Revitalisasi bahasa : bahasa dalam pengajaran bahasa daerah
YANI
APRILLIA PRIATNA
1110026000022
BSI-5B
UAS
LINGUISTIC II
I.
PENDAHULUAN
Revitalisasi
bahasa dimaknai sebagai upaya menciptakan bentuk dan fungsi baru tertentu
terhadap suatu bahasa yang terancam punah. Hal ini bertujuan agar penggunaan
bahasa tersebut meningkat, bahkan pengguna bahasa pun bertambah. Revitalisasi
bahasa meliputi, tidak hanya upaya memperluas sistem linguistik dari suatu
bahasa minoritas, tapi juga menciptakan ranah baru dalam penggunaannya oleh
tipe penutur yang baru pula karena, menurut banyak ahli, hilangnya ratusan
bahkan ribuan bahasa merupakan suatu bencana intelektual (King, 2001:5–9).
Hampir 20 tahun terakhir, revitalisasi bahasa menjadi sebuah fokus studi yang
penting di kalangan pakar linguistik. Bidang ini menjadi sangat penting karena,
memang, bahasa merupakan sisi yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Studi ini berkembang dengan pesat dan menyebar luas dalam bingkai dokumentasi
karena tujuannya yaitu mengembangkan, menciptakan ranah dan fungsi baru, bahkan
menyelamatkan bahasa.
Untuk
mencapai tujuan dimaksud, maka dilakukannya dokumentasi, karena hasil
dokumentasi untuk tujuan revitalisasi harus memiliki daya tahan jangka panjang.
Dengan demikian, generasi berikutnya masih dapat menikmati hasilnya, bahkan
hingga generasi yang mungkin tidak bisa lagi berbicara dalam bahasa tersebut
(lihat Himmalmann, 2006a). Di era globalisasi seperti sekarang ini bisa di
lihat dari fenomena dimasyarakat Indonesia bahwa penggunaan bahasa daerah
sebagai bahasa ibu semakin berkurang dan tergantikan oleh Bahasa Indonesia. Mereka
lebih memilih Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi karena Bahasa resmi Negara
Indonesia adalah Bahasa Indonesia yang telah diatur dalam UUD 45 bahwa bahasa
persatuan adalah Bahasa Indonesia, karena Indonesia terdiri dari beragamnya
suku dan bahasa daerah yang berbeda. Makalah ini membahasa tentang revitalisasi
bahasa, penyebab terjadinya revitalisasi bahasa, revitalisasi bahasa di
Indonesia dan peran pendidikan dalam revitalisasi bahasa.
II. DEFINISI
Pembicaraan
tentang pemertahanan dan revitalisasi bahasa tidak lepas dari konteks
konsep/pembicaraan kekhawatiran perubahan bahasa(language change), peralihan bahasa (language shift), dan kematian bahasa (language death). Kematian bahasa terjadi kalau bahasa tersebut
tidak ada lagi penuturnya. Ini bisa karena penuturnya sudah mati semua, mungkin
karena bencana alam (seperti bahasa Tambora di Sumbawa), atau secara alamiah
penutur terakhir mati. Di Australia sudah banyak bahasa asli abirigin yang
mati, atau akan segera mati karena penuturnya sekarang bisa dihitung dengan
jari dan sudah tua- tua. Dalam kebanyakan hal, istilah kematian bahasa seiring
dipergunakan dalam konteks hilangnya bahasa (language loss) atau beralihnya penutur ke bahasa lain (language shift). Kematian bahasa adalah
titik akhir suatu proses, yang biasanya didahului oleh adanya kontak bahasa (language contact) yang mengkondisikan
adanya perubahan atau peralihan bahasa. Proses ini umumnya bersifat pelan dan
bertahap dalam jangka waktu yang relative lama (gradual) pada situasi diglosia kea rah bahasa yang lebih
berprestise(Dorian 1982; Fasold 1992:213).
Revitalisasi
bahasa bisa didefinisikan sebagai usaha untuk meningkatkan bentuk atau fungsi
penggunaan bahasa untuk bahasa yang terancam oleh kehilangan bahasa (language loss) atau kematian bahasa (language death) (King 2001). Dalam kamus
Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan
kembali suatu hal yang sebelumnya kurang berdaya. Jadi, pengertian revitalisasi
ini secara umum adalah usaha- usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi
penting dan perlu sekali. Revitalisasi bahasa juga disebabkan karna adanya
pergeseran bahasa (Language Shift) kadang- kadang disebut sebagai transfer
bahasa atau pergantian bahasa atau asimilasi adalah proses dimana komunitas
pembicara bahasa bergeser ke bahasa lain. Kepunahan bahasa tidak selamanya
karena penuturnya berhenti bertutur, melainkan akibat dari pilihan penggunaan
bahasa sebagian besar masyarakat tuturnya (Landweer, 1999:1). Bahasa adalah
sebuah identitas diri atau jati diri kita. Bahasa merupakan bagian penting dari
kebudayaan, sifat keduanya adalah saling mengikat jika terjadi perubahan atau
perkembangan.
