Language Discrimiation : Penggunaan bahasa Alay


Yuliana Kuslambang Ningrum (1110026000014)
English Letters Department/ 5B
UAS General Linguistic II
UIN Syarif Hidayatullah
2012

Pendahuluan
Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri (Kentjono: 1982, Kridalaksana: 1983). Fungsi bahasa tersebut adalah sebagai alat komunikasi, alat ekspresi dan alat berpikir. Ketika seseorang menggunakan bahasa, ada sesuatu yang ingin disampaikan berupa informasi. Ekspresi seseorang ketika menyatakan senang atau susah paling lengkap dinyatakan dengan bahasa, tidak dapat hanya dengan tersenyum atau menangis karena ekspresi yang menggunakan bahasa tubuh tidaklah lengkap. Bahasa menunjukan perbedaan antara satu penutur dengan penutur lainnya, tetapi masing-masing tetap mengikat kelompok penuturnya dalam satu kesatuan sehingga bahasa memungkinkan tiap individu untuk menyesuaikan dirinya dengan adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat bahasa tersebut ( Gani, Ramlan A. & Fitriyah, Mahmudah: 2010 ). Komunikasi itu tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain, ( Gorys Keraf, 1974:4 ). Jadi, jika tulisan pun tak dapat dibaca, apalagi dimengerti, bagaimana komunikasi dapat terjadi.

Wacana merupakan istilah umum dari penggunaan bahasa. Dalam sebuah Modul Discourse Analysis, tertera jelas bahwa wacana berkaitan dengan penggunaan bahasa yang berbentuk lisan dan tulisan. Yang ingin saya tekankan dalam artikel ini bagaimana bahasa digunakan dalam bentuk tulisan. Bahasa yang dimaksud disini adalah bagaimana bahasa Indonesia digunakan dalam bahasa alay.  Selain itu, dalam berbahasa terdapat hak asasi berbahasa yang dimiliki setiap individu maupun kelompok. Namun, pada kenyataannya banyak masyarakat yang mendiskriminasi perbedaan penggunaan bahasa yang dipakai oleh kelompok tertentu. Diskriminasi ini disebut linguicism atau diskriminasi bahasa. Oleh karena itu, esai ini akan membahas diskriminasi bahasa yang terjadi pada bahasa alay yang digunakan oleh penulis artikel Messing with Letters dari website The Jakarta Post tanggal 2 November 2009.

Landasan Teori
Analisis Wacana Kritis ( Critical Discourse Analysis ) dan Pragmatik , wacana merupakan wujud dari tindakan sosial yang diproduksi dengan tujuan yang ingin dicapai oleh pihak yang memproduksinya. Sesuai dengan masalah yang akan dikaji, maka penelitian ini berpedoman pada definisi wacana yang tidak bebas nilai dan tidak netral (Van Dijk: 1988). Paradigma kritis  menggambarkan dunia sebagai suatu sistem yang tidak seimbang melainkan sebagai suatu sistem yang mengandung dominasi, eksploitasi, pengorbanan, penindasan dan kekuasaan. Kaum kritis berusaha untuk memperlihatkan kesalahan yang muncul pada keadaan masyarakat. Mereka cenderung tertarik dengan kelompok yang didominasi dibandingkan dengan siapa yang melakukan dominasi tersebut (Johnstone, 2002:26).
( Van Dijk :1988 ) dalam karyanya News as Discourse yang menjelaskan bahwa analisis wacana merupakan proses analisis terhadap bahasa dan penggunaan bahasa dengan tujuan memperoleh deskripsi yang lebik eksplisit dan sistematis mengenai apa yang disampaikan. Analisis Wacana Kritis akan mendekonstruksi dan menantang struktur sosial di artikel tertulis dan untuk melacak ideologi, asumsi, stereotip penggunaan wacana yang menghasilkan "pandangan yang berbeda dari dunia, pengalaman dan keyakinan" ( Partridge: 2006 ). Namun, berdasarkan definisi linguicism atau diskriminasi bahasa, diskriminasi juga terdapat dalam teks tertulis. Biasanya diskriminasi bahasa tersebut tidak langsung terlihat atau disebut terselubung sehingga diperlukan teori pragmatik untuk mengungkapkan diskriminasi tersebut.

