Revitalisasi Bahasa
Nama : Siti
Khadijah
NIM :
1110026000030
Kelas : 5B
Prodi : Bahasa dan
Sastra Inggris
Revitalization
language
Apakah
bahasa sunda sudah diambang kepunahan?
Pembukaan
Isu kematian bahasa di dunia saat ini semakin mengemuka akhir-akhir
ini tidak terkecuali dengan bahasa sunda. Hal ini berhubungan dengan fenomena
yang terjadi di pusat kota di jawa barat, terutama kota bandung, yang kini
masyarakatnya, terutama generasi muda yang diduga malu untuk menggunakan lagi
bahasa sunda dalam kehidupan sehari-harinya. Seharusnya sebagai bangsa indonesia
kita harus banggaatas kekayaan Indonesia yang melimpah didalam berbagai hal,
salah satunya kekayaan bahasa. Tidak kurang 12% dari seluruh bahasa di dunia
terdapat di Indonesia. Di Indonesia juga terdapat 13 bahasa terbesar dengan
jumlah penutur minimal terdiri dari 1 juta jiwa, di antaranya bahasa jawa,
sunda, dan melayu. Sedangkan ratusan bahasa lainnya memiliki jumlah penutur di
bawah 1 juta jiwa.Bahkan di Indonesia juga terdapat bahasa yang jumlah
penuturnya hanya 1 orang.Kondisi seperti ini sungguh sangat memprihatinkan dan
selayaknya kita sebagai masyarakat Indonesia sudah menjadi tanggung jawab
bersama, mengingat bahwa bahasa merupakan jati diri suatu bangsa.Pada umumnya
masyarakat lebih peduli terhadap lingkungan sekitarnya.Meskipun bahasa
merupakan barang sehari-hari yang tidak terlalu perlu mendapatkan perhatian
khusus.Sebagaimana kita fahami bersama kebudayaan suatu masyarakat terdapat
pada bahasanya, dan punahnya suatu bahasa berarti punahnya sebuah peradaban.Saat
ini di dunia tercatat kurang lebih dari 6.000 bahasa, dengan setengah jumlah
penutur sebanyak 6.000 jiwa atau lebih dan setengahnya lagi 6.000 jiwa atau
kurang. Dan jumlah penutur terbanyak didunia saat ini terdiri dari 20 bahasa di
antaranya, cina, inggris, dan spanyol.Sedangkan bahasa jawa menduduki peringkat
ke-13 dan bahasa Vietnam menduduki peringkat ke-29, sedangkan bahasa sunda
menduduki peringkat setelahnya.
Landasan
teori
menurut
Aitchison (1981:209, 216;dan Tampubolon 1999), ada dua jenis kematian bahasa,
diantaranya bunuh diri bahasa dan pembunuhan bahasa. Bunuh diri bahasa terjadi
dikarenakan banyaknya bahasa yang memakai kosa kata asing sehingga menjadikan
bahasa tersebut berubah secara keseluruhan seperti bahasa Tok Pisin di Papua
New Guinea, yang memakai kosa kata bahasa inggris Australia. Sedangkan
pembunuhan bahasa meliputi terdesaknya kematian suatu bahasa dengan bahasa lain
yang lebih dominan, baik secara sosio-budaya, politik, dan ekonomi, seperti
bahasa imigran Eropa di Amerika Serikat yang terdesak oleh bahasa inggris
amerika. Pembunuhan bahasa dapat pula terjadi dikarenakan punahnya penutur
bahasa atau dipunahkan seperti bahasa indian di AS dan Meksiko serta seperti
bahasa Aborigin di Australia. Tahap-tahap kematian bahasa yang diajukan oleh
David Crystal (1990) dan Lauder (2004) terdapat banyak bahasa dengan berbagai
macam kondisi diantaranya 1)berpotensi terancam punah dalam artian
bahasa-bahasa yang secara social dan ekonomi tergolong minoritas serta mendapat
tekanan yang cukup besar dari mayoritas. Dan generasi muda (anak-anak) sudah
mulai berpindah kebahasa mayoritas dan jarang sekali menggunakan bahasa ibu. 2)
bahasa terancam punah dalam artian bahasa yang tidak lagi mempunyai generasi muda
yang dapat berbahasa ibu, dan penutur yang fasih hanyalah kelompok generasi
menengah (dewasa). 3) Sangat terancam punah dalam artian bahasa yang hanya
berpenutur generasi tua yang berusia di atas 50 tahun. 4) sekarat yaitu bahasa
yang dituturkan oleh beberapa orang tua yang berusia 70 tahun keatas. 5) punah
yaitu bahasa yang penuturnya tinggal 1 orang sehingga tidak ada teman
berkomunikasi dalam bahasa itu. Tahap ini merupakan tahap yang sangat kritis.