Sebab
utama kepunahan bahasa-bahasa adalah karena para orang tua tak lagi mengajarkan
bahasa ibu kepada anak-anaknya dan tidak lagi secara aktif menggunakannya di
rumah dalam berbagai ranah komunikasi (Grimes, 2000:17). Melainkan para orang
tua berkomunikasi dengan anak- anaknya menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi,
seharusnya para orang tua mengajarkan bahasa ibu kepada anak- anaknya agar
bahasa ibu yang mereka miliki dari orang tua tidak punah dan bisa mengerti
bahasa ibu mereka. Di era globalisasi seperti sekarang ini bisa dilihat
fenomena di masyarakat Indonesia bahwa penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa
ibu semakin berkurang dan tergantikan oleh bahasa Indonesia.
Lemahnya
dokumentasi bahasa dan karya sastra bahasa, memicu pudarnya penggunaan dan
pengenalan bahasa ke generasi berikutnya. Tanpa masyarakat sadari, kepedulian
mereka melestarikan bahasa daerah relatif rendah karena bahasa daerah dianggap
tidak penting dalam kegiatan komunikasi, pendidikan, dan politik. Lingkungan
juga berpengaruh, karena dimana kita bersosialisasi dengan orang, kita
menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi tidak dengan bahasa ibu.
Kecuali kita bersosialisasi di dalam lingkungan atau forum tertentu, misalnya
forum anak- anak Padang, kemungkinan bahasa yang dipakai bahasa Padang untuk
berkomunikasi. Atau forum anak- anak Sunda kemungkinan bahasa yang digunakan
adalah bahasa Sunda. Terkadang merasa
malu menggunakan bahasa ibu untuk berkomunikasi. Kenapa kita harus peduli
dengan kepunahan bahasa adalah karena setiap bahasa itu menarik.
III. REVITALISASI DI INDONESIA
Perkembangan bahasa daerah ini mencemaskan. Dari 742 bahasa daerah
di Indonesia, hanya 13 bahasa yang penuturnya diatas satu juta orang. Artinya,
terdapat 729 bahasa daerah lainnya yang berpenutur dibawah satu juta orang.
Diantara 729 bahasa daerah, 169 diantaranya terancam punah, karena berpenutur
kurang dari 500 orang. Banyak dari kita yang malu menggunakan bahasa ibu dalam
kehidupan sehari- hari, karena lebih enak kalau kita menggunakan Bahasa
Indonesia. Bahasa- bahasa yang terancam punah itu tersebar di wilayah Sumatra, Sulawesi,
Kalimantan, Maluku, dan Papua. Antara lain bahasa Lom (Sumatra) hanya 50
penutur. Di Sulawesi bahasa Budong- budong 70 penutur, Dampal 10 penutur,
Bahonsuai 200 penutur, Baras 250 penutur. Di Kalimantan bahasa Lengilu 10
penutur, Punan Merah 137 penutur, Kareho Uheng 200 penutur, wilayah Maluku
bahasa Hukumina satu penutur, Kayeli tiga penutur, Nakaela 5 penutur, Hoti 10
penutur, Hulung 10 penutur, Kamarian 10 penutur dan bahasa Salas 50 penutur. Di
Papua bahasa Mapia satu penutur, Tandia dua penutur, Bonerif empat penutur, dan
bahasa Saponi 10 penutur.
Bahasa yang punah di Indonesia adalah bahasa Tandia di Papua Barat.