Analisi Data
Korpus tertulis yang akan dianalisis adalah artikel Messing with Letters yang terdapat dalam website The Jakarta Post tanggal 2 November 2009.

Tujuan teks ini adalah memberikan informasi mengenai peristiwa yang sedang hangat diperbincangkan pada kalangan pengguna sosial media sekitar tahun 2008-2009.
Pada paragraf pertama terdapat kalimat bertuliskan dengan kode-kode “JuD9e mE aLL y0u wAnT, keEp tHe VeRdiCt t0 y0uRsELf” tulisan ini biasa disebut dengan tulisan alay, dimana tulisan tersebut selalu menjadi bulan-bulanan diskriminasi masyarakat yang menganggap tulisan tersebut kampungan karena tidak sesuai dengan kaidah penulisan Bahasa Indonesia yang benar. Sesuai dengan fungsi bahasa yaitu sebagai alat komunikasi, dan kontrol sosial, maka maksud utamanya adalah memperoleh kemahiran berbahasa, baik dalam penggunaan bahasa secara lisan maupun secara tertulis, agar mereka yang mendengar atau diajak bicara, dengan mudah dapat memahami apa yang dimaksudkan. Oleh karena itu bahasa yang digunakan haruslah bahasa yang umum dipakai, yang tidak menyalahi norma-norma yang umum berlaku (Keraf, Gorys: 1993, 7 ). Tulisan yang dipakai berupa campuran huruf dan angka dan juga huruf kapital yang diletakan disembarang posisi membuat tulisan ini tidak sesuai dengan kaidah penulisan bahasa yang benar. Sehingga banyak orang yang mendiskriminasi jenis tulisan seperti ini , padahal sesuai dengan hak asasi manusia dalam berbahasa menyatakan bahwa kaum minoritas dilindungi hak berbahasanya (Skutnabb-Kangas, Tove, and Phillipson, Robert: 1980 ). Selain itu bentuk gaya penulisan yang ditulis oleh Ophie memiliki bentuk paralanguage dimana bahasa tersebut memiliki makna tersembunyi dalam komunikasi linguistik dalam hal ini berupa jenis font yang dipakai dalam penulisan bahasa alay ( Cook, Guy: 2003, 50 )

Pada paragraf selanjutnya terdapat kuesioner mengenai pendapat pembaca tentang tulisan berupa kode huruf dan angka, bagaimana sikap pembaca jika melihat tulisan tersebut. Setelah penulis memberikan penjelasan mengenai bahasa “ alay ”. Pada kalimat “ What’s more, they mix up the upper and lower case letters ” , penulis mengarah pada diskriminasi terhadap bahasa alay karena menggunakan huruf kapital yang tidak tepat pada posisinya.  Hal ini juga terjadi pada kalimat berikutnya yaitu “ an example of this last case is young Ophi A. Bubu, who became a popular target of people irritated by her preference for playing with her letters ” dua kata yang dicetak tebal tersebut menyebutkan diskriminasi yang dihadapi oleh Ophi A Bubu sebagai subjek target karena tulisan yang ia tulis dapat merusak mata dan dirinya menjadi target cemoohan orang lain. Lalu pada kata her letters penulis menyebutkan tulisan tersebut hanya ditulis oleh komunitas yang menggunakan gaya penulisan alay, hal ini mengidentifikasikan stereotipe yang dilakukan penulis.

Pada paragraf selanjutnya nama Ophi A. Bubu ( salah satu pengguna facebook yang dilabel alay ) menjadi bahan obrolan dalam berbagai blog dan forum dan terdapat diskriminasi pada kalimat “ not because her notes are so great, but because they’re in code ”, penulisan bahasa yang ditulis olehnya berupa kode-kode yang tidak dapat dipahami oleh sebagian orang dan karena perbedaan inilah Ophi A Bubu mendapat diskriminasi bahasa (linguicism). Tulisan ini merupakan bentuk restricted code dimana tidak semua orang dapat mengerti bahasa alay tersebut ( Cook, Guy: 2003, 14 ).

