Revitalisasi Bahasa


Nama   : Siti Khadijah
NIM    : 1110026000030
Kelas   : 5B
Prodi   : Bahasa dan Sastra Inggris
Revitalization language
Apakah bahasa sunda sudah diambang kepunahan?
Pembukaan
Isu kematian bahasa di dunia saat ini semakin mengemuka akhir-akhir ini tidak terkecuali dengan bahasa sunda. Hal ini berhubungan dengan fenomena yang terjadi di pusat kota di jawa barat, terutama kota bandung, yang kini masyarakatnya, terutama generasi muda yang diduga malu untuk menggunakan lagi bahasa sunda dalam kehidupan sehari-harinya. Seharusnya sebagai bangsa indonesia kita harus banggaatas kekayaan Indonesia yang melimpah didalam berbagai hal, salah satunya kekayaan bahasa. Tidak kurang 12% dari seluruh bahasa di dunia terdapat di Indonesia. Di Indonesia juga terdapat 13 bahasa terbesar dengan jumlah penutur minimal terdiri dari 1 juta jiwa, di antaranya bahasa jawa, sunda, dan melayu. Sedangkan ratusan bahasa lainnya memiliki jumlah penutur di bawah 1 juta jiwa.Bahkan di Indonesia juga terdapat bahasa yang jumlah penuturnya hanya 1 orang.Kondisi seperti ini sungguh sangat memprihatinkan dan selayaknya kita sebagai masyarakat Indonesia sudah menjadi tanggung jawab bersama, mengingat bahwa bahasa merupakan jati diri suatu bangsa.Pada umumnya masyarakat lebih peduli terhadap lingkungan sekitarnya.Meskipun bahasa merupakan barang sehari-hari yang tidak terlalu perlu mendapatkan perhatian khusus.Sebagaimana kita fahami bersama kebudayaan suatu masyarakat terdapat pada bahasanya, dan punahnya suatu bahasa berarti punahnya sebuah peradaban.Saat ini di dunia tercatat kurang lebih dari 6.000 bahasa, dengan setengah jumlah penutur sebanyak 6.000 jiwa atau lebih dan setengahnya lagi 6.000 jiwa atau kurang. Dan jumlah penutur terbanyak didunia saat ini terdiri dari 20 bahasa di antaranya, cina, inggris, dan spanyol.Sedangkan bahasa jawa menduduki peringkat ke-13 dan bahasa Vietnam menduduki peringkat ke-29, sedangkan bahasa sunda menduduki peringkat setelahnya.
Landasan teori
menurut Aitchison (1981:209, 216;dan Tampubolon 1999), ada dua jenis kematian bahasa, diantaranya bunuh diri bahasa dan pembunuhan bahasa. Bunuh diri bahasa terjadi dikarenakan banyaknya bahasa yang memakai kosa kata asing sehingga menjadikan bahasa tersebut berubah secara keseluruhan seperti bahasa Tok Pisin di Papua New Guinea, yang memakai kosa kata bahasa inggris Australia. Sedangkan pembunuhan bahasa meliputi terdesaknya kematian suatu bahasa dengan bahasa lain yang lebih dominan, baik secara sosio-budaya, politik, dan ekonomi, seperti bahasa imigran Eropa di Amerika Serikat yang terdesak oleh bahasa inggris amerika. Pembunuhan bahasa dapat pula terjadi dikarenakan punahnya penutur bahasa atau dipunahkan seperti bahasa indian di AS dan Meksiko serta seperti bahasa Aborigin di Australia. Tahap-tahap kematian bahasa yang diajukan oleh David Crystal (1990) dan Lauder (2004) terdapat banyak bahasa dengan berbagai macam kondisi diantaranya 1)berpotensi terancam punah dalam artian bahasa-bahasa yang secara social dan ekonomi tergolong minoritas serta mendapat tekanan yang cukup besar dari mayoritas. Dan generasi muda (anak-anak) sudah mulai berpindah kebahasa mayoritas dan jarang sekali menggunakan bahasa ibu. 2) bahasa terancam punah dalam artian bahasa yang tidak lagi mempunyai generasi muda yang dapat berbahasa ibu, dan penutur yang fasih hanyalah kelompok generasi menengah (dewasa). 3) Sangat terancam punah dalam artian bahasa yang hanya berpenutur generasi tua yang berusia di atas 50 tahun. 4) sekarat yaitu bahasa yang dituturkan oleh beberapa orang tua yang berusia 70 tahun keatas. 