Yang lebih memprihatinkan lagi bahasa Indonesia yang digunakan bukanlah bahasa
Indonesia yang standar, melainkan bahasa Melayu dialek Jakarta seperti yang
terjadi di kota bandung. Kekurang mampuan generasi muda dalam menggunakan
bahasa daerah, tidak terlepas dari pengaruh semakin kuatnya eksistensi bahasa nasional.
Bahasa Indonesia yang semula hanya digunakan dalam situasi resmi, kini sudah
digunakan pada situasi tidak resmi, termasuk cara penggunaannya di lingkungan keluarga.
Akibatnya bahasa Sunda kurang mampu mengimbangi dominasi bahasa nasional atau
asing.Kenyataan ini diperburuk lagi dengan adanya penilaian yang kurang baik
terhadap bahasa daerah, salah satunya penilaian yang menganggap bahwa bahasa
daerah erat kaitannya dengan hal yang konservatif. Oleh sebab itu, masyarakat mempunyai anggapan bahwa pendidikan
dwibahasa menjadi penghalang proses pendidikan anak, baik disekolah maupun di
lingkungan rumah. Meskipun, seharusnya dwibahasa yang stabil tidak harus
menyebabkan punahnya bahasa daerah.Keadaan seperti ini dapat terjadi sebagai
konsekuensi logis dari globalisasi.Dampak globalisasi harus diwaspadai karena
dapat menimbulkan terjadinya pergeseran bahasa dan perubahan bahasa. Hal ini
juga di khawatirkan Comrie et al. (2003;Lauder,2004; Rosidi, 2007: 154) bahwa
sekitar 90% bahasa-bahasa di dunia akan mengalami kepunahan dalam kurun waktu
seratus tahun. Terlepas dari kontroversi teori yang dikemukakan Charles Darwin
(12 Februari 1809-19 April 1882) sejumlah bahasa di dunia terancam punah. Menurut gufran, ada dua factor yang dianggap sebagai penyebab kepunahan bahasa
daerah pertama, orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak
mereka dan tidak lagi menggunakannya. Kedua, ini merupakan pilihan sebagian
masyarakat untuk tidak menggunakan bahasa ibu dalam berkomunikasi
sehari-hari.menyadari keadaan seperti ini UNESCO merencanakan hak untuk
berbahasa daerah (ibu).
Data
Analisis
Pemberlakuan
UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah membawa dampak yang luas bagi
kehidupan bahasa daerah.Hal ini timbul sebagai konsekuensi atas pengakuan
hak-hak daerah, termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap budaya (bahasa)
lokal.Oleh karena itu, sebenarnya pemeliharaan bahasa Sunda dewasa ini,
sebagaimana tertuang dalam Perda No. 5 Tahun 2003, lebih terbuka mengingat
pemerintah daerah bertanggung jawab melaksanakan undangundang tersebut dengan
segala konsekuensinya.