Setelah melihat contoh tulisan catatan facebook Ophi A Bubu, penulis menjelaskan kembali mengenai penulisan Ophi “ Ophi has become famous for making writing even harder to read than the scrawl of any docto r”, penulis berpendapat bahwa tulisan Ophi A Bubu lebih sulit dibaca daripada tulisan dokter yang biasanya dianggap sangat sulit dipahami oleh orang awam sehingga membuat dirinya sangat terkenal di berbagai sosial media dan menjadi bahan tertawaan forum diskusi berbagai sosial media. Bahasa alay merupakan bentuk visual communication karena bahasa ini biasanya dapat dilihat pada jejaring sosial atau media online, dan jarang dipakai dalam bentuk percakapan formal sehari-hari ( Cook, Guy: 2003, 51 )

Pada paragraf selanjutnya penulis akan menelaah apa yang terjadi pada fenomena tulisan alay yang dbuat oleh Ophi A Bubu dan orang lain yang juga menulis dengan cara yang sama. Penulis mewawancarai narasumber bernama Arya Verdi Ramadhani, seorang psikolog. Berdasarkan kalimat “ The thing is, Ophie doesn’t only mix letters; she also missspells many words “, menurutnya hal yang membuat Ophi dirasa menggangu pengguna sosial media lain adalah karena Ophi tidak hanya mengacak-acak huruf dan angka tetapi juga merusak ejaan dalam berbagai kata. Namun, narasumber ini tidak mendiskriminasi Ophi secara langsung , dirinya hanya menyebutkan perbedaan kata-kata yang digunakan yang menyebabkan Ophi di diskriminasi. Lebih lanjut penggunaan bahasa alay ini dimuat dalam sosial meda facebook sebagai wujud ekspresi. Sehingga fenomena ini cepat menyebar luas di berbagai forum diskusi online. Bahasa ini membutuhkan information design berupa typhography yang berhubungan dengan pembelajaran mengenai organisasi visual dari bahasa tertulis yang dibuat oleh tangan atau secara elektronik. Bahasa alay biasanya terbentuk dalam benda elektronik karena lebih mudah untuk mengatur tingkat kesulitan menulisnya ( Cook, Guys: 2003, 8 )

Pada paragraf selanjutnya, Arya menjelaskan lebih lanjut mengenai definisi alay itu sendiri, dengan permohonan maaf Arya mencoba untuk mendeskripsikan tanpa mendiskriminasi kata alay tersebut. “ Forgive me to saying this, but it refers to someone from kampung ( village ) who’s experiencing culture shock when he or she comes to a big city like Jakarta ”, faktanya seseorang yang dikatakan alay tersebut bukan hanya seseorang yang merasakan culture shock, tetapi juga beberapa orang yang tidak tinggal di ibukota juga memiliki penggunaan penulisan bahasa yang sama. Sehingga stereotipe mengenai alay ini juga mendiskriminasi bahasa yang dipakai oleh anak muda yang tetap tinggal di berbagai daerah yang bukan merupakan kota besar seperti Jakarta. Disetiap daerah menciptakan berbagai budaya yang berbeda dan dapat menyebabkan diskriminasi atau labeling, yang mana kita sebut dengan stereotipe (Kramsch, Claire: 1998). Kata “ forgive me for saying this “ juga memiliki unsur pragmatik dimana kata ini mengartikan bahwa sebenarnya ia tidak ingin mengatakannya jika tidak penting karena kalimat tersebut berisi kalimat diskriminasi (Cook, Guy: 2003, 51 ).

Pada dua paragraf selanjutnya Arya menjelaskan bahwa bahasa yang terdapat dalam bahasa alay tidak dapat menganalisis tingkah laku dan sifat seseorang, karena bahasa tersebut ditulis dengan alat elektronik seperti telepon genggam atau komputer. Sehingga diskriminasi hanya terdapat pada penggunaan bahasa tulisan bukan terhadap personal seseorang yang dianggap alay tersebut. ( Cook, Guy: 2003, 50 ).

