya agar bisa setidaknya bertahan dalam hempasan globalisasi. Di Indonesia sendiri banyak sekali fenomena globalisasi yang terjadi dalam berbagai bidang seperti pendidikan, budaya, ekonomi dan politik. Salah satu fenomena globalisasi yang terjadi di Indonesia yaitu menyebarnya fenomena Korean Wave (Demam Korea) atau Hallyu dimana hal ini merupakan bentuk penyebaran budaya Korea Selatan dalam bidang entertainment seperti musik dan drama televisi yang sangat digemari oleh berbagai kalangan di Indonesia terutama para remaja.
Dengan digemarinya semua produk yang dihasilkan oleh Korean Wave seperti K-pop dan K-drama maka hal ini mendorong masyarakat untuk mempelajari budaya dan bahasa Korea. Dengan melihat peluang tersebut, pemerintah Korea Selatan menggunakan keadaan ini untuk menyebarkan budayanya kenegara lain dalam hal ini khususnya Indonesia dengan membuka lembaga-lembaga yang memberikan fasilitas terkait dengan pembelajaran budaya Korea. Seperti dibukanya tempat-tempat kursus bahasa Korea dan didirikannya Pusat Kebudayaan Korea yang menjadi wadah bagi orang-orang yang ingin mengenal negeri ginseng itu lebih jauh. Jika dilihat dari fenomena yang terjadi diatas, bermunculannya lembaga-lembaga kebudayaan Korea yang menawarkan pembelajaran bahasa Korea tersebut merupakan bentuk kolonialisasi atau penjajahan bahasa Korea di Indonesia yang tidak disadari secara langsung oleh masyarakat Indonesia. Maka dari itu, tulisan ini akan menganalisa agen-agen apa saja yang dibentuk oleh Korean Council sebagai senjata untuk menyebarkan bahasa Korea. Korpus dalam tulisan ini adalah meneliti isi website pusat kebuadayaan Korea di Jakarta yaitu


LANDASAN TEORITIS
Bentuk kolonialisasi bahasa Korea di Indonesia merupakan bahasan inti dari tulisan ini. Dimana yang termasik didalamnya adalah berdirinya Pusat Kebudayaan Korea yang menjadi agen dalam penyebaran budaya dan bahasa Korea serta sebuah lembaga bantuan untuk negara-negara berkembang bernama Korea International Cooperation Agency, yang berfokus untuk memberikan bantuan relawan dalam bidang kesehatan, ekonomi dan pendidikan.  Crystal mengatakan bahwa suatu bahasa bisa mendapatkan status global ketika bahasa itu membangun peran spesial yang disadari disetiap negara (2003). Korea Selatan mulai membuat peran spesial untuk dilihat oleh seluruh dunia melalui fenomena Korean Wave nya. Sedikit demi sedikit masyarakat dunia mulai mencari tahu segala hal tentang Korea Selatan salah satunya adalah kebudayaannya. Bahasa merupakan salah satu dari kebudayaan suatu negara. Bahasa dan Kebudayaan tentunya mempunyai hubungan yang erat satu sama lain berikut dijelaskan oleh Kramsch mengenai tiga hubungan antara bahasa dan budaya. Bahasa adalah sarana utama dimana kita melakukan kehidupan sosial kita. Bila digunakan dalam konteks komunikasi, ia terikat dengan budaya dengan cara yang multiple dan kompleks. Kata-kata yang dipilih dalam berbahasa mencerminkan sikap, keyakinan dan sudut pandang. Dalam kasus ini bahasa disebut sebagai ungkapan realitas budaya. Hubungan yang kedua adalah Bahasa mewujudkan realitas budaya. Komunitas berbahasa tidak hanya mengungkapkan pengalaman tetapi juga membentuk pengalaman melalui bahasa. Mereka memberikan makna melalui media yang mereka pilih untuk berkomunikasi satu sama lain, sebagai contoh berbicara ditelpon atau bertatap muka secara langsung, menulis surat atau mengirim email. Cara orang untuk menggunakan media lisan, tertulis atau visual itu menciptakan makna yang bisa dimengerti oleh komunitas mereka. Hubungan yang ketiga adalah Bahasa melambangkan identitas budaya. Bahasa adalah sistem tanda yang dipandang sebagai memiliki nilai budaya itu sendiri. Pembicara identitas diri yang lain melalui penggunaan