5) punah yaitu bahasa yang penuturnya tinggal 1 orang sehingga tidak ada teman berkomunikasi dalam bahasa itu. Tahap ini merupakan tahap yang sangat kritis. Yang lebih memprihatinkan lagi bahasa Indonesia yang digunakan bukanlah bahasa Indonesia yang standar, melainkan bahasa Melayu dialek Jakarta seperti yang terjadi di kota bandung. Kekurang mampuan generasi muda dalam menggunakan bahasa daerah, tidak terlepas dari pengaruh semakin kuatnya eksistensi bahasa nasional. Bahasa Indonesia yang semula hanya digunakan dalam situasi resmi, kini sudah digunakan pada situasi tidak resmi, termasuk cara  penggunaannya di lingkungan keluarga. Akibatnya bahasa Sunda kurang mampu mengimbangi dominasi bahasa nasional atau asing.Kenyataan ini diperburuk lagi dengan adanya penilaian yang kurang baik terhadap bahasa daerah, salah satunya penilaian yang menganggap bahwa bahasa daerah erat kaitannya dengan hal yang konservatif. Oleh sebab  itu, masyarakat mempunyai anggapan bahwa pendidikan dwibahasa menjadi penghalang proses pendidikan anak, baik disekolah maupun di lingkungan rumah. Meskipun, seharusnya dwibahasa yang stabil tidak harus menyebabkan punahnya bahasa daerah.Keadaan seperti ini dapat terjadi sebagai konsekuensi logis dari globalisasi.Dampak globalisasi harus diwaspadai karena dapat menimbulkan terjadinya pergeseran bahasa dan perubahan bahasa. Hal ini juga di khawatirkan Comrie et al. (2003;Lauder,2004; Rosidi, 2007: 154) bahwa sekitar 90% bahasa-bahasa di dunia akan mengalami kepunahan dalam kurun waktu seratus tahun. Terlepas dari kontroversi teori yang dikemukakan Charles Darwin (12 Februari 1809-19 April 1882) sejumlah bahasa di dunia terancam punah.  Menurut gufran,  ada dua factor yang  dianggap sebagai penyebab kepunahan bahasa daerah pertama, orang tua tidak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak mereka dan tidak lagi menggunakannya. Kedua, ini merupakan pilihan sebagian masyarakat untuk tidak menggunakan bahasa ibu dalam berkomunikasi sehari-hari.menyadari keadaan seperti ini UNESCO merencanakan hak untuk berbahasa daerah (ibu).
Data Analisis
Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah membawa dampak yang luas bagi kehidupan bahasa daerah.Hal ini timbul sebagai konsekuensi atas pengakuan hak-hak daerah, termasuk pengakuan dan penghormatan terhadap budaya (bahasa) lokal.Oleh karena itu, sebenarnya pemeliharaan bahasa Sunda dewasa ini, sebagaimana tertuang dalam Perda No. 5 Tahun 2003, lebih terbuka mengingat pemerintah daerah bertanggung jawab melaksanakan undangundang tersebut dengan segala konsekuensinya.
Dengan demikian, bahasa Sunda berkesempatan untuk tetap lestari dan berkembang  Upaya awal yang perlu dilakukan adalah memperkukuh lagi ketahanan budaya bangsa melalui pemeliharaan yang sungguh-sungguh dan tulus terhadap eksistensi bahasa Sunda dan menumbuhkan sikap positif masyarakatnya sehingga timbul kesadaran akan pentingnya fungsi bahasa daerah. Upaya yang konkret sehubungan dengan hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan bahasa Sunda sebagai media komunikasi dalam lingkungan keluarga.
Bagaimanapun juga keluarga adalah sumber kepribadian seseorang  terutama anak. Orang tua perlu menyadari pentingnya penguasaan bahasa Sunda agar generasi muda bisa menggunakan bahasa ibunya dengan leluasa. Upaya lain yang dapat dilakukan, sehubungan dengan masuknya kurikulum bahasa dan sastra daerah (Sunda) di SMA dewasa ini, adalah perencanaan bahasa Sunda melalui perencanaan status dan perencanaan korpus Perencanaan status dapat diupayakan melalui pembebanan yang lebih terhadap bahasa Sunda sehingga penggunaannya dapat merambah ranah di luar budaya dan keluarga. Perencanaan korpus dapat diupayakan dengan percepatan kesejajaran daya ungkap bahasa Sunda melalui penyerapan kosakata bahasa Indonesia, bahasa daerah lainnya, dan bahasa asing untuk mengungkapkan konsep-konsep, terutama iptek dan kehidupan modern lainnya, terlebih-lebih pada era gelobalisasi ini.