“One person who chooses this style of typing is 25-year old Fitriyu (not her real name) ,who says she has been messing with letters since she was in high school”. Penulis juga mewawancarai seseorang bernama Fitriyu yang juga menggunakan bahasa alay semenjak dirinya masih duduk di sekolah menengah atas. Pada tanda kurung terdapat cetak tebal secara pragmatik merupakan identifikasi bahwa Fitriyu merupakan salah satu alay berdasarkan keterangan bahwa nama tersebut bukanlah nama asli dirinya (Cook, Guys:2003, 51). Dia mengaku menggunakan bahasa alay semenjak ia melihat temannya menggunakan tulisan alay , ia merasa bahwa tulisan alay merupakan suatu hal yang kreatif. Pertama ia menggunakan tulisan alay tersebut pada SMS lalu dilanjutkan ke sosial media seperti Friendster dan Facebook. Fitriyu tidak menghiraukan diskriminasi bahasa yang akan didapatkannya apabila ia menggunakan penulisan alay tersebut karena ia merasa ingin tulisannya lebih menarik dan ia ingin menunjukan bahwa penulisan bahasa alay tersebut merupakan jati dirinya. Selanjutnya penulis merasa tercengang saat Fitriyu menyatakan bahwa bahasa alay yang teracak tersebut dapat menajamkan pikiran dan kreatifitas pembaca dan penulis tulisan alay tersebut.

Pada paragraf selanjutnya Fitriyu menyatakan bahwa seseorang yang menggunakan bahasa alay bukanlah orang bodoh, justru mereka sangat jenius karena dapat mengetik dengan cepat dan konsisten dengan penulisan seperti itu. Penggunaan bahasa alay juga tidak mmberikan efek apapun terhadap pekerjaannya sebagai penulis, karena dirinya tahu kapan ia harus menulis dengan bahasa alay dan kapan ia tidak diperbolehkan menulis dengan bahasa alay. Sehingga diskriminasi bahasa tidak akan memberi efek apapun dalam profesionalitas dirinya.

Penulis juga mewawancarai Dr. Sugiono dari Kementrian Pendidikan dan Pusat Bahasa, menyatakan bahwa tidak perlu ada disriminasi bahasa alay karena hal tersebut hanyalah soal kreatifitas seseorang dimana hal tersebut akan menghilang sendirinya seiring dengan waktu orang tersebut akan beranjak dewasa. Dirinya juga mengakui, bahwa beberapa dari orang-orang biasa juga menggunakan bahasa alay tersebut saat muda. Dirinya juga menghimbau agar kita semua tidak mendskriminasi dirinya, mencemooh dan melabel Ophi dengan sebutan alay, karena hal tersebut merupakan tindakan penganiayaan. “ Linguicism is a major factor in determining wheter speakers of particular languagea are allowed to enjoy their linguistic human rights “ (Skutnabb-Kangas, Tove, and Phillipson, Robert: 1980 ), pada pernyataan diatas tersirat kebebasan dalam berbahasa yang dimiliki oleh beberapa kaum minoritas termasuk “alay”.



Menurut Arya, diskriminasi bahasa yang dilakukan di media online merupakan bentuk virtual bullying yang sangat berbahaya secara psikologis, karena dalam media online orang-orang cenderung bersikap lebih ekspresif daripada dirinya di dunia nyata, mereka akan mencemooh apapun yang dianggap tidak sesuai dan menertawakan sesuatu yang lucu untuk bahan bersenang-senang dan dilihat oleh banyak sekali pengguna sosial media.

Ophi A Bubu mendapat serangan yang sangat hebat pada akun jejaring sosial facebooknya karena ia menulis catatan yang dapat dilihat semua orang. Hal ini kemungkinan akan menyebabkan dirinya stres berat karena beban psikologis yang di deritanya, bahkan hal yang paling buruk adalah jika Ophi mungkin akan melakukan sesuatu yang berbahaya seperti bunuh diri. “So, as Arya suggest, just keep “your annoyance” against alay people, or more precisely, those who mess with letters, to yourself or your circle of closed friends”. Arya menghimbau pembaca agar tidak mendiskriminasi para alay dan pada kalimat bercetak tebal secara pragmatik Arya menirukan gaya diskriminasi orang-orang yang menganggap bahwa alay merupakan pengganggu, tetapi pada kalimat ini diskriminasi justru berbalik menjadi himbauan agar masyarakat tidak mendiskriminasi bahasa alay atau personal alay itu sendiri.

 Kesimpulan
Penulis merupakan salah satu penyumbang opini yang cukup berpengaruh terhadap tulisan  yang ada dalam suatu artikel. Artikel yang bersifat persuasif dapat mengajak pembacanya untuk memiliki opini yang sama terhadap penulis. Namun, dalam sebuah artikel pasti ada suatu kata yang memiliki makna terselubung di dalamnya termasuk dalam artikel ini. Asumsi inilah yang akan dinilai pembaca apakah artikel ini memiliki diskriminasi bahasa yang tersirat atau tidak.