bahasa, mereka memandang bahasa sebagai simbol identitas sosial mereka. Larangan penggunaannya sering dipahami oleh pembicara sebagai penolakan terhadap kelompok sosial dan budaya mereka (1998). Crystal mengatakan bahwa adanya hubungan erat antara dominasi bahasa, ekonomi, teknologi dan kekuatan budaya (2003). Dengan berkembangnya Korean Wave didunia tidak hanya memajukan kebudayaan Korea Selatan tetapi juga memajukan aspek lainnya seperti ekonomi, teknologi dan politiknya. Tidak seperti pada zaman perang dunia dimana suatu bahasa bisa mendominasi bahasa negara lain karena kekuatan orang-orangnya dan kekuatan militernya (Phillipson, 1992), pada era modern ini imperialisme bahasa bisa dilakukan melalui kekuatan ekonomi dan teknologi suatu negara. Dengan pengembangan ekonomi yang dioperasikan secara global, serta dukungan dari terobosan teknologi komunikasi yang canggih dan modern suatu negara bisa melakukan imperialisme bahasa yang tersirat didalamnya. Teknologi juga merupakan faktor lain yang bisa menghasilkan dominasi suatu bahasa dengan berkembanganya produksi sineas, periklanan dan media penyiaran lainnya (Crystal,2003).  Ada dua cara dimana suatu bahasa bisa menjadi bahasa yang global. Pertama, ketika bahasa itu sudah digunakan sebagai bahasa resmi suatu negara dan digunakan sebagai media komunikasi oleh pemerintah, pengadilan hukum, media dan sistem pendidikan. Selain itu bahasa ini juga sudah dikuasai sedini mungkin. Yang kedua, sebuah bahasa bisa menjadi prioritas di negara pengajaran bahasa asing, meskipun bahasa ini tidak memiliki status bahasa resmi. Bahasa ini akan menjadi prioritas dengan diajarkannya disekolah-sekolah sebagai bahasa asing. Sebuah bahasa bisa saja mendapatkan status semi-official atau mendapatkan posisi kedua ketika bahasa lai masih memiliki status sebagai bahasa resmi ( Crystal, 2003 ).
ANALISIS
Korpus dari analisis ini adalah isi atau konten dari website Korean Cultural Centre (KCC) dimana ini adalah website Pusat Kebudayaan Korea di Jakarta, website Korea International Cooperation Agency yaitu lembaga yang mengirimkan relawan pengajar bahasa korea ke Asia, Amerika dan Asia tengah, dan yang terakhir adalah wawancara kepada tiga orang yang telah mengikuti kursus bahasa korea ditempat yang berbeda. Seperti halnya imperialisme bahasa Inggris yang menciptakan agen-agen seperti ELT dan pengajar-pengajar bahasa inggris (Phillipson, 1992), Korea Selatan juga menciptakan agen-agen untuk menyebarkan bahasa Korea yang diantaranya adalah membangun pusat kebudayaan Korea dan mengirimkan sukarelawan guru pengajar bahasa Korea. Pusat Kebudayaan Korea itu sendiri diberi nama  Korean Cultural Center yang didalamnya tersedia berbagai macam informasi yang berkaitan dengan budaya Korea Selatan. Dimana salah satu dari kebudayaan suatu negara adalah bahasanya sendiri. Pemerintah Korea selatan mulai bergerak untuk memberikan dukungan biaya dan fasilitas untuk pengenalan budaya Korea Selatan dengan membuka berbagai kursus-kursus Bahasa Korea. Crystal menyatakan keberhasilan suatu bahasa untuk dikenal secara luas bergantung pada dukungan pemerintahnya seperti dukungan finansial dalam bidang pendidikan pengajaran bahasa tersebut (2004). Di Korean Cultural Center, terdapat kursus Bahasa Korea yang diajarkan secara langsung oleh native Korea Selatan dimana seperti hasi konferensi Makerere, 1964  (dalam Phillipson, 1992) guru yang terbaik adalah guru yang berasal dari pembicara asli maka sebagai pengajar Bahasa Korea juga melalui pemilihan yang ketat agar bisa mengajarkan dengan baik. Menurut Kim Hyun Ki, Direktur Pusat Kebudayaan Korea di Jakarta, tujuan dari dibangunnya Korean Cultural Center adalah agar dapat menjadi sebuah tempat dimana kebudayaan