Dengan
demikian, bahasa Sunda berkesempatan untuk tetap lestari dan berkembang Upaya awal yang perlu dilakukan adalah
memperkukuh lagi ketahanan budaya bangsa melalui pemeliharaan yang
sungguh-sungguh dan tulus terhadap eksistensi bahasa Sunda dan menumbuhkan
sikap positif masyarakatnya sehingga timbul kesadaran akan pentingnya fungsi
bahasa daerah. Upaya yang konkret sehubungan dengan hal ini dapat dilakukan
dengan penggunaan bahasa Sunda sebagai media komunikasi dalam lingkungan
keluarga.
Bagaimanapun
juga keluarga adalah sumber kepribadian seseorang terutama anak. Orang tua perlu menyadari
pentingnya penguasaan bahasa Sunda agar generasi muda bisa menggunakan bahasa
ibunya dengan leluasa. Upaya lain yang dapat dilakukan, sehubungan dengan
masuknya kurikulum bahasa dan sastra daerah (Sunda) di SMA dewasa ini, adalah
perencanaan bahasa Sunda melalui perencanaan status dan perencanaan korpus
Perencanaan status dapat diupayakan melalui pembebanan yang lebih terhadap
bahasa Sunda sehingga penggunaannya dapat merambah ranah di luar budaya dan
keluarga. Perencanaan korpus dapat diupayakan dengan percepatan kesejajaran
daya ungkap bahasa Sunda melalui penyerapan kosakata bahasa Indonesia, bahasa
daerah lainnya, dan bahasa asing untuk mengungkapkan konsep-konsep, terutama
iptek dan kehidupan modern lainnya, terlebih-lebih pada era gelobalisasi ini.
Upaya
yang tidak kalah penting lainnya adalah penggalakkan penerbitan.Pemeliharaan
bahasa Sunda dapat pula dilakukan melalui kegiatan penelitian yang diarahkan
pada bahasa itu sendiri dan penuturnya.Hasil penelitian tersebutdapat dijadikan
titik tolak pengambilan kebijakan oleh pemerintah daerah.Di samping itu,
temuan-temuan mutakhir perlu dimasyarakatkan untuk menumbuhkan sikap positif
masyarakat terhadap bahasanya.Perlu pula dilakukan pembakuan bahasa Sunda yang
lebih komprehensif dan mutakhir untuk meningkatkan mutunya agar dapat digunakan
dalam segala keperluan.
Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SKKD) Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda
disusun berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 5 Tahun 2003
tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah, yang menetapkan bahasa
daerah, antara lain, bahasa Sunda, diajarkan di pendidikan dasar di Jawa Barat.
Kebijakan tersebut sejalan dengan UU No.
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang bersumber dari UUD 1945 yang menyangkut Pendidikan
dan Kebudayaan. Sejalan pula dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Bab III Pasal 7 Ayat
3–8, yang menyatakan bahwa dari SD/MI/SDLB, SMP/MTs./SMPLB, SMA/MAN/SMALB, dan
SMK/MAK diberikan pengajaran muatan lokal yang relevan dan Rekomendasi UNESCO
tahun 1999 tentang “pemeliharaan bahasa-bahasa ibu di dunia”. Bahasa Sunda
berkedudukan sebagai bahasa daerah, yang juga merupakan bahasa ibu bagi
sebagian besar masyarakat Jawa Barat.
Bahasa
Sunda juga menjadi bahasa pengantar pembelajaran di kelas-kelas awal SD/MI.