Analisis membuktikan bahwa kata-kata yang dimuat dalam artikel ini memiliki nilai-nilai bahasa yang bersifat pragmatis yaitu memiliki makna dalam setiap kata yang mengarahkan pada suatu objek yang diperbincangkan ( Cook, Guy: 2003, 50 ). Kemudian timbulah tulisan yang bersifat diskriminatif terhadap subjek yang dibicarakan dalam artikel tersebut. sebagian besar diskriminasi yang tertulis merupakan diskriminasi yang diungkapkan oleh penulis itu sendiri.

Dalam analisis artikel ini penulis memiliki karakter yang kuat sebagai seseorang yang netral dan tidak ingin di dominasi oleh subjek yang diperbincangkan dalam artikel ini. Namun, hal itu tidak terlibat sebagai dalam versi verbalnya. emosi yang menjadi kunci penentu-bagaimana tujuan komunikasi dilakukan dalam berbicara dan dalam ucapan dan bebas menggunakan fitur prosodi ( Jahandarie, 1999 ).

Namun, pada seseorang yang diwawancarai oleh si penulis. Disana tidak terdapat diskriminasi bahasa yang berarti, justru interviewee memberikan penjelasan mengenai diskriminasi bahasa yang menyudutkan Ophi A Bubu dapat menyebabkan bentrokan psikologis Ophi. Kemudian bahasa yang digunakan penulis pun tidak menyudutkan kamu minoritas alay.

Hukum hak asasi berbahasa yang dimiliki oleh Ophi A Bubu berupa hak untuk menggunakan bahasa yang diidentifikasikan bahasa yang berupa bentuk kode-kode yaitu percampuran huruf dan angka tersebut ternyata tidak dipedulikan oleh penulis dengan menyebutkan kata “ irritated ” yang berarti merusak, dalam hal ini merusak pandangan masyarakat terhadap tulisan berbentuk campuran huruf dan angka yang secara pragmatis memiliki makna diskriminasi ( Cook, Guy: 2003, 50 ).

Dalam kalimat yang menyebutkan bahwa Ophi tidak hanya mengacak huruf dan angka tetapi juga salah mengeja kata-kata yang dipakainya. Hal ini justru menurut saya menyalahi aturan berbahasa Indonesia dimana Ophi melakukan diskriminasi bahasa terhadap bahasnya sendiri yaitu Bahasa Indonesia ( Gorys, Keraf: 1993, 48 ).

Kesimpulan dari analisis artikel ini adalah wacana analisis kritis dapat membuka makna terselubung dalam suatu kalimat. Dibantu dengan sisi pragmatis yang dipakai dalam membuka makna tersebut sehingga sisi diskriminasi dalam suatu artikel yang terselubung dapat dianalisis dengan benar. Selain itu terdapat analisis paralanguage karena dalam artikel ini jelas menggunakan bahasa non-verbal dimana Ophi A Bubu menulis dalam catatan akun Facebooknya dan diskriminasi yang ia dapat berupa cemoohan yang juga berasal dari komentar teman-teman facebooknya ( Cook, Guy: 2003, 50 ).  Oleh karena itu saya juga memberikan analisis visual communication berupa penggunaan media visual dalam mendiskriminasi Ophi A Bubu ( Cook, Guy: 2003, 51 ). Selain itu ilmu typography juga berpengaruh dalam penulisan artikel ini karena proses pembuatan artikel ini dimuat dalam bentuk visual dan pengetikan dimuat dalam bentuk media online elektronik. ( Cook, Guy: 2003, 8 ).
References
Gani, Ramlan A. & Fitriyah Z. A, Mahmudah. 2010. Disiplin Berbahasa Indonesia. Jakarta: FITK Press.
Cook, Guy. 2003. Applied Linguistic. Oxford University Press.
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford University Press.
Gorys, Keraf. 1993. Komposisi . Flores: Nusa Indah.
Tove, Skutnabb Kangas & Phillipson, Robert. 1996. Language and Human Right. Walter de Gruyter.
http://www.thejakartapost.com/news/2009/10/28/messing-with-letters.html