Upaya yang tidak kalah penting lainnya adalah penggalakkan penerbitan.Pemeliharaan bahasa Sunda dapat pula dilakukan melalui kegiatan penelitian yang diarahkan pada bahasa itu sendiri dan penuturnya.Hasil penelitian tersebutdapat dijadikan titik tolak pengambilan kebijakan oleh pemerintah daerah.Di samping itu, temuan-temuan mutakhir perlu dimasyarakatkan untuk menumbuhkan sikap positif masyarakat terhadap bahasanya.Perlu pula dilakukan pembakuan bahasa Sunda yang lebih komprehensif dan mutakhir untuk meningkatkan mutunya agar dapat digunakan dalam segala keperluan.
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SKKD) Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Sunda disusun berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah, yang menetapkan bahasa daerah, antara lain, bahasa Sunda, diajarkan di pendidikan dasar di Jawa Barat. Kebijakan tersebut sejalan dengan  UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang bersumber dari UUD 1945 yang menyangkut Pendidikan dan Kebudayaan. Sejalan pula dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Bab III Pasal 7 Ayat 3–8, yang menyatakan bahwa dari SD/MI/SDLB, SMP/MTs./SMPLB, SMA/MAN/SMALB, dan SMK/MAK diberikan pengajaran muatan lokal yang relevan dan Rekomendasi UNESCO tahun 1999 tentang “pemeliharaan bahasa-bahasa ibu di dunia”. Bahasa Sunda berkedudukan sebagai bahasa daerah, yang juga merupakan bahasa ibu bagi sebagian besar masyarakat Jawa Barat.
Bahasa Sunda juga menjadi bahasa pengantar pembelajaran di kelas-kelas awal SD/MI. Berdasarkan kenyataan tersebut, bahasa Sunda harus diajarkan di sekolah-sekolah, mulai Taman Kanak-kanak (TK)/Raudhatul Athfal (RA), Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)/Madrasah Aliah (MA). Oleh karena itu, perlu disusun Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sesuai dengan satuan pendidikan tersebut.Pembelajaran bahasa Sunda diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya dan budaya Sunda, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat Sunda, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang ada dalam dirinya. Pembelajaran bahasa Sunda diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dan untuk berkomunikasi dalam Bahasa Sunda dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan Sunda. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Sunda merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Sunda.Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal dan regional. Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Sunda ini diharapkan:
1. peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya sastra dan intelektual orang Sunda;
2. guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar;
3. guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya;
4. orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah;
5. sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia;
6. daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan lokal dengan tetap memperhatikan kepentingan regional Jawa Barat.
Bahasa sunda merupakan bahasa yang ramai dipakai di pulau jawa yang memiliki tingkat bahasa mudah dimengerti dari pada bahasa jawa.Bukan hanya di jawa barat saja bahasa ini dituturkan tapi di jawa tengah pun banyak yang memakainya sebagai bahasa keseharian.Di jawa tengah sendiri terutama di Brebes selatan bahasa sunda memiliki persaingan ketat karena berada di perbatasan yang pastinya dekat mayoritas penduduk yang berbahasa jawa sehingga selalu ada pencampuran bahasa. Kecamatan yang ada di Brebes diantaranya: Salem, Bantarkawung, Bumiayu, Paguyangan, Tonjong, Sirampog, Larangan, Ketanggungan, Banjarharjo, Losari, Tanjung, Kersana, Bulukamba, Wanasari, Jati Barang, Brebes.
Selain itu terdapat pula penutur bahasa sunda yaitu: Bantarkawung, Ketanggungan, Banjaharjo, Tanjung (Sarireja, dan Luwungbata), Larangan (Kamal, Wlahar dan Pemulian), Kersana (Kradenan dan Sindangjaya), Dan beberapa desa kecamatan losari (Randegan, Jatisawit, Karangsambung, Negla, Bojongsari, Karangjati, Babakan).
Bahasa sunda dan bahasa Jawa juga dipakai secara bersama dibeberapa desa di kecamatan diantaranya; Bumiayu(Pruwatan, Laren), Bantarkawung(cinanas, cibentang, karangpari, pangebatan, dan bantarkawung), Ketanggungan(Pamedaran, Barros, Kubangsari, Ku bangjati, Dukuhbadag, dan kubangwungu), Banjarharjo(Banjarharjo, cimunding, ciawi, tegalreja, dan banjar lor, Losari(Karangjunti dan Babakan), Kersana (Kubangpari).