Menurut artikel Kompas.com bahasa asli penduduk Tandia, Distrik Rasiei,
Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat dipastikan punah. Saat ini tidak ada lagi
penuturnya, dan tak lagi dikenal oleh masyarakat sukunya. Faktor pemekaran
wilayah hingga perkawinan antarsuku, diduga menjadi kepunahan bahasa daerah
tersebut. Menurut Kepala Pusat Penelitian Bahasa dan Budaya Universitas Negri
Papua (Unipa). Bahasa Tandia milik suku Mbakawar (Tandia) diperkirakan sudah
punah sejak 1970-an. Sebelumnya bahasa
daerah ini diduga mati, maksudnya ada penuturnya tetapi tidak digunakan dalam
percakapan sehari- hari. Namun, setelah dilakukan penelitian pada awal 2011,
ternyata tidak ada lagi masyarakat suku Mbakawar yang tersebar di empat kampung di Distrik
Rasiei, menguasai dan menggunakan bahasa itu sehari- hari. Dari tiga orang
warga yang dijadikan nara sumber, semuanya lanjut usia, ternyata hanya
menguasai kurang dari 30 suku kata dan frase bahasa Tandia. Tidak ada lagi
penduduk asli Mbakawar yang bisa bahasa Tandia. Sehari- hari mereka memakai
bahasa Wandamen, bahasa suku Wamesa yang juga mendiami daerah Teluk Wondama.
Punahnya bahasa Tandia disebabkan sejumlah faktor, diantaranya
perkawinan antarsukuyang terjadi selama ratusan tahun. Banyaknya anak laki-
laki suku Mbakawar menikahi perempuan suku Wamesa (Wandamen), mengakibatkan
anak- anak mereka lebih mengenal bahasa ibunya, ketimbang bahasa dari ayahnya. Pusat
keramaian di daerah Teluk Wondama adalah di kampung suku Wamesa, sehingga
bahasa pergaulan yang lebih banyak dipakai adalah bahasa Wandamen. Selain itu,
pewarisan bahasa Tandia terhalang mitos yang berkembang di kalangan suku mereka
sendiri. Ada keyakinan, jika anak suku Mbakawar menggunakan bahasa Tandia saat
orang tuanya masih hidup, maka dia akan celaka. Bahasa ini dianggap tabu
digunakan dalam percakapan antar orang tua dan anaknya. Penyebab lain adalah
pemekaran wilayah yang jamak terjadi di tanah Papua. Pengguna dan penutur
bahasa menjadi lebih sedikit, karena terpisah wilayah administrasi. Ditambah
lagi, kesadaran orang tua mengenalkan dan membiasakan anak- anaknya menggunakan
bahasa daerah. Diperkirakan 30 dari 58 bahasa daerah Papua Barat punah selama
20 tahun terakhir. Selain itu, 10-15 bahasa daerah di Papua Barat juga
dipastikan mati, karena tidak pernah digunakan lagi oleh penuturnya, seperti
bahasa Meyah, Mpur, Dunser, dan Karondori.
Pada umumnya bahasa daerah yang jumlah penurutnya sedikit cenderung
merupakan bahasa yang tidak mempunyai aksara. Dengan demikian, tradisi lisan
yang berkembang pada bahasa-bahasa minoritas ini jika tidak segera
didokumentasikan, akan sangat sulit untuk mempertahankan eksistensi mereka.
Dari itu kita sebagai penerus bahasa daerah masing-masing, jangan malu kalau
kita komunikasi dengan menggunakan bahasa daerah. Tidak bisa dipungkiri,
kehadiran Bahasa Indonesia ikut mendesak punahnya bahasa daerah. Di Indonesia
ada 746 bahasa ibu, tapi dari tahun ke tahun jumlahnya berkurang. Di Papua,
dulu ada 273 bahasa daerah. Kini menjadi 271 bahasa. Di Sumatra, jumlah bahasa
daerah berkurang, dari 52 bahasa menjadi 49 bahasa. Di Sulawesi, bahasa daerah
berkurang dari 116 bahasa menjadi 114 bahasa. Menurut hasil penelitian UNESCO,
kepunahan bahasa ibu terbanyak terjadi di Indonesia. Bahasa Dunser dan Tandia
di kabupaten Teluk Wondama. Bahasa Ireres dan Mansim di kabupaten Manokwari dan
bahasa Iha di Fakfak juga terancam punah. Punahnya bahasa ibu bisa menyebabkan
punahnya budaya, karena setiap bahasa memiliki istilah yang erat dengan tradisi
dan budaya lokal.