Messing with letters
Dian Kuswandini, The Jakarta Post, Jakarta | Life | Wed, October 28 2009, 9:40 AM
A- A A+
Tribute: Although several fan pages for Ophi A. Bubu still exist, others were reportedly banned by Facebook because of the vulgar messages posted attacking Ophi. facebook.com
“JuD9e mE aLL y0u wAnT, jUSt keEp tHe VeRdiCt t0 y0uRsELf.”
When you see text written in this kind of style, you think: (a) That’s cool. (b) Whoever wrote that should be shot, or have their fingers broken. (c) So what? If that’s the writer’s style ...
If your answer is (b), then you could be part of a growing club whose members use the word “alay” to refer to — or mock — anyone who types using a mix of upper and lower case letters and numbers.
The word alay has no exact meaning or obvious derivation; it seems to have come out of nowhere.
However, it refers to something “tacky” and “cheesy” (norak or kampungan, in Indonesian). Alay is used to describe, critically, how certain people dress (like fashion victims), what kind of music they listen to (usually fans of Malay-sounding bands like ST 12, Wali or Kangen Band) and how they write things (they try to make words sound “cuter”, like replacing “home” with “humzz”).
What’s more, they mix up the upper and lower case letters.
An example of this last case is young Ophi A. Bubu, who became a popular target of people irritated by her preference for playing with her letters.
Ophi who?
Ophi A. Bubu. The high school student from Banyuwangi of East Java, who says she was born in 1991, shot to fame in the virtual world for her postings on her Facebook page.
Her name is getting mentioned in blogs and forums everywhere — all of them discussing her writing. Not because her notes are so great, but because they’re in “code”. For example:
Lost in translation: Although the “alay” text generator enables visitors to the page to convert conventional text into mixed-letters writing, in a parody of language translation websites, it was designed to make fun of alay followers. alaygenerator.co.cc
cXnK qMoh tO cKiDnAAAAaaaAaAaaaa……(Translation: Sayang kamu tau sakitnya / Honey, do you know how much that hurts?)
m_tHa apOn YoH……………
(Minta ampun ya / Please forgive me)
qoH tLuZ”aN uCHA bWaD tTeP qEqEUh cXnK qMo……….
 