Korea dan Indonesia dapat bersatu serta mondorong pencarian kesamaan antara kedua kebudayaan tersebut. Adapun kegiatan yang terdapat di Korean Cultural Center adalah Pameran, Seminar, Kelas bahasa korea, Pemutaran film Korea, Kalender budaya dan Klipping media. Terdapat juga perpustakaan yang menyediakan bahan bacaan ilmiah dan fiksi. Dalam kelas bahasa Korea, siswa diberikan satu modul setiap satu level. Modul buku yang diberikan semuanya tertulis dalam hangeul (tulisan Korea), seperti yang diterapkan dalam ELT, bahwa penerapan monolingual sangat penting dalam pengajaran suatu bahasa (Phillipson, 1992). Korpus yang kedua adalah konten dari website Korea International Cooperation Agency yang difokuskan dalam bantuan pendidikan yaitu dikirimkannya beberapa relawan yang bertugas mengajar bahasa Korea di beberapa negara berkembang. Untuk menjadi relawan dalam lembaga ini diharuskan melewati beberapa tahapan yaitu permintaan survei, perekrutan relawan, orientasi pra-keberangkatan, keberangkatan, pelatihan adaptasi lokal, layanan penempatan dan luar negeri, penyelesaian layanan, dan dukungan untuk relawan kembali. Pada tahun 2010, total 1000 sukarelawan Korea yang sudah dikirim, banyak dari mereka bekerja untuk memperbaiki kondisi pendidikan di masyarakat lokal. Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga terdapat seorang guru relawan bahasa korea yang juga berada dibawah naungan KOICA. Beliau bernama Choi Ilhwan yang berasal dari Seoul, Korea Selatan yang sudah berada di Indonesia dari tahun 2008. Mr.Choi hanya seorang diri mengajar bahasa Korea di UIN Jakarta. Mr.Choi sudah melewati beberapa tahapan yang sudah disebutkan diatas dan terpilih sebagai relawan guru bahasa Korea di Indonesia. Lebih jauh Mr.Choi mengatakan bahwa ia tidak dibayar untuk menjadi relawan ini. Ia benar-benar tulus dengan niat untuk mengajar bahasa korea walaupun harus menghabiskan biaya dari tabungannya sendiri. Mr.Choi mengatakan bahwa nantinya akan ada guru lain yang menggantikan jika masa bertugasnya di Indonesia telah habis dan ia harus kembali ke Korea Selatan. Dalam kelas bahasa korea yang beliau ajarkan, terdapat 10-15 siswa dalam satu kelas. Pengajaran Bahasa Korea di UIN Jakarta berlangsung sejak 5 April 2012 dan masih berlangsung hingga sekarang. Sama seperti halnya kelas Bahasa Korea yang terdapat di Korean Culturan Center, Kelas Bahasa Korea di UIN Jakarta juga memiliki beberapa fase yang setiap fasenya dilalui selama tiga bulan. Kelas Bahasa Korea ini bekerja sama dengan Internasional Office UIN Jakarta. Metode pembelajaran bahadsa Korea juga sama dengan metode pembelajaran bahasa Inggris yaitu writing (menulis), reading (membaca), listening (mendengarkan) dan speaking (berbicara). Untuk listening tersedia dua dvd yang memuat beberapa percakapan pendek serta beberapa kosakata dalam bahasa Korea. Korpus yang ketiga adalah wawancara dengan beberapa orang yang pernah mengikuti kursus Bahasa Korea dengan menanyakan alasan mereka mengikuti kursus tersebut. Dalam wawancara ini terdapat lima partisipan. Empat partisipan diwawancarai melalui jejaring sosial facebook, twitter dan Yahoo Messanger, sedangkan satu partisipan lainnya diwawancarai secara langsung.  