Perbedaan bahasa sunda brebes dengan bahasa sunda standar (BSS) tampak menonjol pada intonasi dan beberapa kosakata, sedangkan dalam tataran frasa dan kalimat tidak terjadi perbedaan. Dalam tatara frasa , misalnya adalah:
imah bapa=rumah ayah, peti suluh=peti kayu, budak bandel=anak nakal, hayang hees=ingin tidur, ngakan kejo=makan nasi, gede kacida=besar sekali, jenuk budak=banyak anak.
Sedangkan Kalimat BSB contohnya adalah;
-Misah lulus ujian nyaneh kudu di ajar=agar lulus ujian kamu harus belajar
-Iraha nyaneh mangkat=kapan kamu pergi
Dalam kesehariannya bahasa ini digunakan diberbagai tempat seperti di lingkungan masyarakat, pasar dan yang lainnya.Masyarkatnya juga bisa berbahasa jawa dalam arti tidak bisa sepenuhnya, tidak heran kalau sebagian masyarakat sunda ada yang memakai bahasa campuran yaitu sunda dan jawa. Untuk budayanya sama seperti suku sunda yang ada di jawa barat meskipun tidak seramai yang ada di sana.
Bahasa Sunda di Kabupaten Brebes yang dikaji secara morfologis.masalah yang dikaji meliputi beberapa pertanyaan berikut. a)  bagaimanakah wujud kosakata bahasa Sunda Brebes/, b) bagaimana bentuk afiks dalam bahasa Sunda Brebes, c) bagaimana bentuk reduplikasi, dan d) bagaimana bentuk kata majemuk? Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi, karena dengan menggunakan metode ini data  dan informasi secara langsung tentang morfologi bahasa Sunda di daerah Brebes, terutama data bahasa dari sumber primer Data yang digunakan berupa data bahasa lisan sebab bahasa Sunda di daerah ini cenderung hanya digunakan sebagai komunikasi sehari-hari. Penentuan sumber data dilakukan dengan mempertimbangkan kualitas data yang diharapkan sesuai dengan tujuan penelitian. Kata dasar dalam bahasa Sunda Brebes dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis, (a) kata benda, (b) kata kerja, (c) kata sifat, (d) kata keterangan, dan (e) kata tugas.
Dalam bahasa Indonesia, sebagian besar kata benda dapat bersanding dengan kata pengingkar bukan, kata kerja dapat bersanding dengan kata sedang, dan kata sifat dapat bersanding dengan kata sangat, agak, dan paling. Dalam bahasa Sunda Brebes pun sebagain besar kata benda dapat bersanding dengan kata pengingkar lain ‘bukan’, kata kerja dapat bersanding dengan kata keur atau eukeur ‘sedang’ dan kata sifat dapat bersanding dengan kata rada ‘agak’, kacida atau pisan ‘sangat’, dan pang ‘paling’. kosakata bahasa Sunda Brebes dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berupa kata dasar dan kata berimbuhan, baik kata dasar maupun kata jadian dalam bahasa Sunda Brebes banyak yang berbeda dengan bahasa Sunda standar. Prebedaan itu dikarenakan beberapa hal, yaitu kosakata itu merupakan kosakata asli bahasa Sunda Brebes dan kosakata itu diduga merupakan kosakata serapan dari bahasa Jawa.Sehubungan dengan itu, bahasa Sunda Brebes cenderung merupakan dialek tersendiri.Afiks atau imbuhan dalam bahasa Sunda Brebes dibedakan menjadi prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks.Meskipun beegitu, imbuhan yang paling produktif dalam bahasa Sunda Brebes hanyalah imbuhan yang berupa prefiks N- dan infiks –ar-.Afiksasi dalam bahasa Sunda Brebes cenderung mengubah kelas kata.Proses Morfologis karena afiksasi cenderung menghasilkan kata turunan berupa verba, nomina, dan adjektiva.Namun, yang paling banyak dihasilkan adalah verba turunan.