Berdasarkan kenyataan tersebut, bahasa Sunda harus diajarkan di
sekolah-sekolah, mulai Taman Kanak-kanak (TK)/Raudhatul Athfal (RA), Sekolah
Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah
Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK)/Madrasah Aliah (MA). Oleh karena itu, perlu disusun Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar sesuai dengan satuan pendidikan tersebut.Pembelajaran
bahasa Sunda diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya dan budaya
Sunda, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat
Sunda, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang
ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Sunda diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan peserta didik dan untuk berkomunikasi dalam Bahasa Sunda dengan baik
dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap
hasil karya kesastraan Sunda. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Sunda
merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan
penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap
bahasa dan sastra Sunda.Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik
untuk memahami dan merespon situasi lokal dan regional. Dengan standar
kompetensi mata pelajaran Bahasa Sunda ini diharapkan:
1.
peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan,
kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil
karya sastra dan intelektual orang Sunda;
2.
guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta
didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar;
3.
guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan
kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta
didiknya;
4.
orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program
kebahasaan dan kesastraan di sekolah;
5.
sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan
sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia;
6.
daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan
sesuai dengan kondisi dan kekhasan lokal dengan tetap memperhatikan kepentingan
regional Jawa Barat.
Bahasa sunda merupakan bahasa yang ramai dipakai di pulau jawa yang
memiliki tingkat bahasa mudah dimengerti dari pada bahasa jawa.Bukan hanya di
jawa barat saja bahasa ini dituturkan tapi di jawa tengah pun banyak yang
memakainya sebagai bahasa keseharian.Di jawa tengah sendiri terutama di Brebes
selatan bahasa sunda memiliki persaingan ketat karena berada di perbatasan yang
pastinya dekat mayoritas penduduk yang berbahasa jawa sehingga selalu ada
pencampuran bahasa. Kecamatan yang ada di Brebes diantaranya: Salem,
Bantarkawung, Bumiayu, Paguyangan, Tonjong, Sirampog, Larangan, Ketanggungan,
Banjarharjo, Losari, Tanjung, Kersana, Bulukamba, Wanasari, Jati Barang,
Brebes.
Selain itu terdapat pula penutur bahasa sunda yaitu: Bantarkawung,
Ketanggungan, Banjaharjo, Tanjung (Sarireja, dan Luwungbata), Larangan (Kamal,
Wlahar dan Pemulian), Kersana (Kradenan dan Sindangjaya), Dan beberapa desa
kecamatan losari (Randegan, Jatisawit, Karangsambung, Negla, Bojongsari,
Karangjati, Babakan).
Bahasa sunda dan bahasa Jawa juga dipakai secara bersama dibeberapa
desa di kecamatan diantaranya; Bumiayu(Pruwatan, Laren), Bantarkawung(cinanas,
cibentang, karangpari, pangebatan, dan bantarkawung), Ketanggungan(Pamedaran,
Barros, Kubangsari, Ku bangjati, Dukuhbadag, dan kubangwungu),
Banjarharjo(Banjarharjo, cimunding, ciawi, tegalreja, dan banjar lor,
Losari(Karangjunti dan Babakan), Kersana (Kubangpari).
Perbedaan
bahasa sunda brebes dengan bahasa sunda standar (BSS) tampak menonjol pada
intonasi dan beberapa kosakata, sedangkan dalam tataran frasa dan kalimat tidak
terjadi perbedaan. Dalam tatara frasa , misalnya adalah:
imah
bapa=rumah ayah, peti suluh=peti kayu, budak bandel=anak nakal, hayang
hees=ingin tidur, ngakan kejo=makan nasi, gede kacida=besar sekali, jenuk
budak=banyak anak.
Sedangkan
Kalimat BSB contohnya adalah;
-Misah
lulus ujian nyaneh kudu di ajar=agar lulus ujian kamu harus belajar
-Iraha
nyaneh mangkat=kapan kamu pergi
Dalam
kesehariannya bahasa ini digunakan diberbagai tempat seperti di lingkungan
masyarakat, pasar dan yang lainnya.Masyarkatnya juga bisa berbahasa jawa dalam
arti tidak bisa sepenuhnya, tidak heran kalau sebagian masyarakat sunda ada
yang memakai bahasa campuran yaitu sunda dan jawa. Untuk budayanya sama seperti
suku sunda yang ada di jawa barat meskipun tidak seramai yang ada di sana.