Partisipan yang pertama bernama Shabrina Septiandini yang diwawancara melalui jejaring sosial twitter. Ia mengikuti kursus Bahasa Korea di Korean Cultural Center. Alasan ia mengikuti kursus Bahasa Korea adalah agar ia bisa berbicara dalam banyak bahasa dan salah satunya adalah bahasa Korea. Dan motivasinya adalah ia harus bisa berbicara dengan bahasa Korea dengan baik dan lancar setelah mengikuti kursus bahasa Korea ini. Kesulitan yang ia alami selama proses pembelajaran adalah sering terjadinya missunderstanding (kesalahpahaman) dengan guru Bahasa Koreanya yang asli warga negara Korea karena belum terlalu fasih dalam berbahasa Indonesia. Partisipan yang kedua bernama Wida Citra Dewi yang diwawancara melalui jejaring sosial facebook. Ia pernah mengikuti kursus di Hansarang Club. Alasan ia mengikuti kursus agar bisa menyanyikan lirik lagu Korea yang ditulis dalam hangeul. Ia sudah belajar Bahasa Korea sejak tahun 2009 dan hasil yang ia dapat adalah ia bisa membaca dan menulis menggunakan hangeul. Partisipan yang ketiga yaitu Rana Meisara yang diwawancara secara langsung. Ia pernah mengikuti kursus Bahasa Korea oleh pengajar dari lembaga KOICA di UIN Jakarta. Alasannya mengikuti kursus bahasa Korea karena ia menyukai segala hal tentang Korea Selatan terutama kebudayaannya. Dengan belajar Bahasa Korea ia berharap bisa menanggapi secara langsung jika berbica dengan native Korea dan bisa mengerti apa yang mereka bicarakan. Ia sudah mempelajari Bahasa Korea dari tahun 2008 sebelum mengikuti kursus di UIN Jakarta. Dan hasilnya ia mendapat banyak perbendaharaan kata dalam Bahasa Korea serta lebih mengerti susunan grammar nya. Partisipan yang keempat adalah Asisah, ia juga pernah mengikuti kursus bahasa korea di UIN Jakarta. Motivasinya untuk belajar bahasa korea karena tertarik dengan cara berkomunikasi orang Korea dan ingin belajar membaca dan menulis hangeul. Ia juga merasa beruntung diajarkan secara langsung oleh native Korea karena apa yang dipelajari bisa dipraktekan secara langsung. Ia juga menambahkan bahwa terkadang mengalami kesulitan dalam materi yang disampaikan oleh guru bahasa koreanya karena tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia. Ia juga menambahkan bahwaia bisa mengetahui budaya Korea Selatan langsung dari penduduk aslinya karena belajar bahasa korea langsung dengan native. Dan sekarang ia sudah menghafal semua karakter huruf korea dan mulai lancar dalam menulis. Ia juga bisa merespon jika diajak berbicara oleh guru bahasa koreanya. Partisipan yang kelima bernama Nurulita yang diwawancara melalui voice call Yahoo Messenger. Ia pernah mengikuti kursus bahasa di Korean Community. Bedanya guru yang mengajar bukan orang korea asli melainkan orang Indonesia yang bisa berbahasa Korea. Motivasinya mengikuti kursus bahasa Korea karena ia sangat menyukai drama korea dan merasa kesulitan jka ada beberapa perbendaharaan kata dalam bahasa Korea yang ia tidak mengerti. Ia sama sekali tidak mengalami kesulitan selama proses pembelajaran karena guru bahasa koreanya bisa menyampaikan materi dengan baik karena memang asli orang Indonesia. Modul buku yang diberikan ditulis dalam bahasa Korea dan bahasa Indonesia sehingga sangat memudahkan. Hasil yang ia dapat setelah mengikuti kursus bahasa korea adalah ia dapat berbicara bahasa Korea dengan lancar dan juga bisa menulis dan membaca hangeul dengan baik dan benar. Hampir semua dari partisipan diatas memiliki alasan yang sama mengapa mereka ingin mempelajari bahasa Korea. Salah satu alasannya adalah karena sangat menyukai hiburan yang di berikan oleh dunia showbiz Korea Selatan yaitu K-pop yaitu musip pop Korea, K-drama yang berarti drama-drama Korea yang dikemas dengan sangat apik  dan K-fashion yang mulai menjadi kiblat para remaja saat ini. Menurut The Korea Creative Content Agency, pada tahun 2011 Korea meraup keuntungan mencapai Rp. 3,5 triliun dari bisnis k-pop. Angka ini meningkat 14 persen dibandingkan tahun 2010. Yang tentunya semua itu ada misi tersirat untuk memperluas pengaruh Korea Selatan keseluruh dunia. Dan juga misi tersirat untuk mengajarkan dan memeperluas bahasa Korea dengan harapan suatu saat Bahasa Korea bisa menjadi bahasa yang global dan dikenal oleh seluruh masyarakat internasional.