Reduplikasi atau perulangan dalam bahasa Sunda Brebes dapat dibedakan menjadi dwilingga, dwipurwa, dan trilingga.Akan tetapi, perulangan yang paling produktif hanya perulangan yang berbentuk dwilingga (perulangan penuh). Perulangan dalam bentuk dwilingga dapat mengungkapkan makna jamak, baik dalam  kuantitas maupun kualitas dan dapat juga  mengungkapkan makna penekanan terhadap bentuk yang diulang. Perulangan penuh dengan variasi bunyi dalam bahasa Sunda Brebes dapat mengungkapkan makna (a) ‘melakukan pekerjaan secara berulang kali’ atau (b) ‘bermacam-macam (dasar). Sementara itu, kata majemuk dalam bahasa Sunda Brebes cenderung berupa penggabungan bentuk bebas + bentuk bebas, bentuk bebas + bentuk terikat, dan/atau bentuk terikat + bentuk bebas.Namun, hanya pemajemukan bentuk bebas + bentuk bebas yang paling produktif.
Kesimpulan
Kebijakan Pendidikan Nasional selama ini tidak mencerminkan kebhinekaan Indonesia sehingga berbagai potensi lokal tidak terberdayakan untuk membangun potensi kolektif sebagai kekuatan bangsa.Sistem pendidikan yang ada harus diorientasikan untuk membangun anak bangsa yang berkarakter dengan berbasis pada kebudayaan.Secara keseluruhan tingkat pendidikan masyarakat Sunda masih rendah sehingga sulit bagi mereka untuk berperan secara optimal dalam memanfaatkan segala potensi yang ada di lingkungannya.
Pengajaran bahasa Sunda di sekolah kurang efektif karena kurikulum cenderung menitikberatkan teori dan bukan pada penggunaan bahasa dan apresiasi sastra. Guru bahasa Sunda masih sangat kurang, baik kualitas maupun kuantitasnya, sementara itu komitmen Pemerintah daerah dalam mendukung pengajaran bahasa dan budaya Sunda belum optimal. Hasil pendidikan melalui sekolah-sekolah belum optimal karena penggunaan bahasa Indonesia sejak TK, padahal mereka belum menguasai bahasa Indonesia.
Pemeliharaan dan perlindungan terhadap benda budaya masih belum maksimal, sehingga tidak sedikit peninggalan budaya itu hilang sebelum terdokumentasikan dengan baik.  Penelitian dan penulisan sejarah Sunda termasuk penelusuran naskah Sunda dan lambang-lambang kesundaan belum maksimal karena kekurangan dana dan SDM yang memadai.
Pendidikan di Jawa Barat selama belum berhasil menjadikan generasi muda Sunda terdidik dan sadar akan potensi alam serta kebudayaannya.  Orientasi pendidikan intelektual dengan mengabaikan orientasi kultural telah menghasilkan birokrat-birokrat yang tuna budaya sehingga tidak mengherankan banyak kebijakan pembangunan di Jawa Barat yang tidak sejalan dengan kebudayaan Jawa Barat.
Lingkungan hidup di tatar Sunda semakin rusak karena adanya kebijakan pemerintah yang tidak konsisten.Eksistensi sejumlah masyarakat adat kini terancam punah, padahal semestinya dilindungi oleh pemerintah sebagai model pelestarian alam pada khususnya dan kearifan lokal pada umumnya.

















Referensi
Aitchison, Jean. 1981. Language Change: Progress orDecay. Bungay, Suffolk: The Chaucer Press.
Comrie, Bernard et al. 2003. The Atlas of Languages:The Origin and Development of Languages Throughoutthe World. Singapore: Star Standard.
Crystal, David. 1990. Language Death. Great Britain:Cambridge University Press.
Gumpersz, J. 1968. “The Speech Community”. DalamGiglioli (Ed.), 1990: 219-251. Language and SocialContext. London: Pinguin Books.
Jespersen, O. 1922. Language: Its Nature, Developmentand Origin. London: Allen and Unwim.
Lauder, Multamia R.M.T. 2004.“Optimalisasi BahasaIndonesia Berbasis Korpus Linguistik”.MakalahPertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia XXVI,Universitas Muhammadiyah, Poerwokerto 4-5 Oktober2004.
Tampubolon, Daulat P. 1999. “Gejala-gejala KematianBahasa: Suatu Observasi Ragam Politik Orde Baru”.Dalam Soenjono Dardjowidjojo & Yasir Nasanius (Ed.).PELLBA 12: 1-39. Jakarta: Kanisius.
Weinreich, Uriel. 1968. Language Contact: Findingsand Problems. The Houge: Mouton.
Rosidi, Ajip. 2007. Urang Sunda jeung Basa Sunda.Bandung: Kiblat Buku Utama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Tata Bahasa Kasus (Case Grammar)

Kegiatan menempel kapas pada gambar kambing atau domba

Perbedaan Bahasa antara Jawa Indonesia dan Jawa Suriname”