(Aku terus terusan berusaha buat tetep kekeuh sayang kamu / I keep on trying to love you)
bUD….. (But)
cIa” adJA………………… (Sia sia aja / It’s useless)
So, quite simply, Ophi has become famous for making writing even harder to read than the scrawl of any doctor.
Nevertheless, her approach to writing attracted a lot of attention, with some people reproducing her writing in forums and blogs, and others wanting to be her friends in Facebook.
All this was too much love in the eyes of those who despised her writing style and made fun of her. Her detractors took to writing nasty messages on Ophi’s page, mocking her and labeling her “the Queen of Alay”.
This kind of bullying was too much for Ophi, who had nearly 4,000 Facebook friends in the middle of the month. She deactivated her Facebook account.
Although some of her supporters defended her by setting up fan clubs in Facebook and Twitter, Ophi has never been heard from since.
The Ophi phenomenon raises questions, about writing and our response to it: Is messing with agreed writing conventions socially acceptable, or is it something utterly annoying that should be stopped? 
While some of us — let’s admit it — would agree with the latter, psychologist Arya Verdi Ramadhani takes us below the surface.
“I can understand why people are so annoyed by her,” says Arya, who has followed the Ophi phenomenon during the past few months. “The thing is, Ophi doesn’t only mix letters; she also misspells many words.”
Talk of the town: Blogs and forums discuss Ophi’s style of writing, with her mixture of symbols, upper case and lower case letters, and numbers. natasyadenaya.tumblr.com
Arya believes the writing of Ophi and her ilk emerged following trends in SMS language and instant messaging (IM), where, for example, the letter “E” is replaced with “3” and “g” with “9”. Homophones also came to be used, where “gr8” means “great”, for example.
“It then continued with the trend of Friendster, a social site that truly supports people in expressing themselves,” Arya says.
The combination of these trends, he adds, brought the alay phenomenon to the scene, making it a wider issue for discussion.
“The alay phenomenon came on the scene about one or two years ago,” Arya says.
“Forgive me for saying this, but it refers to someone from a kampung [village] who’s experiencing culture shock when he or she comes to a big city like Jakarta.
“That person dresses up in what he or she thinks is ‘trendy’, while in the eyes of others [urbanites], that attire is truly in bad taste.”
On a wider scale, Arya adds, the term alay encompasses people like Ophi who think that messing with letters is a trend to follow.
A similar trend is taking place in Japan, where the term gyaru-moji is used to refer to a style of obfuscated Japanese writing popular among Japanese youth, which started to gain media attention around 2002. It is also called heta-moji — heta means poor (in handwriting). As with SMS language, a message typed in gyaru-moji usually requires more characters and effort than the same message typed in conventional Japanese.
Because of the extra effort and the perception of confidentiality, sending gyaru-moji messages to a friend is seen as a sign of informality or friendship.
In Indonesia, however, this “messing with letters” style of writing is attracting more criticism.
“Perhaps we see it as something wrong or cheesy,” says Arya. But those who adopt the writing style, he adds, “they think that mixing letters is something cool. They think that they can appear cute and unique by doing that.”
And so when it comes to teenagers such as Ophi, this style of writing signifies a search for identity.
“It’s normal that in their adolescent phase, these young people want to express themselves in various ways,” Arya explains.
“For example, from the way they speak or dress, or the way they follow the latest trends like BlackBerrys or Facebook.”
Or choosing a certain type of writing style.
But what does it say about a person?
This trend, he points out, is something very peculiar to the computer age: Even graphology — the study and analysis of handwriting in relation to human psychology — can’t really explain this phenomenon.
“Usually, we apply graphology to Latin cursive [handwriting],” Arya says. “Graphology analyzes the thickness of the letters, as well as their positions and slant.”
Theoretically, he says, someone who loves to write in large letters can be seen as someone who’s confident and extrovert. Those who write in small letters can be seen as introverted and shy. 
The alay phenomenon, Arya adds, cannot be addressed in the same way.
“Besides, it’s typing, not handwriting.”
One person who chooses this style of typing is 25-year-old Fitriyu (not her real name), who says she has been messing with letters since she was in high school.
“At first, I saw my friends doing it, and I just followed them because I thought it was creative!” says the writer for a local teen magazine.
“Then SMS came along, as well as Facebook, so I got used to that [writing style] even more.”
Fitriyu plays down any notion that the writing style is annoying, saying, “I just want to make my [typed] writing look less boring. It’s kind of part of my identity, too.”
Interestingly, Fitriyu says that writing in messed-up letters can sharpen the writer’s — and reader’s — brain and creativity.
“How can you say that people who write in messed letters are stupid?” she says.
“They’re genius! Just imagine being able to type quickly that way so consistently. Isn’t that like a brain exercise?” she laughs, adding that her preference doesn’t affect her professional work as a writer.
“I know when I should use that writing style and when I should not.”
On that point, Dr. Sugiyono of the Education Ministry’s Language Center, agrees, saying you can’t judge someone without knowing the context.
“If it is for a creative reason, then go ahead,” says Sugiyono, head of the center’s Language and Literature Development division. “But if it’s for education, for example — then you know the rule: It’s not allowed.”
Neither is he bothered by any long-term effects on youth.
“I do believe that many of our high-ranking officials here in this country used to be that way too [when they were young],” Sugiyono laughs.
“It’s something that will disappear as they grow up; so don’t worry.”
Arya agrees with Sugiyono.
“Just admit it: Many of us used to be like that back in our younger days, right?” he says. 
“So, please, don’t bully people like Ophi. When you’re rude to her, mock her or label her with ‘alay’, that’s bullying.”
Virtual bullying can be really psychologically harmful, Arya says, because, in the virtual world, people tend to be more expressive than they would be in person; they love to laugh at others and love to make fun of anything. And the audience is much wider.
“When it happens in the virtual word, everyone can see it because it’s a shared public space,” he says.
“In the case of Ophi, she’s been massively attacked; she just couldn’t defend herself.
“Just imagine if you were her, if you were the target of gossip among of your friends,” he adds.
“Ophi might be really stressed and might do something dangerous, like suicide. Would you be responsible for that?”
So, as Arya suggests, just keep “your annoyance” against alay people, or more precisely, those who mess with letters, to yourself or your circle of closed friends. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Tata Bahasa Kasus (Case Grammar)

Kegiatan menempel kapas pada gambar kambing atau domba

Perbedaan Bahasa antara Jawa Indonesia dan Jawa Suriname”