Sebagai suku bangsa terbesar kedua setelah Jawa, etnis Sunda dengan
jumlah penutur lebih dari 21 juta di Jawa Barat dan Banten seyogianya mampu
melakukan revitalisasi bahasa Sunda. Bandingkan dengan Belanda dengan jumlah
penduduk sekitar 15 juta orang, toh bahasa Belanda memiliki vitalitas yang
tinggi. Bila bahasa Sunda dan bahasa daerah lainnya sekarang ini kurang
diminati para penuturnya sendiri, kita melihat lemahnya kesetiaan terhadap
bahasa (language loyalty) dan kita mencurigai adanya kekeliruan dalam strategi
kebudayaan dan pemertahanan bahasanya. Untuk memfungsikan bahasa Sunda secara
maksimal, sudah ditempuh beberapa langkah sebagai bagian dari perencanaan
bahasa Sunda, antara lain sebagai berikut:
Pertama, pada tataran kebijakan makro, sudah terbit tiga peraturan
daerah (Perda), yaitu (1) Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa,
sastra dan aksara daerah, (2) Perda Nomor 6 Tahun 2003 tentang pemeliharaan kesenian,
dan (3) Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang pengelolaan kepurbakalaan,
kesejarahan, nilai tradisional dan museum. Tiga serangkai perda di atas
ditandatangani Gubernur Jawa Barat pada 13 Januari 2003 dan merupakan fondasi
kebijakan perencanaan bahasa yang menempatkan bahasa daerah sebagai bagian tak
terpisahkan dari strategi atau politik kebudayaan daerah.
Menteri pendidikan dan kebudayaan, Mohammad Nuh menegaskan bahwa
mata pelajaran bahasa daerah ini harus tetap diajarkan, khususnya diwilayah
yang memang sudah mengajarkan mata pelajaran ini pada anak didiknya, seperti
Yogyakarta dengan bahasa Jawa dan Bandung dengan bahasa Sunda. Tingkat
pendidikan SD diajarkan bahasa daerah
yaitu bahasa Sunda, agar siswa- siswi dapat mengerti bahasa Sunda yang benar
atau bahasa Sunda yang lemes(bagus). Di dalam artikel Antara News (Bandung)
yang isinya Guru bahasa daerah di Indonesia terancam kehilangan pekerjaan
apabila Kurikulum 2013 yang saat ini masih uji publik jadi di terapkan. Di
dalam Kurikulum 2013 salah satunya ada poin meniadakan mata pelajaran muatan
lokal (mulok), pengaruhnya bukan hanya kepada guru pengajar bahasa sunda namun
juga kepada seluruh guru pengajar bahasa daerah di Indonesia," kata Iwan Hermawan dari Forum Aksi Guru Indonesia
(FAGI) Kota Bandung, Senin. Jadi bukan guru bahasa Sunda saja yang terancam,
guru bahasa Padang, Bali, Jawa dan pengajar bahasa daerah lainnya di Indonesia
juga terancam kehilangan pekerjaannya. Objek yang diajarkan pada siswa adalah
objek fenomena alam, fenomena sosial dan seni budaya. Untuk itu, bahasa daerah
yang merupakan salah satu unsur budaya yang wajib dilestarikan tidak boleh
dihilangkan dalam struktur kurikulum pendidikan. Perubahan kurikulum ini
mereduksi mata pelajaran mulok khususnya pelajaran daerah. Kurikulum baru ini
juga akan mengintegrasikan pelajaran bahasa daerah ke dalam pelajaran seni
budaya dan olahraga.
Sebagai suku bangsa terbesar kedua setelah Jawa, etnis Sunda dengan
jumlah penutur lebih dari 21 juta di Jawa Barat dan Banten seyogianya mampu
melakukan revitalisasi bahasa Sunda. Bandingkan dengan Belanda dengan jumlah
penduduk sekitar 15 juta orang, toh bahasa Belanda memiliki vitalitas yang
tinggi. Bila bahasa Sunda dan bahasa daerah lainnya sekarang ini kurang
diminati para penuturnya sendiri, kita melihat lemahnya kesetiaan terhadap
bahasa (language loyalty) dan kita mencurigai adanya kekeliruan dalam strategi
kebudayaan dan pemertahanan bahasanya.
Didalam Artikel Antara Jateng juga memiliki kasus yang sama. Isinya
anggota DPRD Jawa Tengah Muh. Zen meminta seluruh sekolah di provinsi ini tetap
memberikan pelajaran bahasa Jawa, meski kurikulum baru tidak lagi memasukkan
mata pelajaran tersebut. “ Kami minta sekolah mengabaikan kurikulum baru yang
tidak mengatur lagi Bahasa Jawa masuk di dalamnya” kata Muh. Zen di Semarang,
kamis. Bahasa Jawa sebagai bahasa daerah yang tidak lagi masuk dalam kurikulum
baru dinilai bertentangan dengan berbagai peraturan perundang- undangan. Pasal
32 Undang- undang Dasar 1945 yang menyatakan Negara menghormati dan memelihara
bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Salah satu upaya untuk
memelihara bahasa Jawa sebagai bahasa daerah yakni dengan mempelajari di
sekolah. Kurikulum baru tersebut juga tidak selaras dengan Peraturan Daerah
Jawa Tengah tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa.