Bahasa
Sunda di Kabupaten Brebes yang dikaji secara morfologis.masalah yang dikaji
meliputi beberapa pertanyaan berikut. a)
bagaimanakah wujud kosakata bahasa Sunda Brebes/, b) bagaimana bentuk
afiks dalam bahasa Sunda Brebes, c) bagaimana bentuk reduplikasi, dan d)
bagaimana bentuk kata majemuk? Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif dengan teknik analisis isi, karena dengan menggunakan metode ini
data dan informasi secara langsung
tentang morfologi bahasa Sunda di daerah Brebes, terutama data bahasa dari
sumber primer Data yang digunakan berupa data bahasa lisan sebab bahasa Sunda
di daerah ini cenderung hanya digunakan sebagai komunikasi sehari-hari.
Penentuan sumber data dilakukan dengan mempertimbangkan kualitas data yang
diharapkan sesuai dengan tujuan penelitian. Kata dasar dalam bahasa Sunda
Brebes dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis, (a) kata benda, (b) kata kerja,
(c) kata sifat, (d) kata keterangan, dan (e) kata tugas.
Dalam
bahasa Indonesia, sebagian besar kata benda dapat bersanding dengan kata
pengingkar bukan, kata kerja dapat bersanding dengan kata sedang, dan kata
sifat dapat bersanding dengan kata sangat, agak, dan paling. Dalam bahasa Sunda
Brebes pun sebagain besar kata benda dapat bersanding dengan kata pengingkar
lain ‘bukan’, kata kerja dapat bersanding dengan kata keur atau eukeur ‘sedang’
dan kata sifat dapat bersanding dengan kata rada ‘agak’, kacida atau pisan
‘sangat’, dan pang ‘paling’. kosakata bahasa Sunda Brebes dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu berupa kata dasar dan kata berimbuhan, baik kata dasar
maupun kata jadian dalam bahasa Sunda Brebes banyak yang berbeda dengan bahasa
Sunda standar. Prebedaan itu dikarenakan beberapa hal, yaitu kosakata itu
merupakan kosakata asli bahasa Sunda Brebes dan kosakata itu diduga merupakan
kosakata serapan dari bahasa Jawa.Sehubungan dengan itu, bahasa Sunda Brebes
cenderung merupakan dialek tersendiri.Afiks atau imbuhan dalam bahasa Sunda
Brebes dibedakan menjadi prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks.Meskipun beegitu,
imbuhan yang paling produktif dalam bahasa Sunda Brebes hanyalah imbuhan yang
berupa prefiks N- dan infiks –ar-.Afiksasi dalam bahasa Sunda Brebes cenderung
mengubah kelas kata.Proses Morfologis karena afiksasi cenderung menghasilkan
kata turunan berupa verba, nomina, dan adjektiva.Namun, yang paling banyak
dihasilkan adalah verba turunan.
Reduplikasi
atau perulangan dalam bahasa Sunda Brebes dapat dibedakan menjadi dwilingga,
dwipurwa, dan trilingga.Akan tetapi, perulangan yang paling produktif hanya
perulangan yang berbentuk dwilingga (perulangan penuh). Perulangan dalam bentuk
dwilingga dapat mengungkapkan makna jamak, baik dalam kuantitas maupun kualitas dan dapat juga mengungkapkan makna penekanan terhadap bentuk
yang diulang. Perulangan penuh dengan variasi bunyi dalam bahasa Sunda Brebes
dapat mengungkapkan makna (a) ‘melakukan pekerjaan secara berulang kali’ atau
(b) ‘bermacam-macam (dasar). Sementara itu, kata majemuk dalam bahasa Sunda
Brebes cenderung berupa penggabungan bentuk bebas + bentuk bebas, bentuk bebas
+ bentuk terikat, dan/atau bentuk terikat + bentuk bebas.Namun, hanya
pemajemukan bentuk bebas + bentuk bebas yang paling produktif.