KESIMPULAN
Era globalisasi yang ditandai dengan arus komunikasi yang begitu dahsyat menuntut para pengambil kebijakan di bidang bahasa bekerja lebih keras untuk lebih menyempurnakan dan meningkatkan semua sektor yang berhubungan dengan masalah pembinaan bahasa. Sebagaimana yang dikemukakan Featherson (dalam Muslich, 2010), globalisasi menembus batas-batas budaya melalui jangkauan luas perjalanan udara, semakin luasnya komunikasi, dan meningkatnya turis (wisatawan) ke berbagai negara. Dari paparan tulisan diatas bisa diketahui bahwa Korea Selatan juga berusaha untuk melakukan imperialisme bahasanya ke negara lain yang dikemas melalui dunia hiburannya. Seperti hasil wawancara oleh beberapa orang diatas, rata-rata dari mereka ingin mempelajari Bahasa Korea karena berawal dari kesukaan terhadap dunia hiburan Korea seperti musik dan filmnya. Bisa disimpulkan bahwa Korea Selatan melakukan ekspansi penyebaran bahsanya tidak dengan menggunakan kekuatan militer serta politiknya tetapi melalui teknologi yang dikemas secra unik dan menarik sehingga membuat orang lain tertarik untuk mencari keunikan lain yang ada di Korea Selatan. Tidak dipungkiri bahwa suatu saat Bahasa Korea juga bisa menjadi bahasa yang global seperti Bahasa Inggris suatu hari nanti. Saat ini saja Korea Selatan sudah merambah dunia melalui teknologinya. Dengan berkembangnya beberapa bahasa dunia menjadi bahasa internasional atau bahasa global tentunya akan mengancam eksistensi Bahasa Indonesia sendiri. Karena kelak jika Bahasa Indonesia tidak mampu bersaing dengan bahasa lain maka tidak dipungkiri Bahasa Indonesia akan tergerus oleh arus globalisasi dan akan hilang dimasa yang akan datang. Dengan begitu, peluang dan tantangan terhadap bahasa Indonesia semakin besar pula. Berbagai peluang bahasa Indonesia dalam era globalisai ini antara lain adanya dukungan luas dari berbagai pihak, termasuk peran media massa. Sementara itu tantangannya dapat dikatagorikan atas dua yaitu tantangan internal dan tantangan eksternal, baik linguistis maupun nonlinguistis. Tantangan internal linguistis berupa pengaruh negatif bahasa daerah berupa kosakata, pembentukan kata, dan struktur kalimat. Tantangan eksternal linguistis berupa pengaruh bahasa asing yaiyu masuknya kosakata tanpa pembentukan istilah dan penggunaan struktur kalimat bahasa Inggris. Sementara itu tantangan internal nonlinguistis berupa sikap negatif, tak acuh, dan sinis sebagai pemakai bahasa Indonesia. Tantangan eksternal nonlinguistis berupa kurangnya penghargaan pemerintah, lembaga negara, dan lembaga profit terhadap kualitas atau kemahiran bahasa Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Crystal bahwa dengan kehadiran bahasa global akan membuat orang malas untuk mempelajari bahasa lain karena menganggap dunia dengan satu bahasa yang seragam adalah hal yang baik, akan terjadi perdamaian dan kesatuan dunia. Selain itu hal ini juga  mempercepat hilangnya bahasa minoritas dan membuat bahasa lain menjadi tidak dibutuhkan. Lebih jauh lagi Crystal mengatakan bahwa bahaya menyebarnya bahasa global adalah adanya perayaan oleh pihak-pihak yang berhasil membuat bahasanya global (2003). Tanpa disadari bahwa kehadiran bahasa Indonesia yang sampai saat ini dipakai oleh bangsa Indonesia merupakan hasil sejarah perjuangan yan cukup panjang yang juga dilakukan oleh anak bangsa yang menyadari rasa kebangsaannya. Oleh karena itu, akan naif rasanya kalau kita tidak bisa melestarikan dan mengembangkannya, tetapi justru merusaknya.










DAFTAR PUSTAKA
Crystal, David. (2003). English as a Global Language.Cambridge: Cambridge University Press.
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press.
Muslich, Masnur. (2010). Bahasa Indonesia Pada Era Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Phillipson, Robert. (1992). Linguistic Imperialism. Oxford: Oxford University Press.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Tata Bahasa Kasus (Case Grammar)

Kegiatan menempel kapas pada gambar kambing atau domba

Perbedaan Bahasa antara Jawa Indonesia dan Jawa Suriname”