Menurut saya tentang kedua Artikel tersebut saya tidak setuju jika
kurikulum baru tidak ada pelajaran muatan local. Menurut saya, tidak bisa
pelajaran bahasa daerah disatukan dengan belajaran seni budaya dan olahraga.
Bahasa daerah adalah bahasa yang mempelajari tentang bahasa daerah tersebut,
beda halnya dengan seni budaya dan olahraga. Seni budaya hanya pengajarkan
kesenian budaya atau daerah tersebuat, misalnya mempelajari alat musik daerah
sunda seperti Angklung, suling bambu, tarian jaipong dll. Bagaimana kita bisa
menjaga kepunahan bahasa daerah, jika bahasa daerah akan di hapuskan dari
kurikulum pembelajaran. Terus dengan cara bagaimana kita merevitalisasi bahasa
daerah jika pembelajaran bahasa daerah akan dihapuskan dan digabungkan dengan
seni budaya dan olahraga. Salah satu upaya untuk merevitalisasi bahasa adalah
dengan diadakannya pembelajaraan bahasa daerah di sekolah. Mengenalkan bahasa
daerah kepada para anak didik. Meskipun tidak dipakai untuk berkomunikasi
sehari- hari setidaknya mereka mengenal bahasa daerah tersebut, karena bahasa
adalah suatu identitas dari kebudayaan.
Contoh dari Negara lain peran pendidikan dalam revitalisasi bahasa adalah
bahasa Latin. Secara semantik, bahasa Latin tidak lagi digunakan dan bisa
dikatakan telah mati. Sebagian orang tidak setuju bahasa Latin dianggap punah
karena banyak bahasa di dunia mendapatkan serapan kata dari bahasa Latin. Namun,
satu hal yang pasti, bahasa ini tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-
hari. Kini, bahasa Latin tidak lagi menjadi bahasa ibu etnis atau Negara
manapun. Tetapi, bahasa Latin masih diajarkan di sekolah meski bahasa Latin
tidak lagi mengalami perkembangan dan dinamika seperti halnya bahasa modern
lainnya.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan penjabaran di atas, revitalisasi bahasa adalah upaya
untuk menghidupkan kembali suatu bahasa yang terancam punah. Bahasa mati adalah
bahasanya ada dan diketahui masyarakat, tetapi tidak ada yang menggunakan
bahasa itu dalam kehidupan sehari- hari hanya dipelajari saja. Sedangkan bahasa
punah adalah bahasa yang tidak pernah dipakai karena tidak ada lagi
penggunanya. Kepunahan bahasa dikarenakan adanya perpindahan bahasa. Kepunahan
bahasa juga bisa dikarenakan faktor yang terjadi di dalam keluarga. Orang tua
tidak pernah mengajarkan bahasa ibu kepada anak- anaknya.
Kepunahan bahasa tidak selamanya dikarenakan penuturnya meninggal atau
berhenti bertutur. Bisa saja penutur berpindah bahasa tuturnya. Agar bahasa
daerah tidak punah, mulailah menanamkan bahasa ibu kepada anak di lingkungan
keluarga. Dalam pendidikan bahasa daerah penting untuk diajarkan di sekolah-
sekolah, karena dengan adanya pelajaran bahasa daerah di sekolah mencegah
adanya kepunahan bahasa. Cara yang lain dengan membuat dokumentasi bahasa, agar
bahasa yang sudah punah masih bisa dikehatui oleh masyarakat meski bahasa itu
sudah punah. Biasanya menggunakan audio/video recorder sebagai sarana
pendokumentasian. Pemerintahan juga berperan penting dalam revitalisasi bahasa.
Usaha lain yang tengah dilakukan dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah
melalui pengkajian, pengembangan, dan pelestarian. Dalam proses pengkajian, telah
dilakukan pemetaan dan berhasil mengidentifikasi 541 bahasa. Selain itu
pemerintah juga tengah melakukan pendokumentasian aksara bahasa daerah dan
pendokumentasian cerita rakyat. Jadi kita sebagai bangsa Indonesia, bangsa yang
memiliki berbagai suku janganlah ragu untuk mengembangkan bahasa daerah yang
kita miliki. Bukan hanya Bahasa Indonesia apalagi Bahasa Inggris yang mesti
dipelajari, tetapi kita juga harus memperhatikan bahasa daerah yang kita
miliki.
Komentar
Posting Komentar