Kesimpulan
Kebijakan
Pendidikan Nasional selama ini tidak mencerminkan kebhinekaan Indonesia
sehingga berbagai potensi lokal tidak terberdayakan untuk membangun potensi
kolektif sebagai kekuatan bangsa.Sistem pendidikan yang ada harus
diorientasikan untuk membangun anak bangsa yang berkarakter dengan berbasis
pada kebudayaan.Secara keseluruhan tingkat pendidikan masyarakat Sunda masih
rendah sehingga sulit bagi mereka untuk berperan secara optimal dalam
memanfaatkan segala potensi yang ada di lingkungannya.
Pengajaran
bahasa Sunda di sekolah kurang efektif karena kurikulum cenderung
menitikberatkan teori dan bukan pada penggunaan bahasa dan apresiasi sastra.
Guru bahasa Sunda masih sangat kurang, baik kualitas maupun kuantitasnya,
sementara itu komitmen Pemerintah daerah dalam mendukung pengajaran bahasa dan
budaya Sunda belum optimal. Hasil pendidikan melalui sekolah-sekolah belum
optimal karena penggunaan bahasa Indonesia sejak TK, padahal mereka belum
menguasai bahasa Indonesia.
Pemeliharaan
dan perlindungan terhadap benda budaya masih belum maksimal, sehingga tidak
sedikit peninggalan budaya itu hilang sebelum terdokumentasikan dengan
baik. Penelitian dan penulisan sejarah
Sunda termasuk penelusuran naskah Sunda dan lambang-lambang kesundaan belum
maksimal karena kekurangan dana dan SDM yang memadai.
Pendidikan
di Jawa Barat selama belum berhasil menjadikan generasi muda Sunda terdidik dan
sadar akan potensi alam serta kebudayaannya.
Orientasi pendidikan intelektual dengan mengabaikan orientasi kultural telah
menghasilkan birokrat-birokrat yang tuna budaya sehingga tidak mengherankan
banyak kebijakan pembangunan di Jawa Barat yang tidak sejalan dengan kebudayaan
Jawa Barat.
Lingkungan
hidup di tatar Sunda semakin rusak karena adanya kebijakan pemerintah yang
tidak konsisten.Eksistensi sejumlah masyarakat adat kini terancam punah,
padahal semestinya dilindungi oleh pemerintah sebagai model pelestarian alam
pada khususnya dan kearifan lokal pada umumnya.
Referensi
Aitchison,
Jean. 1981. Language Change: Progress orDecay. Bungay, Suffolk: The Chaucer
Press.
Comrie,
Bernard et al. 2003. The Atlas of Languages:The Origin and Development of
Languages Throughoutthe World. Singapore: Star Standard.
Crystal,
David. 1990. Language Death. Great Britain:Cambridge University Press.
Gumpersz,
J. 1968. “The Speech Community”. DalamGiglioli (Ed.), 1990: 219-251. Language
and SocialContext. London: Pinguin Books.
Jespersen,
O. 1922. Language: Its Nature, Developmentand Origin. London: Allen and Unwim.
Lauder,
Multamia R.M.T. 2004.“Optimalisasi BahasaIndonesia Berbasis Korpus
Linguistik”.MakalahPertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia
XXVI,Universitas Muhammadiyah, Poerwokerto 4-5 Oktober2004.
Tampubolon,
Daulat P. 1999. “Gejala-gejala KematianBahasa: Suatu Observasi Ragam Politik
Orde Baru”.Dalam Soenjono Dardjowidjojo & Yasir Nasanius (Ed.).PELLBA 12:
1-39. Jakarta: Kanisius.
Weinreich,
Uriel. 1968. Language Contact: Findingsand Problems. The Houge: Mouton.
Rosidi,
Ajip. 2007. Urang Sunda jeung Basa Sunda.Bandung: Kiblat Buku Utama.
Komentar
Posting Komentar